Tidak Mengucapkan, Bukan Berarti Bermusuhan.

Setiap akhir tahun, selalu saja issue ini bermunculan. Layaknya bola panas, yang bergulir semakin membesar dan membara. Apalagi kalau bukan mengenai boleh tidaknya umat Islam mengucapkan Selamat Natal untuk umat Nasrani. Ada berbagai argumentasi yang seliweran. Tudingan anti toleransi yang diarahkan, dan pro-kontra yang bermunculan. Terkadaang, gatal tangan ingin ikut menuliskan komentar. Tapi dipikir-pikir, kurang efektif, hanya menambah besar bola api itu saja. Lebih baik saya tuliskan saja di blog sendiri .


Masa kecil saya yang penuh warna dengan asimilasi dan akulturasi dari beberapa suku dan agama, membuat saya tak terlalu peduli dengan ‘aturan’ syar’i mengenai hukum mengucapkan dan ikut merayakan bersama hari besar agama lain. Jadi ketika Natal dan Tahun Baru tiba, saya pun bersama anggota keluarga yang lain ikut datang ke rumah Om dan Tante, serta Opa Oma dari pihak Bapak yang sebagian besar beragama Nasrani. Bahkan sudah menjadi kebiasaan di tempat asal saya untuk saling mengirimkan makanan kepada tetangga yang berbeda agama di setiap perayaan hari besar agama. Hanya saja, di tempat saya, bukan pada saat Natalnya, melainkan pada Tahun Barunya. Alasannya, saat Natalnya, umat Nasrani lebih fokus pada ibadahnya.

Saat Idul Fitri, mama saya harus menyediakan dana yang lumayan besar karena selain mempersiapkan hidangan untuk keluarga sendiri, juga memberi hantaran berupa makanan ke keluarga pihak papa dan tetangga dekat yang beda agama. Jadi berapa saudara papa, sebanyak itulah mama harus mengirim rantang 5 susun untuk setiap keluarga. Belum lagi ke tetangga-tetangga dekat. Begitu pula sebaliknya. Saat Tahun Baru, gantian keluarga kita yang menerima banyak sekali paket rantang 5 susun. Namun kini, kebiasaan saling mengirim makanan dalam rantang sudah hampir tidak ada lagi. Alasannya sih sederhana, enggak kuat di biayanya J.

Tentu saja saat itu  tidak terbayang di benak bagi saya sebagai muslim apa hukumnya untuk ikut merayakan hari besar agama umat lain. Pertama, karena saya tidak tahu. Kedua, karena sebagian besar orang lain melakukan hal yang sama, sehingga saya pun merasa itu wajar-wajar saja. Ditambah keluarga besar memang berasal dari beberapa suku dan agama. Yang pasti, ketidaktahuan saya mengenai hukum tersebut karena kemalasan dan kebodohan saya untuk mempelajari agama saya sendiri.

Ketika kemudian saya hijrah, baik tempat dan pemikiran, haluan hidup dan pola pikir saya pun berubah. Bukan kemudian saya merasa sok tahu ketika saya mengambil keputusan menyelaraskan setiap langkah hidup saya sesuai tuntunan iman saya. Yang saya pahami, kalau kita menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka tidak akan ada yang salah atau bertentangan dengan sekitar kita, baik dengan alam, maupun dengan sesama manusia. Islam adalah pembawa rahmat untuk alam. Rahmatan Lil alamin. Itu yang saya yakini. Itu yang saya coba terapkan. Insha Allah.

Ketika pemahaman itu datang, saya pun mulai melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang terjadi akibat ketidaktahuan saya sebelumnya, termasuk melepaskan diri dari kebiasaan ikut mengucapkan dan merayakan hari besar agama lain. Mudah? Oh jelas tidak. Karena keluarga besar saya begitu majemuk, dan banyak juga yang beragama Nasrani.

Saya tetap datang ke rumah Tante dan Om yang beda agama dengan saya. Bahkan saya numpang sholat di rumah mereka, menginap dan makan makanan mereka. Tapi kedatangan saya itu bukan pada saat Natal, melainkan di hari yang lain. Saya tidak lagi mengucapkan selamat Natal dan ikut merayakan hari itu bersama mereka.

Masalahkah itu kemudian dengan mereka? Tidak . Dan mereka juga tidak menanyakan mengapa saya tidak mengucapkan selamat Natal atau  tidak datang saat perayaan diadakan oleh mereka.  Saya pun tidak pernah menuntut, atau keberatan saat mereka juga tidak mengucapkan hal yang sama di saat Lebaran Idul Fitri atau haji.

Ketika saya masih mengontrak di salah satu perumahan yang ada di kota Bogor, tetangga persis sebelah rumah saya , adalah seorang Nasrani. Saya sering main ke teras rumahnya, duduk ngobrol bersama. Kalau saya masak kue, saya beri ke tetangga tersebut sebagian. Atau saat pohon pepaya di halaman begitu lebatnya berbuah,  saya persilahkan tetangga tersebut untuk mengambilnya. Sesuka hati. Namun sekalipun saya tidak pernah mengucapkan selamat Natal dan tahun Baru pada tetangga kami tersebut selama beberapa tahun kami bertetangga.

Bermasalah? Tidak ! Kami tetap saling mengunjungi di hari-hari biasa, duduk ngobrol di teras bersama, saling melempar senyum saat Hari Minggu dia naik motor bersama suami dan anaknya ke gereja. Atau saat Lebaran saya pamitan padanya karena harus ke rumah mertua, dan dia berjanji akan menjaga rumah kami.

Saat kami sibuk mengurus barang-barang untuk pindah rumah, tetangga kami itulah yang sangat membantu. Baik istrinya dan suaminya ikut repot mengangkat barang-barang yang akan kami bawa ke dalam mobil pick-up. Kami pun saling berpelukan dan saling minta maaf bila selama berhubungan ada terkhilaf kata dan perbuatan. Manis, bukan?

Kalau  sebagian umat Islam begitu ketakutan bahwa ketika kita tidak ikut mengucapkan selamat Natal pada sahabat,kerabat atau tetangga kita yang Nasrani, berarti dianggap tidak bisa memaknai toleransi, saya kira itu tidak benar. Persepsi kita sendiri yang membentuk ketakutan tersebut. Padahal saudara-saudara kita yang Nasrani juga tidak mempermasalahkan sikap kita yang tidak mengucapkan selamat. Kalau nyata-nyatanya hari-hari kita selama ini, interaksi yang kita lakukan berjalan baik, pasti tidak masalah.

 Bisa jadi juga sikap  sebagian dari kita tersebut ( yang begitu memaksakan diri untuk bisa diterima pendapatnya bahwa sekedar mengucapkan selamat itu tidak membawa konsekwensi apapun terhadap keyakinan dan keimanan seseorang),   karena ada perasaan tidak aman .Status kedudukan kita di tengah masyarakat, pekerjaan dan lingkungan sosial sering membuat kita berlebihan dalam mencitrakan diri, termasuk dalam hal bersikap ‘toleran’ . Tapi toleran seperti apa yang kemudian kita jadikan acuan? Kalau saya, toleran dalam hal iman dan keyakinan, tentu saja yang tercantum dalam AlKafiruun. Bagiku agamaku, bagimu agamamu.

Dalam Islam pun ada hukum-hukum yang menyangkut muamalah, hubungan sesama manusia, yang tidak  memandang agama. Kita tidak bisa mengabaikan tetangga kita yang kekurangan  hanya karena dia tidak seiman dengan kita. Itu jelas salah, karena kewajiban untuk berbuat baik terhadap tetangga, ada diatur dalam Alqur’an. Bila ada tetangga yang sampai mati karena keparan, walau dia beda agama dengan kita, maka kita akan juga kena dosa di hadapan Allah karena abai terhadap tetangga.  Hanya saja yang menyangkut masalah akidah, tetap harus menjadi acuan nomor satu. Jadi tetap harus dibedakan mana  perbuatan yang membawa konswensi iman dan akidah, dan mana perbuatan yang sebatas hubungan muamalah saja,  mana makna toleransi yang hanya menyangkut hubungan sesama manusia, dan mana makna toleransi yang membawa konsekwensi terhadap akidah kita.

Pengertian itu terbangun karena hubungan baik sehari-hari. Toleransi tidak terbentuk sehari saja, begitu hari besar agama itu tiba. Apalagi dengan ucapan selamat dan ikut perayaan. Toleransi itu adalah bagaimana hari-hari kita berinteraksi dengan sesaama, baik yang seiman maupun tidak seiman. Karena nyatanya, walau dalam iman dan keyakinan yang sama, belum tentu memiliki rasa toleransi yang sama. Toleransi itu menimbulkan rasa nyaman dan aman, walau kita berada dalam lingkungan yang berbeda dengan sekeliling kita, tanpa kita harus lebur dalam kebiasaan yang bertentangan dengan iman kita. Dengan toleransi seperti ini, saat hari agama apapun tiba, tidak akan jadi masalah untuk setiap orang yang memiliki keyakinan yang beda untuk tidak mengucapkan selamat dan tidak turut merayakan. 

Tanyakan pada sahabat atau tetanggamu yang beda agama, apakah ketika hubungan baik yang kita jalin selama ini akan menjadi permusuhan hanya karena tidak terucap kata selamat bagi perayaan hari agama masing-masing pihak? Tidak mengucapkan, bukan berarti bermusuhan, bukan?

Begitupun, untuk menyikapi perbedaan sikap dari saudara kita yang seakidah dalam memaknai hukum mengucapkan dan ikut serta merayakan hari besar agama lain, kita pun harus bersikap bijak. Jangan gampang menudingkan jari, memberi stigma buruk atau bahkan sampai melabeli kafir pada mereka yang masih melakukan hal itu. Posisikan mereka sebagai saudara kita yang belum tahu, dakwah belum sampai secara menyeluruh ke mereka. Atau mereka sedang dalam posisi yang secara psikologis dituntut untuk harus memberi citra toleran . Hanya saja makna toleran itu yang berbeda dengan apa yang Islam sudah jelaskan dalam aturannya yang lengkap dalam Qur’an dan hadist.

Tidak perlu ikut panas hati menyikapi sikap saudara sekidah kita yang menyebut kita anti toleransi. Biasanya, dalam situasi seperti ini, dalil dan hujjah apapun yang kita sampaikan akan mental. Karena cara pandang yang dipakai berbeda, jadi sulit dapat ttitik temunya.

Asah diri terus untuk menjadi muslim yang baik, yang berkiprah sesuai fitrah dan tuntunan syariat. Muslim yang baik itu dilihat dari hubungannya dengan Rabbnya, dan interaksinya dengan sesamanya, baik seakidah maupun yang tidak seakidah, tanpa lebur dalam kepercayaan dan kebiasaan yang tidak dibenarkan dalam aturan Islam. Muslim yang baik, tetap akan dihargai di manapun tanpa dia harus ikut mengucapkan selamat bagi hari besar agama lain. Karena sekali lagi, Tidak mengucapkan, bukan berarti bermusuhan. Apalagi mengibarkan bendera perang. Peace!













Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

4 komentar:

  1. Lakum dinikmati waliyadiin... Betul mak, kita tak mengucapkan selamat bukan berarti kita Tak menghafal Mereka :)

    BalasHapus
  2. Lakum diinukum waliyadiin maksudnya itu mak..ini pake android Kok Ya be rubah sendiri

    BalasHapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti