photo credit: life_social |
Bicara soal baik atau tidak, sebagai istri saya pernah merasa sebagai istri yang belum baik untuk suami saya, dan suami pun saya anggap belum menjadi suami yang baik untuk saya. Mengapa? Karena di awal pernikahan kami belum menemukan irama pernikahan kami seperti apa. Kami masih saling mencari-cari irama pernikahan itu. Ibaratnya, kami masih mencari irama yang pas buat kami berdua agar bisa menari bersama.
Hal pertama yang saya
pelajari untuk menjadi istri yang baik adalah menemukan irama pernikahan saya terhadap masalah komitmen. Untuk
bisa satu pandangan dalam komitmen pernikahan, maka saya dan suami
sama-sama memakai tolak ukur syariat
Islam sebagai landasannya. Jadi, setiap ada masalah yang mendasar, saya sebagai
istri mau tak mau harus tunduk pada kesepakatan ini, yakni mendudukkan kembali
perkaranya dan mencari jawabannya sesuai syariat Islam. Demikian pula
sebaliknya. Inilah komitmen utama kami dalam pernikahan, dengan menjadikan
agama sebagai pondasi rumah tangga. Jadi baik tidaknya saya sebagai seorang istri, tergantung ketaatan saya pada komitmen yang telah kami sepakati bersama.
Salah satu contoh kesamaan komitmen kami adalah bahwa suami
adalah pemimpin di rumah tangga kami . Bukan persoalan suka atau tidak suka
sehingga saya harus menerima ketentuan itu. Tapi karena syariat Islam memang
mengaturnya demikian. Pelaksanaannya dalam kehidupan hari-hari.., nah itu
iramanya lain lagi. Tidak semudah yang tertulis di buku-buku. Butuh komunikasi untuk melenturkan satu kesepakatan
komitmen yang dibangun bersama pasangan.
Berbicara komunikasi, dalam relasi istri-suami, komunikasi
ini yang kerap dijadikan kambing hitam perselisihan, bahkan yang tak sedikit
berujung ke perceraian. Komunikasi yang baik tentunya bila antara istri dan
suami saling memahami apa mau pasangan masing-masing. Komunikasi yang baik dari
relasi istri-suami bila setiap ada masalah, maka penyelesaiannya adalah antar
mereka berdua dulu, tidak meleber ke mana-mana. Apalagi sampai di woro-woro di media sosial sehingga seisi dunia tahu. Ihhh.., jangan sampe deh! Dicari dulu akar masalahnya seperti apa, lalu bersama-sama membahas solusinya. Bila masih belum menemukan titik temu, kembalikan kepada komitmen pernikahan
yang disepakati semula.
Untuk membangun komunikasi yang baik, terkadang butuh sikap
proaktif dari salah satu pihak. Saya, type orang yang suka berbicara, bahkan
terlalu blak-blakan, sementara suami orangnya lebih banyak diam. Butuh bertahun-tahun
dengan menjaga komunikasi yang intens untuk saya bisa memahami bahwa diamnya suami bukan
karena tidak peduli, tetapi karena dia terbiasa memikirkan dulu segala
sesuatunya dengan mendalam sebelum bersuara. Sedangkan saya, apa yang terlintas
di kepala, suka atau tidak sukanya saya terhadap sesuatu, langsung tercetus
begitu saja.Kalau kata anak-anak, saya ini cerewet. Kalau kata saya, mana ada sih ibu-ibu yang tidak cerewet, hehehe (edisi ngeles).
Menyatukan dua sikap
yang berbeda seperti ini, tentunya tidak mudah. Dan sejak awal pernikahan, saya
proaktif mengajak suami untuk banyak berbicara dari hati ke hati setiap kali
ada yang mengganjal di benak saya terhadapnya. Hasilnya, alhamdulillah, suami
pun kini juga lebih sering memulai mengajak saya berbicara bila ada masalah
atau ada sesuatu dari saya yang tidak pas di hatinya. Tidak seperti dulu. Saya
pun belajar dari cara suami untuk menjaga cara berkomunikasi saya agar lebih
santun.
Dengan komunikasi pula saya jadi tahu apa yang diharapkan suami saya pada diri saya sebagai istrinya. Jadi saya tidak perlu menebak-nebak terhadap keinginan suami. Begitu juga sebaliknya.
Ketemu deh irama komunikasi saya dengan suami.
Lalu, irama pernikahan yang harus ditemukan lagi adalah
masalah penyesuaian. Bila ingin menjadi istri yang baik, dan pernikahan
langgeng, maka harus mampu melakukan
penyesuaian. Penyesuaian dalam pernikahan akan berjalan terus sejalan
dengan perubahan yang terjadi, baik dalam keluarga itu sendiri,maupun dalam
lingkungan. Penyesuaian lainnya adalah penyesuaian
terhadap pola hubungan sexual, penyesuaian terhadap bertambahnya anggota
keluarga, penyesuaian terhadap perubahan dukungan finansial dan lain-lain.
Penyesuaian itu berlangsung seumur hidup, dan jenisnya bergantung pada individu
masing-masing. Untuk menjadi istri yang baik, harus mampu menemukan irama
penyesuaiannya sendiri. Karena sejatinya, hidup itu dinamis, bergerak terus
menuju perubahan.
Contohnya, saat awal menjadi istri, lalu kemudian menjadi
ibu, saya butuh penyesuaian, yakni penyesuaian terhadap peran. Bukan saja
terhadap peran istri, tapi juga sebagai anggota masyarakat, profesi, dan lain
sebagainya. Perubahan itu menuntut penyesuaian lainnya, yakni penyesuaian pola hubungan
sexual suami-istri, penyesuaian finansial, karena pasti kebutuhan
bertambah,penyesuaian kekompakan berbagi tugas antara saya dan suami, dan
penyesuaian terhadap kehadiran anggota keluarga yang baru. Kan beda pola hubungan sexual antara pengantin baru dibandingkan setelah punya anak (pst...ini khusus utuk pasutri ya). Demikian juga kebutuhan finansial, antara punya anak satu, belum masuk sekolah, dengan anak 4 dan semuanya telah masuk sekolah.
Menjadi istri yang baik pun bukan berarti menyerahkan hidup
sepenuhnya di tangan suami, sehingga ruang geraknya melulu hanya seputaran
suami dan anak-anak. Menjadi istri yang baik harus mampu juga menemukan
iramanya sendiri dalam lingkup pernikahan, memberi ruang gerak yang positif bagi dirinya pribadi untuk bertumbuh
dan berkembang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Juga tidak
mengekang pasangan (suami) untuk mengembangkan dirinya juga secara positif,
baik dengan perannya sebagai suami, ayah, individu, dan anggota masyarakat. Enggak banget khan kalau setiap waktu suami keluar di sms-in mulu, nanyain dimana, sedang apa apa, sama siapa?
Menetapkan harapan terhadap pernikahan yang masuk akal,
tidak muluk-muluk yang jauh dari realita, tidak mudah menyalahkan pasangan
hidup, dan mampu menerima pasangan hidup apa adanya, serta mengembangkan sikap
memberi dan menerima yang tulus, tidak kaku dalam penerapan tugas antara istri
dan suami, dan memberi respon yang positif terhadap pasangan, itu bagian lain
dari irama pernikahan yang harus dicari tahu oleh seorang istri, agar bisa mendapat predikat istri yang baik.
Satu hal lagi yang sering terlupa dari seorang istri yakni, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan diri dan meminta maaf. Terkadang, posisi istri membuat sebagian wanita seperti memberi pembenaran bagi dirinya sendiri untuk tidak meminta maaf pada suaminya saat melakukan kesalahan.Dengan diam atau pun bersikap seolaah-olah suami harus mengerti sendiri, sebenarnya merupakan bibit awal kekecewaan dari pasangan. Dan memang, butuh sikap berlapang dada untuk mau mengakui kesalahan dan minta maaf. Bukankah untuk menjadi istri yang baik butuh usaha? Salah satunya ini, lho :)
Satu hal lagi yang sering terlupa dari seorang istri yakni, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan diri dan meminta maaf. Terkadang, posisi istri membuat sebagian wanita seperti memberi pembenaran bagi dirinya sendiri untuk tidak meminta maaf pada suaminya saat melakukan kesalahan.Dengan diam atau pun bersikap seolaah-olah suami harus mengerti sendiri, sebenarnya merupakan bibit awal kekecewaan dari pasangan. Dan memang, butuh sikap berlapang dada untuk mau mengakui kesalahan dan minta maaf. Bukankah untuk menjadi istri yang baik butuh usaha? Salah satunya ini, lho :)
Butuh proses dan waktu untuk mampu menemukan irama
yang sesuai dengan irama pasangan menyikapi semua hal tersebut di atas.
Keberhasilan menemukan irama dalam pernikahan, tidak datang
begitu saja. Harus butuh kerjasama dari seluruh anggota keluarga. Irama
pernikahan setiap keluarga pun berbeda-beda, tergantung komitmen awal dan prioritas
yang menjadi pilihan dari masing-masing pasangan. Pastinya, baik suami maupun
istri harus mampu menemukan iramanya sendiri dalam pernikahan. Dan sebagai
istri yang selalu ingin berproses menjadi istri yang baik, tentunya harus
proaktif menemukan irama pernikahannya sendiri, tidak menunggu atau membiarkan
pasangan berjalan sendiri dengan iramanya. It Takes Two To Tango!
Bener banget. Namanya juga pasangan suami istri jadi ya harus saling menyesuaikan satu sama lain sebagai satu team yang saling kerja sama. Sukses ya GA semoga
BalasHapusIya Mbak. Baik tidaknya seorang istri, dipengaruhi juga dengan relasi istri-suami sebagai tema yang solid. Makasih kunjungannya
HapusFenny juga selalu mengingatkan diri kalau suami itu pemimpin keluarga jadi sering2 ngerem kalau dah mulai mau nglunjak biar tetap sejalan
BalasHapusyup Mbak. ini pentingnya punya komitmen dalam rumah tangga, dalam hal ini agama sebagai komitmen pertama. jadi, kalau agak keluar dikit, tahu batasannya
HapusTerima kasih Mak sudah ikutan GA kami. TUnggu pengumumannya ya :))
BalasHapus