Crying And Dancing In The Rain…

Hujan, adalah kamuflase paling sempurna, untuk menutupi deraian airmata.
Rebellina
www.rebellinasanty.blogspot.com
ilustrasi kisah, credit foto

Apa yang kusuka dari memandangi tetesan hujan dari balik jendela? Yakni kenangan yang berkelana di benakku, melintasi waktu dan menari bersama hujan yang turun pada saat itu. Seperti saat ini, Bogor kerap dilanda hujan. Dan aku termangu memandangi dari jendela ruang kerja ini, tetesan hujan yang turun deras membasahi halaman depan, dan dedaunan selendang lili yang tumbuh subur di bawah jendela. Ingatanku berkelana, menyusuri masa demi masa dari secuil perjalanan hidupku…


Aku masih ingat, saat seorang bocah kecil bertubuh gembul, lebih memilih bertelanjang dada dan memakai celana pendek, akan berlari-lari riang gembira setiap kali hujan datang. Namun ijin tak selalu diberikan, karena hujan tak selalu ramah. Kadangkala petir dan guruh membuat tangan nenek bocah gembul itu memberi tanda larangan bermain hujan saat itu. Dan itu akan membuat bocah gembul bermata sipit itu akan menangis kesal. Selembar koran lusuh, yang dibentuk menjadi kapal kertas yang kemudian menjadi hadiah untuk mengobati kekesalan hatinya.  Saat kapal kertas itu berlayar di atas air yang melewati halaman depan rumah, kemudian hilang tenggelam karena basah…, itu adalah salah satu kenangan indah yang tak terlupa.
www.rebellinasanty.blogspot.com
sumber foto: Credit

Beranjak ke masa berikutnya. Berseragam baju kurung putih hijau. Dalam kebersahajaan, bocah gembul itu mulai menjadi anak-anak yang tak lagi sebebas dulu bermain hujan. Bahkan hujan kadang jadi penghalang saat dia ingin berangkat menuju madrasah, tempat menimba ilmu agama  dan membaca Alif, Ba- Ta..

 Masih ingat dia, hujan turun sangat derasnya. Membuat parit-parit kecil sepanjang jalan dari rumah menuju tempat mengajinya jadi penuh. Membiaskan pandangan antara tepi jalan dan parit, sehingga membuatnya terperosok ke dalam parit yang kotor.  Tak jadi mengaji, memilih pulang dengan baju kurung yang yang berubah warna.
Rasa malu membulirkan air mata. Untungnya tertutup deraian hujan, sehingga hanya terlihat matanya yang memerah saja. Dan sungguh hujan merupakan jawanan yang sempurna sebagai kamuflase air matanya.

Hujan juga menjadi alasan yang jitu untuk bocah itu, yang kini menjadi  gadis remaja untuk menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya. Bukan karena patah hati karena ditolak kekasih hati. Tetapi karena saat menjelang dia harus dioperasi, ibu yang harusnya mendampingi dan menguatkan hati, lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-teman arisannya. Membiarkannya seorang diri di bangsal rumah sakit.  Memandang tetes-tetes hujan yang turun dengan hati yang basah.
www.rebellinasanty.blogspot.com
waiting 4 u,mom, ilustrasi, credit foto


Hujan pula yang mewakili hati dan matanya yang basah, saat melihat penguburan jenazah  mereka yang disayanginya. Neneknya lebih dahulu, orang yang kasih sayangnya melampau apa yang bisa dia rasakan dari mamanya. Di susul 10 tahun kemudian, kakeknya, seorang sahabat yang cerdas dan teman diskusi yang asyik.  Dia harus menyaksikan gumpalan tanah menutupi liang kubur. Dan lagi-lagi hujan yang turun saat itu, menjadi  penemannya dalam suasana duka. Lalu, gerimis yang merinai pun mewakili hatinya saat jenazah papanya, dimasukkan ke dalam liang lahat setahun yang lalu. Ah.., kenapa hujan kerap menemaninya mengantar mereka yang dicintai ke tempat istirahat yang terakhir?
www.rebellinasanty.blogspot.com
ilustrasi kisah, credit foto


Ada masanya dia tersungkur dihadapanNya, di sepertiga malam yang dingin berdenting rinai hujan di atas genting. Menangis, meluapkan segala asa, kesah, dan permohonan ampun atas segala langkah. Melantunkan do’a-do’a, mengingat rahmatNya saat itu juga sedang berlimpah turun untuk semua hamba di hamparan bumiNya.  Bukankah salah satu waktu ijabahnya do’a adalah saat Allah menurunkan hujan sebagai rahmatNya?

Dia juga pernah membasuh luka hatinya dengan duduk di bawah hujan yang deras di  teras samping rumah. Membiarkan airmata turun sederas-derasnya, dan meluapkan luka hatinya lewat tangis yang tersamarkan dengan curah hujan yang sangat deras saat itu. Saat melihat air yang mengalir di bawah kakinya, dia berharap dukanya ikut mengalir dan larut bersama air hujan tersebut. Tangan dan tubuhnya gemetar dan  jemarinya mengerut karena dinginnya hujan yang terus menerus mengguyur tubuhnya. Namun hatinya kemudian menghangat saat sepasang tangan kokoh mengangkat tubuhnya dan merengkuhnya dalam pelukan, sembari membisikkan kata “Maafkan Ayah, Bunda…”
www.rebellinasanty.blogspot.com
ilustrasi: credit 


Tak selamanya hujan mewakili air matanya. Seringkali tetesan hujan yang jatuh, menimpa dedaunan selendang lily di bawah jendela kerjanya, membuat tanaman satu itu terlihat berbeda. Seperti anak dara yang pipinya bersemu merah. Dan perempuan itu akan terinspirasi untuk menarikan jari jemarinya di atas keyboard komputer kerjanya.
www.rebellinasanty.blogspot.com
selendang lily, koleksi pribadi rebellina


Juga bebauan tanah, rerumputan dan dedaunan aneka tumbuhan yang subur di halaman depan rumahnya,saat baru terkena air hujan yang jatuh berlimpah, selalu saja menimbulkan pesona tersendiri di hati dan benaknya. Betapa rasa syukur sebenarnya membuat kebahagiaan terasa indah dan mudah. Tidak perlu mencarinya kemana-mana.
www.rebellinasanty.blogspot.com
ilustrasi, credit foto


Atau saat ijin diberikan kepada para buah hatinya, untuk sesuka hati berlari-lari di bawah derasnya tetesan dari langit itu membasahi mereka. Tawa-tawa dan teriakan gembira mereka di bawah rinai hujan, mengingatkannya pada kegembiraannya masa kecil. Dan wajah neneknya pun terbayang di depan mata, melihatnya sembari duduk di amben dengan segelas teh manis hangat. Itu membuat matanya basah, bukan karena kesedihan, melainkan kenangan yang indah. Dan dia berharap, kelak anak-anaknya mampu mengingatnya dengan kenangan yang indah, saat melihat hujan turun. Seperti hari ini.

www.rebellinasanty.blogspot.com
ilustrasi, credit foto

Hujan.., pun mampu membuatnya tersipu malu. Saat melihat untuk pertama kalinya  laki-laki yang kini dipanggilnya mesra dengan sebutan ‘ayah’. Dan pertemuan pertama itu terjadinya di bawah rinai tipis hujan…

Hujan masih menitik. Namun tidak sederas tadi. Dedaunan selendang lili basah sepenuhnya, namun keindahannya justru semakin mencuat. Perjalanan kenanganku terhenti, saat azan berkumandang memanggil. Aku beranjak dari kursiku. Berucap syukur dalam diam, untuk segala kenangan, baik indah maupun menyakitkan, yang terbawa datang seiring turunnya hujan. Hakekatnya hidup, ujian berupa tawa dan tangisan, adalah rahmat, bukan?
www.rebellinasanty.blogspot.com
ilustrasi foto, credit







Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

12 komentar:

  1. kenangan sedih dan gembira bersama hujan, cukup membuat saya berdesir :) hujan memang bisa memberikan sejuta kenangan

    BalasHapus
  2. Touching....gutlak ya mba untuk giveawaynya,
    aku juga suka hujan...hujan membawaku berkelana ke seantero kenangan

    BalasHapus
  3. Dulu waktu sekolah aku juga suka ujan2an mak, pernah pulang sekolah jalan kaki sambil hujan2an padahal udah SMA, mengenang masa kecil hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. kadang-kadang, bersikap seperti anak kecil kembali, dalam hal ini bermain hujan, menyenangkan ya...

      Hapus
  4. Waktu baca ini lagi hujan mak...deras...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. he eh. emang akhir-akhri ini hujan semakin akrab datang. moga rumahnya tidak terkena banjir lagi ya Mak kania

      Hapus
  5. Hujan, selalu memiliki makna tersendiri bagi penikmatnya. Entah itu suka, duka, romantisme, silih berganti. Hujan yang penuh makna. Hujan aku suka...

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi kalau hujan turun terus-terusan, pusing juga. Hehehehe :) Aku suka hujan juga Mbak. Salam kenal :)

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti