“Mama”, film horor drama yang menyentuh hati ; Sebuah ulasan dari sudut pandang seorang ibu
Menonton film horor yang satu ini beda dari horor lainnya yang pernah saya tonton. Terlepas dari kejutan-kejutan yang mendebarkan jantung, film Mama ini berhasil menyedot emosi saya dan membuat mata saya basah... (Rebellina)
Sudah lama saya ingin menonton film Mama (2013) besutan sutradara Andres Muschietti. Film yang diangkat dari film pendek , cuma 3 menit,dari sutradara yang sama. Spoiler film ini begitu menggoda hati untuk menontonnya. Namun baru kesampaian setelah hubby mendownload film ini dari salah satu situs film gratisan.
Layaknya film horor, pastilah dimaksudkan untuk memberi rasa takut pada penontonnya. Saya akui, itu lumayan saya dapatkan dari film ini, terutama dibagian awal-awal film. Suasana creepy ditambah backsound music yang mendukung, lumayan membuat adrenalin meningkat. Belum lagi penampakan Mama, terutama juga suara-suara sang Mama saat akan muncul, membuat beberapa kali saya menyembunyikan wajah di dada suami (asyiknya kalau nonton berdua bareng hubby, hehehe)
Yuk Dibaca Juga yang Tak Kalah Seram Sekaligus Menyentuh : The Orphanage
Tapi ternyata, tidak seperti film-film horor lainnya yang pernah saya tonton , film mama ini justru memikat hati saya bukan karena kengerian yang berhasil dibangunnya. Namun karena drama yang menyentuh emosi tentang hubungan seorang ‘Mama’ dengan anak-anaknya. Mungkin karena saya juga seorang ibu, jadi film ini bagi saya terasa spesial, punya nilai plus lainnya dari beragam film horor yang pernah saya tonton sebelumnya.
Menonton film Mama seperti membaca visualisasi buku-buku dongeng masa kecil, dengan pembukaan cerita yang dimulai dengan Once upon a time… (pada suatu ketika..). Tokohnya pun terpusat pada 2 bocah kecil, yakni Victoria dan Lily. Victoria (Megan Charpentier) masih berusia 3 tahun dan Lily (Isabelle Nelisse) 1 tahun, saat mereka dibawa oleh ayah mereka, setelah membunuh ibu mereka. Perjalanan menembus suasana dingin bersalju berakhir di suatu kabin di tengah hutan setelah mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan tunggal karena menabrak pohon.
Jeff, sang ayah yang galau kemudian bermaksud membunuh kedua putrinya dan setelahnya membunuh dirinya sendiri. Namun sebelum dia berhasil melakukan niatnya, tubuhnya lenyap dibawa oleh sosok yang tak terlihat jelas. Di sini saya sempat berpikir kalau yang menolong anak-anak malang ini adalah hantu ibunya sendiri yang dibunuh oleh ayahnya. Apalagi sebelumnya Victoria sempat berkata kepada ayahnya bahwa dia melihat sosok perempuan yang kakinya tidak menyentuh lantai. Dan kalau dikaitkan dengan judulnya dan tagline film ini, A Mother’s love is forever, khan kena banget kalau saya kemudian mengasosiasikan ini hantu mamanya sendiri. But uppss…..
Lalu, adegan selanjutnya yang menyentuh di bagian ini adalah saat sang kakak, Victoria, memangku adiknya Lily yang masih demikian kecil (1 tahun), duduk di depan perapian di tengah ruangan bobrok, tanpa teman, dan menunggu ayah yang tak mungkin kembali. Duh…, sebagai ibu, scene yang ini membuat hati saya serasa diremas-remas. Sedih..
Rasa sedih juga hadir saat mata disuguhi coretan di dinding, yang menggambarkan apa yang anak-anak tersebut lalui sepanjang hari. Saya tidak bisa membayangkan kalau hal seperti ini dialami oleh anak-anak saya. Dan mungkin ini titik awal justru muncul rasa simpathi pada sosok Mama. Setidaknya, kehadiran hantu yang selalu diartikan dengan ketakutan dan kengerian, di film ini justru saya melihatnya berbeda. Sosok ini benar-benar menjadi mama bagi anak-anak yang terlantar tersebut. Tentunya dengan caranya sendiri.
Awal kehadiran Mama memang terasa mencekam. Apalagi suara-suara yang muncul seiring kehadiran Mama, mampu membuat saya terkaget-kaget dan menyembunyikan wajah di dada suami (hehehe, suka film horor, tapi penakut). Pemandangan horor lainnya adalah saat pertama kali Victoria dan Lily ditemukan 5 tahun kemudian. Untuk scene yang ini prilaku Victoria dan Lily sepertinya mengadaptasi dari prilaku anak-anak yang diasuh oleh hewan (salah satunya adalah kisah nyata Oxana Malaya dari Ukraina).
Adegan lainnya yang membuat ketakutan saya berkurang terhadap si Mama adalah saat melihat betapa bahagia dan riangnya Lily bermain-main dengan sang Mama di kamar. Rasanya saya seperti melihat diri saya tengah bermain dan bercanda dengan anak-anak sendiri di kamar. Di adegan ini sudah terlihat perbedaan perubahan sikap dari Victoria dan Lily. Victoria sudah menyadari “siapa” sosok sang Mama, dengan selalu membuka kacamatanya terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Mama. Sementara Lily yang memang sejak kecil (1 tahun) di asuh oleh Mama, belum bisa melepaskan diri dari ikatan emosi antara dirinya dengan Mama. Bagi Lily, Mama merupakan sosok ibu yang sebenarnya untuknya.
Kehadiran Annabel menimbulkan rasa iri Mama. Annabel yang semula kurang menyukai anak-anak, mulai muncul naluri keibuannya, saat dia terpaksa harus mengurus Victoria dan Lily, sementara Lucas masih berada di rumah sakit akibat jatuh dari tangga. Kedekatan yang terjalin membuat Annabel dan Victoria semakin dekat, namun belum dengan Lily. Annabel memang sudah mulai berhasil menyentuh hati Lily. Sayang, waktu tidak berpihak pada Annabel untuk lebih meraih hati Lily (saya sempet ngedumel dengan skenarionya, duh harusnya kedekatan Annabel dan Lily dibuat lebih lama supaya Lily bisa memilih ikut Annabel seperti kakaknya. Jadi endingnya tidak bikin nyesek hati, hiks ).
Itulah endingnya yang bikin hati nyesek, dan mata saya basah. Ending horor yang tidak biasa, bukan karena menakutkan, tetapi karena kesedihan terpisahnya Lily dari Victoria, Annabel dan pamannya yang bisa saya rasakan, pun sekaligus pemakluman mengapa Lily lebih memilih untuk ikut dengan Mama.
Dan Lily, memang terlihat bahagia dalam pelukan sang Mama. Terlihat dari sorot matanya yang berbinar-binar, senyum dan tawanya yang merekah, serta sentuhan jemarinya ke pipi sang Mama. Asli, saya nangis waktu nonton adegan yang ini.
Sebagai ibu, saya memaklumi mengapa Lily akhirnya memilih Mama, bukan Annabel. Kedekatan emosi yang terbangun antara Lily dan Mama berlangsung sejak dia masih sangat kecil, yakni usia 1 tahun, sampai dia berusia 6 tahun. Seburuk apapun penampilan sosok Mama, tapi sosok itulah yang memberikan perlindungan, kasih sayang, dan kehangatan bagi jiwa anak-anak yang terlantar tanpa orang tua tersebut. Jadi tidak heran, walau dimata manusia Mama adalah hantu yang menakuitkan, tetapi di mata dan hati Lily, Mama, adalah sosok Mama yang sebenarnya. Dan naluri Lily sebagai anak, tentulah dia lebih memilih ikut bersama Mamanya yang memang terlihat dan dirasa menyayanginya dengan tulus.
Menonton film Mama seperti dihadapkan pada ironi dengan kejadian nyata yang banyak bertebaran di sekeliling kita akhir-akhir ini. Penelantaran anak-anak, penyiksaan, bahkan kekejian yang berujung pada kematian terhadap anak-anak tidak berdaya ini, yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, termasuk ibu kandung. Betapa di balik wajah-wajah manusia dari sosok-sosok ibu kandung yang sanggup melakukan kekejian ini terhadap anak-anak mereka, ternyata menyimpan tabiat yang mengerikan seperti ‘hantu’. Ibu-ibu kejam inilah sebenarnya yang layak disebut hantu, dibanding sosok Mama dalam film Mama ini. Ah, kok saya jadi ngelantur membandingkan sosok Mama dengan ibu-ibu kejam di luar sana.
Kembali ke film Mama. Kekuatan film Mama didukung oleh akting dari Jessica Chastain (Annabel), Nikolaj Coster Waldau (Lucas), Megan Carpentier (Victoria) dan Isabelle Nelisse. Dan angkat jempol buat akting dari pemeran tokoh Victoria (Megan Carpentier), dan terutama Lily (Isabelle Nelisse).
Terlepas ada satu dua adegan yang menurut saya kurang masuk akal, film ini menurut saya sangat ok untuk di tonton. Tapi tidak untuk yang berpenyakit jantung, karena penampilan Mama di awal-awal film cukup membuat kita hampir terlompat dari kursi
Notes: Saya tidak mereview film ini dari sisi cinematograpi atau kualitas cerita. saya cuma mengulas jalan cerita berdasarkan perasaan saya sebagai ibu.
Salam
Rebellina Santy
![]() |
Mama, 2013, sumber foto di sinisini |
Sudah lama saya ingin menonton film Mama (2013) besutan sutradara Andres Muschietti. Film yang diangkat dari film pendek , cuma 3 menit,dari sutradara yang sama. Spoiler film ini begitu menggoda hati untuk menontonnya. Namun baru kesampaian setelah hubby mendownload film ini dari salah satu situs film gratisan.
Layaknya film horor, pastilah dimaksudkan untuk memberi rasa takut pada penontonnya. Saya akui, itu lumayan saya dapatkan dari film ini, terutama dibagian awal-awal film. Suasana creepy ditambah backsound music yang mendukung, lumayan membuat adrenalin meningkat. Belum lagi penampakan Mama, terutama juga suara-suara sang Mama saat akan muncul, membuat beberapa kali saya menyembunyikan wajah di dada suami (asyiknya kalau nonton berdua bareng hubby, hehehe)
Yuk Dibaca Juga yang Tak Kalah Seram Sekaligus Menyentuh : The Orphanage
Tapi ternyata, tidak seperti film-film horor lainnya yang pernah saya tonton , film mama ini justru memikat hati saya bukan karena kengerian yang berhasil dibangunnya. Namun karena drama yang menyentuh emosi tentang hubungan seorang ‘Mama’ dengan anak-anaknya. Mungkin karena saya juga seorang ibu, jadi film ini bagi saya terasa spesial, punya nilai plus lainnya dari beragam film horor yang pernah saya tonton sebelumnya.
Menonton film Mama seperti membaca visualisasi buku-buku dongeng masa kecil, dengan pembukaan cerita yang dimulai dengan Once upon a time… (pada suatu ketika..). Tokohnya pun terpusat pada 2 bocah kecil, yakni Victoria dan Lily. Victoria (Megan Charpentier) masih berusia 3 tahun dan Lily (Isabelle Nelisse) 1 tahun, saat mereka dibawa oleh ayah mereka, setelah membunuh ibu mereka. Perjalanan menembus suasana dingin bersalju berakhir di suatu kabin di tengah hutan setelah mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan tunggal karena menabrak pohon.
Jeff, sang ayah yang galau kemudian bermaksud membunuh kedua putrinya dan setelahnya membunuh dirinya sendiri. Namun sebelum dia berhasil melakukan niatnya, tubuhnya lenyap dibawa oleh sosok yang tak terlihat jelas. Di sini saya sempat berpikir kalau yang menolong anak-anak malang ini adalah hantu ibunya sendiri yang dibunuh oleh ayahnya. Apalagi sebelumnya Victoria sempat berkata kepada ayahnya bahwa dia melihat sosok perempuan yang kakinya tidak menyentuh lantai. Dan kalau dikaitkan dengan judulnya dan tagline film ini, A Mother’s love is forever, khan kena banget kalau saya kemudian mengasosiasikan ini hantu mamanya sendiri. But uppss…..
Lalu, adegan selanjutnya yang menyentuh di bagian ini adalah saat sang kakak, Victoria, memangku adiknya Lily yang masih demikian kecil (1 tahun), duduk di depan perapian di tengah ruangan bobrok, tanpa teman, dan menunggu ayah yang tak mungkin kembali. Duh…, sebagai ibu, scene yang ini membuat hati saya serasa diremas-remas. Sedih..
Rasa sedih juga hadir saat mata disuguhi coretan di dinding, yang menggambarkan apa yang anak-anak tersebut lalui sepanjang hari. Saya tidak bisa membayangkan kalau hal seperti ini dialami oleh anak-anak saya. Dan mungkin ini titik awal justru muncul rasa simpathi pada sosok Mama. Setidaknya, kehadiran hantu yang selalu diartikan dengan ketakutan dan kengerian, di film ini justru saya melihatnya berbeda. Sosok ini benar-benar menjadi mama bagi anak-anak yang terlantar tersebut. Tentunya dengan caranya sendiri.
Awal kehadiran Mama memang terasa mencekam. Apalagi suara-suara yang muncul seiring kehadiran Mama, mampu membuat saya terkaget-kaget dan menyembunyikan wajah di dada suami (hehehe, suka film horor, tapi penakut). Pemandangan horor lainnya adalah saat pertama kali Victoria dan Lily ditemukan 5 tahun kemudian. Untuk scene yang ini prilaku Victoria dan Lily sepertinya mengadaptasi dari prilaku anak-anak yang diasuh oleh hewan (salah satunya adalah kisah nyata Oxana Malaya dari Ukraina).
Adegan lainnya yang membuat ketakutan saya berkurang terhadap si Mama adalah saat melihat betapa bahagia dan riangnya Lily bermain-main dengan sang Mama di kamar. Rasanya saya seperti melihat diri saya tengah bermain dan bercanda dengan anak-anak sendiri di kamar. Di adegan ini sudah terlihat perbedaan perubahan sikap dari Victoria dan Lily. Victoria sudah menyadari “siapa” sosok sang Mama, dengan selalu membuka kacamatanya terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Mama. Sementara Lily yang memang sejak kecil (1 tahun) di asuh oleh Mama, belum bisa melepaskan diri dari ikatan emosi antara dirinya dengan Mama. Bagi Lily, Mama merupakan sosok ibu yang sebenarnya untuknya.
![]() |
Annabel menenangkan Lily. sumber foto: di sini |
![]() |
Saat Lily mulai merasakan naluri keibuan Annabel, sumber foto di sini |
Itulah endingnya yang bikin hati nyesek, dan mata saya basah. Ending horor yang tidak biasa, bukan karena menakutkan, tetapi karena kesedihan terpisahnya Lily dari Victoria, Annabel dan pamannya yang bisa saya rasakan, pun sekaligus pemakluman mengapa Lily lebih memilih untuk ikut dengan Mama.
Dan Lily, memang terlihat bahagia dalam pelukan sang Mama. Terlihat dari sorot matanya yang berbinar-binar, senyum dan tawanya yang merekah, serta sentuhan jemarinya ke pipi sang Mama. Asli, saya nangis waktu nonton adegan yang ini.
Sebagai ibu, saya memaklumi mengapa Lily akhirnya memilih Mama, bukan Annabel. Kedekatan emosi yang terbangun antara Lily dan Mama berlangsung sejak dia masih sangat kecil, yakni usia 1 tahun, sampai dia berusia 6 tahun. Seburuk apapun penampilan sosok Mama, tapi sosok itulah yang memberikan perlindungan, kasih sayang, dan kehangatan bagi jiwa anak-anak yang terlantar tanpa orang tua tersebut. Jadi tidak heran, walau dimata manusia Mama adalah hantu yang menakuitkan, tetapi di mata dan hati Lily, Mama, adalah sosok Mama yang sebenarnya. Dan naluri Lily sebagai anak, tentulah dia lebih memilih ikut bersama Mamanya yang memang terlihat dan dirasa menyayanginya dengan tulus.
![]() |
Lily, dibalik tubuh kakaknya, Victoria |
Menonton film Mama seperti dihadapkan pada ironi dengan kejadian nyata yang banyak bertebaran di sekeliling kita akhir-akhir ini. Penelantaran anak-anak, penyiksaan, bahkan kekejian yang berujung pada kematian terhadap anak-anak tidak berdaya ini, yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, termasuk ibu kandung. Betapa di balik wajah-wajah manusia dari sosok-sosok ibu kandung yang sanggup melakukan kekejian ini terhadap anak-anak mereka, ternyata menyimpan tabiat yang mengerikan seperti ‘hantu’. Ibu-ibu kejam inilah sebenarnya yang layak disebut hantu, dibanding sosok Mama dalam film Mama ini. Ah, kok saya jadi ngelantur membandingkan sosok Mama dengan ibu-ibu kejam di luar sana.
Kembali ke film Mama. Kekuatan film Mama didukung oleh akting dari Jessica Chastain (Annabel), Nikolaj Coster Waldau (Lucas), Megan Carpentier (Victoria) dan Isabelle Nelisse. Dan angkat jempol buat akting dari pemeran tokoh Victoria (Megan Carpentier), dan terutama Lily (Isabelle Nelisse).
Terlepas ada satu dua adegan yang menurut saya kurang masuk akal, film ini menurut saya sangat ok untuk di tonton. Tapi tidak untuk yang berpenyakit jantung, karena penampilan Mama di awal-awal film cukup membuat kita hampir terlompat dari kursi
![]() |
Isabelle Nelisse (Lily) dan Megan Carpentier (Victoria) |
Notes: Saya tidak mereview film ini dari sisi cinematograpi atau kualitas cerita. saya cuma mengulas jalan cerita berdasarkan perasaan saya sebagai ibu.
Salam
Rebellina Santy
Emang sedih nonton film ini. Horornya malah ga berasa kata saya. Udah nonton lama tapi ga bisa nge-review. Hihihi.
BalasHapusiya Mak. saya sih lebih merasa sedih dan terharu walau sempat terkaget-kaget di awal film dengan penampakan Mama-nya. Sampai sekarng suka lihat bagian endingnya saat lily menatap sayang ke mama-nya
Hapuswew..kayaknya seru ini. Mau nonton juga ah. TFS ya mbak
BalasHapussama-sama. seru dan sedih jadi satu, hehehe
Hapusbelom nonton mak film ini,, tapi saya suka parno setelah nonton film horor euy.. tapi penasaran... *labil*
BalasHapuskalau menurut saya sih Mak, film ini jatuhnya tidak horor lagi, melainkan drama. sosok Mama yang awal terlihat mengerikan jadi malah menimbulkan simpati. menurut saya sih...:)
HapusPenasaran...jd pingin ikut liat jg...hihi...siap2 tissue yg banyak ni...
BalasHapusboleh-boleh..Tisuenya disiapin untuk akhir ceritanya :( (tetep sedih inget endingnya)
Hapusbagus ya, mba? aku kurang suka horor, kadang serem liat dandanan pemainnya
BalasHapusmenurutku bagus, mbak. soal dandanan, jangan takut. bukan horor ala Indonesia, hehehe. cuma memang tampilan Mamanya ngagetin :)
Hapuspenasaran...ntr minta donlotin suami ke warnet aja lbh cepet. donlot sendiri gagal terus n jadi kacau he he.
BalasHapuspadahal di link yanng saya tautkan di atas, banyak film bagus lho Mbak. lumayan, pelepas penat saat bete. apalagi kalau nontonnya dengan hubby. oh ya, enggak sayang loh meluangkan sedikit waktu nonton ini, heheh
Hapuswaaa, saya nggak suka film horor karena ngagetinnya itu, mak. abis nonton, terbayang-bayang dan suka kepikiran. :v haduh, penakut euy... itu lilynya ikut emaknya yg hantu, jadi apa dia? :v jangan2 ada lanjutannya :p
BalasHapusfilm "horor" yg bisa saya tonton berulang-ulang cuma sixth sense sm the other.. itu juga klo dikategorikan horor, hehe.. oh ya, the orphan juga. klo film mama ini agak ke drama y mak? jadi penasaran nih. heuheu.
menurut saya sih iya, mama ini horor drama. endingnya memang bikin nyesek, karena pilihan Lily yang tidak seperti yg kita inginkan. saya suka sixth sense dan the other. menurut saya, kedua film itu awal mula genre film horor yang berangkat dari sudut pandang si hantu :)
Hapuswuih penasaraaan.. ntar ikutan download aaah.... :) makasih review nya mbak..
BalasHapussama-sama. siapin tissue ya :)
Hapuswah saya telat komentar nih. baru nonton seminggu yg ll di HBO. tegang tapi penasaran..saya suka cara org holywood mnginterpretasikan ghost mnrt versi pikiran mrk: bernaluri. fisiknya pun halus..pokoke canggih dibanding film horor dlm negeri.
BalasHapushoror dalam negeri banyakan *o*n* nya dan cerita yang enggak punya misi nya.
HapusWihh film nya seru banget.. tapi ada satu peristiwa menegangkan pada mamah aku setelah nonton film mama.. mamah aku nyebutin mama 3x "mama mama mama" dengan di resapi, fikiran kosong, danmembayangkan si anak dalam film tsb memanggil nama mama.. tidak lama kemudian mamah aku mendengarkan suara geraman yang sangat lembut tetapi keras d telinga nya,. Hiiii atut
BalasHapushahaha, katanya sih kalau kita nonton atau baca cerita menyangkut 'itu tu..", mereka malah serasa terpanggil loh untuk berada dekat dnegan kita. katanya sih..
Hapusmungkin daripada ngerasa sedih pas liat film ini... ane malah ngerasa kasian sama "mama"
BalasHapuskalo gak salah ada adegan yang menggambarkan "mama" saat maih hidup kan ? meski gak terlalu jelas tapi menurut ane itu adegan menceritakan "mama" yang tidak diperbolehkan bertemu anaknya oleh para suster karna suatu hal
iya, sebenarnya tokoh mama ini layak dikasihani kalau dilihat dari latar belakang dia menjadi begitu..
HapusSalam kenal mba... Dulu pernah baca sedikit cerita nya secara tidak sengaja. Tapi belum tertarik. Kalau saya tidak salah bulan lalu di putar di TV. Setelah baca tulisan mba, mungkin saya harus mencoba untuk menontonnya. Btw, link nya yg mana y mba? Tq buat ulasan nya.
BalasHapussalam kenal juga. beberapa waktu yang lalu, kalau tidak salah sekitar 2 minggu yang lalu, di putar di Global, tapi tengah malam/dini hari. Kalau link filmnya, coba cari di nontonfilm.com atau ketik di Google dengan kata kunci download film gratis sub tittle Indonesia film Mama. semoga membantu
Hapusaku aja nangis pas nonton film ini, lebih terharu sih dari pada seremnya, dan film ini bagus
BalasHapussalam,
kesya
iya. lebih membuat terharu daripada takut...
HapusOh ternyata mama itu ibunya yg di bunuh oleh ayahnya sendiri toh. Pantes saya sampai googling.
BalasHapusTapi menurutku masih misterius sih. Soalnya pas dia yg dikejar kejar dihutan itu siapa. Kok cepat sekali mamanya dihutan. Kan pas pada waktu itu masih dikota rumahnya.
bukan. Mama ini bukan hantu dari ibu anak-anak ini.
Hapushe eh Mbak. ini film sukses bikin baper. saya kalau nonton ulang, masih tetep mbrebes mili
BalasHapus