It Takes Two To Tango!

www.rebellinasanty.blogspot.com
photo credit: life_social
Setiap pasangan pasti berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Beda pola pengasuhan, beda budaya, bahkan kadang pula beda agama. Jadi tak heran bila setiap pernikahan pernah mengalami yang namanya perselisihan. Lalu, apakah perselisihan dalam rumah tangga mengindikasikan salah satu pihak atau keduanya sebagai pihak yang tidak baik?

Bicara soal baik atau tidak, sebagai istri saya pernah merasa sebagai istri yang belum baik untuk suami saya, dan suami pun saya anggap belum menjadi suami yang baik untuk saya. Mengapa? Karena di awal pernikahan kami belum menemukan irama pernikahan kami seperti apa. Kami masih saling mencari-cari irama pernikahan itu. Ibaratnya, kami masih mencari irama yang pas buat kami berdua agar bisa menari bersama.

Hal  pertama yang saya pelajari untuk menjadi istri yang baik adalah menemukan irama pernikahan saya terhadap  masalah komitmen. Untuk bisa satu pandangan dalam komitmen pernikahan, maka saya dan suami sama-sama  memakai tolak ukur syariat Islam sebagai landasannya. Jadi, setiap ada masalah yang mendasar, saya sebagai istri mau tak mau harus tunduk pada kesepakatan ini, yakni mendudukkan kembali perkaranya dan mencari jawabannya sesuai syariat Islam. Demikian pula sebaliknya. Inilah komitmen utama kami dalam pernikahan, dengan menjadikan agama sebagai pondasi rumah tangga. Jadi baik tidaknya saya sebagai seorang istri, tergantung ketaatan saya pada komitmen yang telah kami sepakati bersama.

Salah satu contoh kesamaan komitmen kami adalah bahwa suami adalah pemimpin di rumah tangga kami . Bukan persoalan suka atau tidak suka sehingga saya harus menerima ketentuan itu. Tapi karena syariat Islam memang mengaturnya demikian. Pelaksanaannya dalam kehidupan hari-hari.., nah itu iramanya lain lagi. Tidak semudah yang tertulis di buku-buku. Butuh komunikasi untuk melenturkan satu kesepakatan komitmen yang dibangun bersama pasangan.

Berbicara komunikasi, dalam relasi istri-suami, komunikasi ini yang kerap dijadikan kambing hitam perselisihan, bahkan yang tak sedikit berujung ke perceraian. Komunikasi yang baik tentunya bila antara istri dan suami saling memahami apa mau pasangan masing-masing. Komunikasi yang baik dari relasi istri-suami bila setiap ada masalah, maka penyelesaiannya adalah antar mereka berdua dulu, tidak meleber ke mana-mana. Apalagi sampai di woro-woro di media sosial sehingga seisi dunia tahu. Ihhh.., jangan sampe deh! Dicari dulu  akar masalahnya seperti apa, lalu bersama-sama membahas solusinya. Bila masih belum menemukan titik temu, kembalikan kepada komitmen pernikahan yang disepakati semula.

Untuk membangun komunikasi yang baik, terkadang butuh sikap proaktif dari salah satu pihak. Saya, type orang yang suka berbicara, bahkan terlalu blak-blakan, sementara suami orangnya lebih banyak diam. Butuh bertahun-tahun dengan menjaga komunikasi yang intens untuk  saya bisa memahami bahwa diamnya suami bukan karena tidak peduli, tetapi karena dia terbiasa memikirkan dulu segala sesuatunya dengan mendalam sebelum bersuara. Sedangkan saya, apa yang terlintas di kepala, suka atau tidak sukanya saya terhadap sesuatu, langsung tercetus begitu saja.Kalau kata anak-anak, saya ini cerewet. Kalau kata saya, mana ada sih ibu-ibu yang tidak cerewet, hehehe (edisi ngeles).

 Menyatukan dua sikap yang berbeda seperti ini, tentunya tidak mudah. Dan sejak awal pernikahan, saya proaktif mengajak suami untuk banyak berbicara dari hati ke hati setiap kali ada yang mengganjal di benak saya terhadapnya. Hasilnya, alhamdulillah, suami pun kini juga lebih sering memulai mengajak saya berbicara bila ada masalah atau ada sesuatu dari saya yang tidak pas di hatinya. Tidak seperti dulu. Saya pun belajar dari cara suami untuk menjaga cara berkomunikasi saya agar lebih santun. 

Dengan komunikasi pula saya jadi tahu apa yang diharapkan suami saya pada diri saya sebagai istrinya. Jadi saya tidak perlu menebak-nebak terhadap keinginan suami. Begitu juga sebaliknya.  
Ketemu deh irama komunikasi saya dengan suami.

Lalu, irama pernikahan yang harus ditemukan lagi adalah masalah penyesuaian. Bila ingin menjadi istri yang baik, dan pernikahan langgeng, maka harus mampu melakukan  penyesuaian. Penyesuaian dalam pernikahan akan berjalan terus sejalan dengan perubahan yang terjadi, baik dalam keluarga itu sendiri,maupun dalam lingkungan.   Penyesuaian lainnya adalah penyesuaian terhadap pola hubungan sexual, penyesuaian terhadap bertambahnya anggota keluarga, penyesuaian terhadap perubahan dukungan finansial dan lain-lain. Penyesuaian itu berlangsung seumur hidup, dan jenisnya bergantung pada individu masing-masing. Untuk menjadi istri yang baik, harus mampu menemukan irama penyesuaiannya sendiri. Karena sejatinya, hidup itu dinamis, bergerak terus menuju perubahan.

Contohnya, saat awal menjadi istri, lalu kemudian menjadi ibu, saya butuh penyesuaian, yakni penyesuaian terhadap peran. Bukan saja terhadap peran istri, tapi juga sebagai anggota masyarakat, profesi, dan lain sebagainya. Perubahan itu menuntut penyesuaian lainnya, yakni penyesuaian pola hubungan sexual suami-istri, penyesuaian finansial, karena pasti kebutuhan bertambah,penyesuaian kekompakan berbagi tugas antara saya dan suami, dan penyesuaian terhadap kehadiran anggota keluarga yang baru. Kan beda pola hubungan sexual antara pengantin baru dibandingkan setelah punya anak (pst...ini khusus utuk pasutri ya). Demikian juga kebutuhan finansial, antara punya anak satu, belum masuk sekolah, dengan anak 4 dan semuanya telah masuk sekolah.

Menjadi istri yang baik pun bukan berarti menyerahkan hidup sepenuhnya di tangan suami, sehingga ruang geraknya melulu hanya seputaran suami dan anak-anak. Menjadi istri yang baik harus mampu juga menemukan iramanya sendiri dalam lingkup pernikahan, memberi ruang gerak  yang positif bagi dirinya pribadi untuk bertumbuh dan berkembang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Juga tidak mengekang pasangan (suami) untuk mengembangkan dirinya juga secara positif, baik dengan perannya sebagai suami, ayah, individu, dan anggota masyarakat. Enggak banget khan kalau setiap waktu suami keluar di sms-in mulu, nanyain dimana, sedang apa apa, sama siapa?

Menetapkan harapan terhadap pernikahan yang masuk akal, tidak muluk-muluk yang jauh dari realita, tidak mudah menyalahkan pasangan hidup, dan mampu menerima pasangan hidup apa adanya, serta mengembangkan sikap memberi dan menerima yang tulus, tidak kaku dalam penerapan tugas antara istri dan suami, dan memberi respon yang positif terhadap pasangan, itu bagian lain dari irama pernikahan yang harus dicari tahu oleh seorang istri, agar bisa mendapat predikat istri yang baik.

 Satu hal lagi yang sering terlupa dari seorang istri yakni, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan diri dan meminta maaf. Terkadang, posisi istri membuat sebagian wanita seperti memberi pembenaran bagi dirinya sendiri untuk tidak meminta maaf pada suaminya saat melakukan kesalahan.Dengan diam atau pun bersikap seolaah-olah suami harus mengerti sendiri, sebenarnya merupakan bibit awal kekecewaan dari pasangan. Dan memang, butuh sikap berlapang dada untuk mau mengakui kesalahan dan minta maaf. Bukankah untuk menjadi istri yang baik butuh usaha? Salah satunya ini, lho :)

Butuh proses dan waktu untuk mampu menemukan irama yang sesuai dengan irama pasangan menyikapi semua hal  tersebut di atas.
Keberhasilan menemukan irama dalam pernikahan, tidak datang begitu saja. Harus butuh kerjasama dari seluruh anggota keluarga. Irama pernikahan setiap keluarga pun berbeda-beda, tergantung komitmen awal dan prioritas yang menjadi pilihan dari masing-masing pasangan. Pastinya, baik suami maupun istri harus mampu menemukan iramanya sendiri dalam pernikahan. Dan sebagai istri yang selalu ingin berproses menjadi istri yang baik, tentunya harus proaktif menemukan irama pernikahannya sendiri, tidak menunggu atau membiarkan pasangan berjalan sendiri dengan iramanya. It Takes Two To Tango!



Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

5 komentar:

  1. Bener banget. Namanya juga pasangan suami istri jadi ya harus saling menyesuaikan satu sama lain sebagai satu team yang saling kerja sama. Sukses ya GA semoga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak. Baik tidaknya seorang istri, dipengaruhi juga dengan relasi istri-suami sebagai tema yang solid. Makasih kunjungannya

      Hapus
  2. Fenny juga selalu mengingatkan diri kalau suami itu pemimpin keluarga jadi sering2 ngerem kalau dah mulai mau nglunjak biar tetap sejalan

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup Mbak. ini pentingnya punya komitmen dalam rumah tangga, dalam hal ini agama sebagai komitmen pertama. jadi, kalau agak keluar dikit, tahu batasannya

      Hapus
  3. Terima kasih Mak sudah ikutan GA kami. TUnggu pengumumannya ya :))

    BalasHapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti