Hujan,
adalah kamuflase paling sempurna, untuk menutupi deraian airmata.
Rebellina
ilustrasi kisah, credit foto |
Apa yang
kusuka dari memandangi tetesan hujan dari balik jendela? Yakni kenangan yang
berkelana di benakku, melintasi waktu dan menari bersama hujan yang turun pada saat
itu. Seperti saat ini, Bogor kerap dilanda hujan. Dan aku termangu memandangi dari
jendela ruang kerja ini, tetesan hujan yang turun deras membasahi halaman
depan, dan dedaunan selendang lili yang tumbuh subur di bawah jendela.
Ingatanku berkelana, menyusuri masa demi masa dari secuil perjalanan hidupku…
Aku masih
ingat, saat seorang bocah kecil bertubuh gembul, lebih memilih bertelanjang
dada dan memakai celana pendek, akan berlari-lari riang gembira setiap kali
hujan datang. Namun ijin tak selalu diberikan, karena hujan tak selalu ramah. Kadangkala
petir dan guruh membuat tangan nenek bocah gembul itu memberi tanda larangan
bermain hujan saat itu. Dan itu akan membuat bocah gembul bermata sipit itu
akan menangis kesal. Selembar koran lusuh, yang dibentuk menjadi kapal kertas
yang kemudian menjadi hadiah untuk mengobati kekesalan hatinya. Saat kapal kertas itu berlayar di atas air
yang melewati halaman depan rumah, kemudian hilang tenggelam karena basah…, itu
adalah salah satu kenangan indah yang tak terlupa.
sumber foto: Credit |
Beranjak ke
masa berikutnya. Berseragam baju kurung putih hijau. Dalam kebersahajaan, bocah
gembul itu mulai menjadi anak-anak yang tak lagi sebebas dulu bermain hujan. Bahkan
hujan kadang jadi penghalang saat dia ingin berangkat menuju madrasah, tempat
menimba ilmu agama dan membaca Alif, Ba-
Ta..
Masih ingat dia, hujan turun sangat derasnya.
Membuat parit-parit kecil sepanjang jalan dari rumah menuju tempat mengajinya
jadi penuh. Membiaskan pandangan antara tepi jalan dan parit, sehingga
membuatnya terperosok ke dalam parit yang kotor. Tak jadi mengaji, memilih pulang dengan baju
kurung yang yang berubah warna.
Rasa malu membulirkan
air mata. Untungnya tertutup deraian hujan, sehingga hanya terlihat matanya
yang memerah saja. Dan sungguh hujan merupakan jawanan yang sempurna sebagai
kamuflase air matanya.
Hujan juga
menjadi alasan yang jitu untuk bocah itu, yang kini menjadi gadis remaja untuk menyembunyikan kesedihan
dan kekecewaannya. Bukan karena patah hati karena ditolak kekasih hati. Tetapi
karena saat menjelang dia harus dioperasi, ibu yang harusnya mendampingi dan
menguatkan hati, lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-teman arisannya.
Membiarkannya seorang diri di bangsal rumah sakit. Memandang tetes-tetes hujan yang turun dengan
hati yang basah.
waiting 4 u,mom, ilustrasi, credit foto |
Hujan pula
yang mewakili hati dan matanya yang basah, saat melihat penguburan jenazah mereka yang disayanginya. Neneknya lebih
dahulu, orang yang kasih sayangnya melampau apa yang bisa dia rasakan dari
mamanya. Di susul 10 tahun kemudian, kakeknya, seorang sahabat yang cerdas dan
teman diskusi yang asyik. Dia harus
menyaksikan gumpalan tanah menutupi liang kubur. Dan lagi-lagi hujan yang turun
saat itu, menjadi penemannya dalam
suasana duka. Lalu, gerimis yang merinai pun mewakili hatinya saat jenazah
papanya, dimasukkan ke dalam liang lahat setahun yang lalu. Ah.., kenapa hujan
kerap menemaninya mengantar mereka yang dicintai ke tempat istirahat yang
terakhir?
ilustrasi kisah, credit foto |
Ada masanya
dia tersungkur dihadapanNya, di sepertiga malam yang dingin berdenting rinai
hujan di atas genting. Menangis, meluapkan segala asa, kesah, dan permohonan
ampun atas segala langkah. Melantunkan do’a-do’a, mengingat rahmatNya saat itu
juga sedang berlimpah turun untuk semua hamba di hamparan bumiNya. Bukankah salah satu waktu ijabahnya do’a
adalah saat Allah menurunkan hujan sebagai rahmatNya?
Dia juga
pernah membasuh luka hatinya dengan duduk di bawah hujan yang deras di teras samping rumah. Membiarkan airmata turun sederas-derasnya,
dan meluapkan luka hatinya lewat tangis yang tersamarkan dengan curah hujan
yang sangat deras saat itu. Saat melihat air yang mengalir di bawah kakinya,
dia berharap dukanya ikut mengalir dan larut bersama air hujan tersebut. Tangan
dan tubuhnya gemetar dan jemarinya
mengerut karena dinginnya hujan yang terus menerus mengguyur tubuhnya. Namun hatinya
kemudian menghangat saat sepasang tangan kokoh mengangkat tubuhnya dan
merengkuhnya dalam pelukan, sembari membisikkan kata “Maafkan Ayah, Bunda…”
ilustrasi: credit |
Tak
selamanya hujan mewakili air matanya. Seringkali tetesan hujan yang jatuh,
menimpa dedaunan selendang lily di bawah jendela kerjanya, membuat tanaman satu
itu terlihat berbeda. Seperti anak dara yang pipinya bersemu merah. Dan
perempuan itu akan terinspirasi untuk menarikan jari jemarinya di atas keyboard
komputer kerjanya.
selendang lily, koleksi pribadi rebellina |
Juga bebauan
tanah, rerumputan dan dedaunan aneka tumbuhan yang subur di halaman depan
rumahnya,saat baru terkena air hujan yang jatuh berlimpah, selalu saja
menimbulkan pesona tersendiri di hati dan benaknya. Betapa rasa syukur
sebenarnya membuat kebahagiaan terasa indah dan mudah. Tidak perlu mencarinya kemana-mana.
ilustrasi, credit foto |
Atau saat
ijin diberikan kepada para buah hatinya, untuk sesuka hati berlari-lari di
bawah derasnya tetesan dari langit itu membasahi mereka. Tawa-tawa dan teriakan
gembira mereka di bawah rinai hujan, mengingatkannya pada kegembiraannya masa
kecil. Dan wajah neneknya pun terbayang di depan mata, melihatnya sembari duduk
di amben dengan segelas teh manis hangat. Itu membuat matanya basah, bukan
karena kesedihan, melainkan kenangan yang indah. Dan dia berharap, kelak
anak-anaknya mampu mengingatnya dengan kenangan yang indah, saat melihat hujan
turun. Seperti hari ini.
Hujan.., pun
mampu membuatnya tersipu malu. Saat melihat untuk pertama kalinya laki-laki yang kini dipanggilnya mesra dengan
sebutan ‘ayah’. Dan pertemuan pertama itu terjadinya di bawah rinai tipis hujan…
Hujan masih
menitik. Namun tidak sederas tadi. Dedaunan selendang lili basah sepenuhnya,
namun keindahannya justru semakin mencuat. Perjalanan kenanganku terhenti, saat
azan berkumandang memanggil. Aku beranjak dari kursiku. Berucap syukur dalam
diam, untuk segala kenangan, baik indah maupun menyakitkan, yang terbawa datang
seiring turunnya hujan. Hakekatnya hidup, ujian berupa tawa dan tangisan,
adalah rahmat, bukan?
ilustrasi foto, credit |
kenangan sedih dan gembira bersama hujan, cukup membuat saya berdesir :) hujan memang bisa memberikan sejuta kenangan
BalasHapusTerima kasih Mbak...
HapusTouching....gutlak ya mba untuk giveawaynya,
BalasHapusaku juga suka hujan...hujan membawaku berkelana ke seantero kenangan
hehehe, toss deh. pengelana hujan nih :)
HapusDulu waktu sekolah aku juga suka ujan2an mak, pernah pulang sekolah jalan kaki sambil hujan2an padahal udah SMA, mengenang masa kecil hehe
BalasHapuskadang-kadang, bersikap seperti anak kecil kembali, dalam hal ini bermain hujan, menyenangkan ya...
HapusWaktu baca ini lagi hujan mak...deras...:)
BalasHapushe eh. emang akhir-akhri ini hujan semakin akrab datang. moga rumahnya tidak terkena banjir lagi ya Mak kania
HapusHujan, selalu memiliki makna tersendiri bagi penikmatnya. Entah itu suka, duka, romantisme, silih berganti. Hujan yang penuh makna. Hujan aku suka...
BalasHapustapi kalau hujan turun terus-terusan, pusing juga. Hehehehe :) Aku suka hujan juga Mbak. Salam kenal :)
HapusMbaa, dibuat cerpen bagus ini
BalasHapushmmm, boleh juga usulnya. makasih Mbak
Hapus