Bukan Seperti Ibu Malin Kundang

Batu Malin Kundang, photo, credit

 “Mengapa ibunya Malin Kundang sampai harus mengutuk anaknya,Bun? Bukannya sebagai ibu, dia harus bisa memafkan?”

Pertanyaan Syafa itu membuat saya terdiam sejenak. Saya memang mengisahkan cerita tentang Malin Kundang saat itu. Bercerita adalah salah satu cara saya  mendidik anak-anak. Saya ambil kisah Malin Kundang ini agar mereka bisa menangkap pesan yang terkandung di dalamnya, yakni tidak menjadi anak durhaka. Namun saya tidak menyangka bahwa putri sulung saya punya pemikiran lain, dan mengajukan  pertanyaan kritis seperti itu.

“Mungkin ibunya hanya spontan saat itu, Kak. Karena rasa sedih dan sakit hati diperlakukan begitu oleh Malin Kundang. Buktinya, ibu Malin Kundang kemudian menyesal. Namun, semua sudah terjadi,” kata saya setelah tertegun sejenak tadi. Kakak Sya manggut-manggut saja saat itu.

Pertanyaan Kakak Sya menyentak kesadaran saya yang terdalam, membuat saya mengenang kilasan-kilasan masa lalu saya. Perihal hubungan saya dengan Mama. Hubungan yang sejak saya baligh, tidak mulus. Penuh konflik dan perasaan saling terluka.

Saya ingat, setiap kali bertengkar dengan mama, butuh waktu lama untuk kami bisa bersikap normal. Seringkali saya tidak bertegur sapa dengan mama sampai berminggu-minggu. Kalau ingat itu, saya menyesali kekerasan hati saya terhadap ibu kandung saya tersebut. Mama sendiri sikapnya juga keras hati. Mungkin, saya mewarisi sikap keras hati itu dari beliau.

Sikap kami berdua yang sama-sama keras hati itu membuat papa (alm) jadi resah. Setiap kali konflik antara mama dan saya terjadi, beliau mengajak saya berbicara,mengingatkan akan surga di bawah telapak kaki ibu. Petuah papa itu membuat saya bercucuran airmata, mengingat kemungkinan saya termasuk golongan orang yang durhaka pada orangtuanya, terutama ibu. Biasanya, setelah itu kemudian saya akan berbaikan lagi dengan mama.

Namun entah karena sikap kami yang masing-masing keras kepala, atau secara emosional saya belum matang karena dalam proses pertumbuhan menuju dewasa, konflik itu terjadi lagi, dan lagi.Dan berulangkali pula Papa mendamaikan kami dengan caranya. Alhamdulillah, mama saya pun selalu memaafkan saya setiap kali kami berdamai.

Setelah saya semakin dewasa, konflik itu mereda. Saya disibukkan oleh usaha saya, sehingga potensi berbeda pendapat dengan mama jauh berkurang. Masa-masa itu hubungan saya dengan mama terjalin sangat baik.

Saat it usia saya sudah sangat cukup untuk membina rumah tangga. Adik saya bahkan sudah melangkahi saya dan memberi keponakan-keponakan. Saat itu mama khawatir saya sulit mendapatkan jodoh karena sikap saya yang dulu suka melawannya. Mama menyarankan, mungkin salah satu cara saya agar  mudah dapat jodoh adalah meminta maaf pada mama dengan cara meminum air cucian kakinya.

“Bukan Mama belum memaafkanmu,” katanya mencoba memahami pertanyaan yang tak terucap dari bibir saya saat itu.”Hanya saja, orangtua jaman dulu menyarankan begitu,” lanjutnya lagi.

Saya turuti maunya mama saya, karena saya pun menyadari begitu banyaknya dosa-dosa yang saya lakukan terhadap mama. Terlepas prinsip kebenaran yang saya dan mama anut berbeda, tak saya pungkiri cara saya bersikap pada mama kurang santun.

Hanya kami berdua yang tahu apa yang kami lakukan saat itu. Bahkan Papa pun tidak mengetahui  hal ini. Entahlah kalau mama yang memberi tahu beliau.  Mama mencuci bersih kakinya, sampai benar-benar bersih. Baru setelah kaki mama bersih, dimasukkan ke dalam ember kecil berisi air. Air itu yang saya minum seteguk, sekaligus meminta maafnya. Kami berdua berpelukan dan sama-sama menangis saat itu.

Saya percaya, keridhoan Mama setelah peristiwa itu menyumbang andil saya menemukan jodoh seperti yang saya harapkan. Yakni yang mampu menjadi imam dan membimbing saya untuk semakin dekat padaNya. Dan mama saya bukanlah seperti ibu Malin Kundang, yang karena kemarahannya, sampai khilaf menyumpahi anaknya sebagai anak durhaka. Buktinya, mama memaafkan saya, dan beliau juga mau berbesar hati menangis meminta maaf pada saya.

Kini, sebagai ibu dari 4 anak, satu menjelang remaja, saya pun menyadari adanya potensi konflik antara saya dengan putri saya. Apalagi sepertinya dia juga mewarisi sikap keras dari saya. Melihat dia tumbuh menjelang remaja, saya seperti melihat cerminan diri saya di masa lalu.

Saya dan Si Sulung pun kerap berbeda pendapat terhadap suatu hal. Atau, kadangkala saya anggap dia sedang membangkang pada saya dengan kata-katanya yang keras dan tajam. Tak jarang pula saya terluka dengan ulahnya. Di saat seperti ini, saya memahami perasaan mama saya dulu terhadap saya.

Kadang saya memilih menjauh sejenak dari putri saya. Tidak dalam kisaran berhari-hari, atau pula berminggu-minggu. Paling hanya 1-2 jam, untuk sejenak meredakan emosi saya. selepas itu, saya akan memilih berdamai dengannya, dengan segera memaafkannya. Untuk persoalan memaafkan anak, saya memilih untuk tidak menunda-nundanya.Saya khawatir, hati belum sempat memaafkannya, bisa jadi Allah memanggil saya saat itu. Kasihan anak saya nanti, bila saya pergi masih dalam keadaan marah padanya. Saya tidak ingin pengalaman saya dengan mama saya, terulang dengannya. Saya ingin menjadi ibu yang jauh lebih sabar dari anaknya, yang menyediakan lautan maaf yang tak bertepi, apapun kesalahan yang pernah dilakukan anaknya.

Saya tidak ingin mewarisi luka bathin pada putri saya, seperti yang saya alami, karena konflik yang berkepanjangan dengan orang tua.Jadi kelak, saat saya menua dengan keterbatasan saya, atau anak-anak jauh dari saya, yang diingat oleh anak-anak saya adalah mereka selalu punya tempat untuk pulang ke bundanya.Walau mungkin mereka pernah salah mengambil keputusan dalam hidupnya, mereka tidak takut untuk merebahkan dirinya pada saya, karena mereka yakin, bundanya ini selalu memaafkan mereka, menyintai mereka dengan segala kekurangan dan kelebihannya..Karena mereka tahu, bundanya bukanlah seperti ibu Malin Kundang yang tak mampu menahan diri dari kemarahan dan rasa terlukanya.

Saya yakin, saya akan punya persediaan kesabaran dan maaf yang tak terbatas untuk anak-anak saya. Insha Allah. Karena saya belajar dari mama saya, walau dengan cara yang berbeda, bahwa saya dan  mama saya, bukanlah seperti Ibu Malin Kundang.







Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

9 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama Pakdhe. senang bisa ikutan GAnya Pakdhe

      Hapus
  2. Kya aku mbak..pas ABG keras dan sering bgt berantem sama mama.nyesel kl inget episode itu. Semoga anakku nanti ga sekeras aku hiks.... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Mbak. Banyak hal yang kita sesali kalau melihat ke belakang. tapi banyak hikmahnya juga, sehingga kita bisa memperbaiki atau memperkcil kemungkinan anak kita melakukan kesalahan yang sama, yang pernah kita lakukan dulu

      Hapus
  3. hiks.. terharu membacanya mbak... :(

    BalasHapus
  4. sekeras apapun hati seorang ibu, ia tetap akan memikirkan nasib anak-anaknya.

    btw, baru kali ini liat batu Si Malin Kundang, ternyata benar2 mirip orang bersujud ya, Bu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga baru sekali ini lihat batu malin kundang. benar-benar mirip orang.

      Hapus
    2. saya juga baru sekali ini lihat batu malin kundang. benar-benar mirip orang.

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti