Hati-Hati Dengan Jajanan Anak-anak Kita.

www.rebellinasanty.blogspot.com
Bekal buatan sendiri itu lebih sehat. Makaroni keju panggang saus putih
“Anak-anak Si Bunda, bageur-bageur…”

Kata-kata tetangga itu sering diucapkan ke saya, membuat hidung saya jadi kembang kempis dan kuping saya jadi selebar gajah. Bageur sendiri saya baru tahu artinya baik . Apa pasal sampai tetangga pada bilang begitu? Hanya karena anak saya satupun tidak pernah ada yang minta jajan, apalagi sampai merengek-rengek, atau nangis jerit-jerit maksain bundanya minta dibelikan jajanan yang lewat.


Tanpa bermaksud mendiskreditkan siapapun, pola hidup tetangga saya memang jauh berbeda dengan saya yang pendatang baru. Saya, sejak awal menikah sudah bertekad mendidik anak-anak untuk tidak jajan sembarangan. Konsekwensinya, saya harus rajin masak dan membuat cemilan untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. Prinsip saya, kalau anak-anak kenyang di rumah, dia tidak akan menuntut beli ini beli itu lagi. Alhamdulillah, ternyata prinsip saya itu berhasil saya terapkan sampai kini.
www.rebellinasanty.blogspot.com
sumber foto : credit

Beda dengan lingkungan sekitar.  Di sini, anak-anak seusia anak saya, kisaran usia 2- 12 tahun, jajannya luar biasa. Pernah saya tanyakan ke salah satu ibu anak-anak tersebut, yang pastinya tetangga saya juga, berapa jajan anaknya satu hari. Saya kaget dengan jawabannya. Untuk jajan seorang anak seharinya bisa mencapai 5-10 ribu. Itu untuk satu anak. Bagaimana dengan anak-anak yang lain?

Yang membuat saya miris adalah bahwa sebenarnya hari-hari tetangga-tetangga saya itu makannya sederhana. Sering saya ajak diskusi bahwa uang jajan anaknya lebih baik digunakan untuk menambah budget perbaikan gizi makanan untuk sekeluarga, dan kebiasaan jajan itu dibatasi. Bahkan saya kerap membagikan cemilan yang saya buat sendiri sembari menjelaskan cara membuatnya dan biayanya (yang tak melebihi uang jajan anaknya). Namun saran saya seperti angin lalu. Mungkin karena keterbatasan latar belakang pendidikan,ya?

 Mereka lebih mengutamakan gengsi . Kata mereka, malu kalau membiarkan anak-anaknya menangis minta jajan, takut dianggap tidak mampu alias tidak punya uang bila tidak mampu memenuhi keinginan jajan anak.

Memang di kampung saya ini banyak sekali aneka jajanan yang dijual. Warung saja bermunculan bak cendawan di musim hujan. Untuk jalan sepanjang 100 M, warung yang ada yang sempat saya hitung, jumlahnya bisa mencapai 15 lebih. Namun jajanan yang mengkhawatirkan justru yang dijual penjaja kelilling. Mulai dari siomay, sate, mi ayam, bakso, kaki naga, sosis, mie telur goreng, ah, banyak banget pokoknya. Yang mengkhawatirkan, tampilan jajanan ini membuat saya jadi mengerutkan kening. Mulai dari warnanya yang super ngejreng, sampai rasanya yang enggak banget di lidah.
www.rebellinasanty.blogspot.com
sumber foto, credit


Bukan bermaksud menjelekkan jajanan yang dijual para pedagang tersebut, saya memang agak mengkhawatirkan kualitas dagangan yang dijual. Ada rupa, ada harga, bukan? Bagi saya, jajanan yang dijual terlalu murah, karena memang bahan-bahannya yang saya lihat meragukan kualitasnya.

Seperti kaki naga. Saya pernah beli kaki naga yang dijual di warung. Sebuahnya harganya 500 perak, sudah digoreng. Jujur saya iseng beli karena ingin tahu kok makanan ini sangat digemari anak-anak di kampung saya.  Melihat penampilan makanan ini, saya agak ngeri. Warna kuningnya terlalu ngejreng, dan rasanya terlalu banyak msg nya. Belum lagi bahan dasar kaki naga yang meragukan, karena ketika digigit, terasa liat.  

Atau gorengan mie bihun yang diaduk bersama telur dan digoreng dalam minyak (yang sudah hitam warnanya), serta dililit ke sebatang lidi.  Aduh…, enggak sanggup makannya.

Bagaimana dengan jajanan tradisional yang dibuat oleh pemilik warung? Sekali lagi, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siapapun. Saya tulis berdasarkan fakta yang saya alami, lihat dan buktikan.

Tetangga saya selisih satu rumah membuka usaha jualan buras. Sebelumnya, saya suka beli buras di situ, karena rasanya enak, sampai suatu hari dia keceplosan bilang bahwa burasnya selama ini pakai borax, alias formalin, atau kalau di warung-warung disebut pijer. Ini yang membuat buras itu terasa kenyal dan tahan lama. Dan yang sedihnya, tetangga saya ini ngeles bilang bahwa memakai pijer itu di sini (kampung tempat saya tinggal) itu sudah biasa. Dan sudah menjadi warisan resep turun menurun. Kalau enggak pakai buras, jualannya enggak enak, katanya memberi alasan saat saya tanya, mengapa?. Sejak itu, saya enggak pernah beli buras lagi darinya.

Belum lagi masalah kehalalan bahan yang terkandung dalam makanan yang dijual. Lagi-lagi, saya saksikan sendiri, masih di warung yang sama. Saya lihat ada beberapa botol essen vanila. Dan di kemasannya tertera mengandung alkohol. Kata tetangga tersebut, essen tersebut paling wangi dan bagus, jadi cocok untuk jualannya. Duh.., lidah saya kelu jadinya. 

Alhamdulillah, mau jajanan apapun yang lewat, anak-anak saya tidak tertarik memintanya, kecuali saya dan suami yang memanggil tukang jajanan tersebut. Ini pun sangat amat jarang saya lakukan dan saya pilih betul jajanan apa yang layak dikonsumsi mereka. Contohnya yang suka saya beli adalah putu bambu. Yang lain-lain, saya enggak berani…


Saya yakin, masih banyak penjual makanan yang jujur dan memiliki tanggung jawab untuk tidak membuat makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya, dan jelas halalnya. Tapi tetap saja kita harus berhati-hati memilih dan memilah makanan yang akan masuk ke mulut kita. Sebisa mungkin kita buat sendiri saja, atau pesan ke orang lain yang kita yakin dia peduli pada kesehatan dan kebersihan makanan yang dibuatnya.



Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

10 komentar:

  1. Iya mbak, sy jg suka miris lihat jajanan sekarang...
    Pernah sih tanya ke ibu-ibu itu knp gak bikin jajanan sendiri, katanya males..
    Duh klo ngrumpi / mantengin senetron berjam-jam sj gak males... ini malah utk anak kok males... sy cm bs ngelus dada...
    Alhamdulillah anak sy jg g prnh jajan spt itu mbak... dah kenyang jajan bikinan emaknya... hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, begitu juga dengan tetangga-tetangga saya. besaran gengsi daripada mikir kesehatan dan keselamatan anaknya Mbak.

      Hapus
  2. iya juga mbak...kadang disekolahan malah jajanan yang ditawarkan malah yang kita sendiri bisa mengernyitkan kening. iya kalau bagus dan aman, kalau gak, malah kita juga yang nantinya dibikin repot akibatnya. ok. tapi kalau buras saya memang suka dan memang enak heee. ok makasih infonya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. buras saya juga suka. tapi kalau buras pakai formalin, ah.., enggak ah. kalau jajanan di sekolah memang mengkhawatirkan. Makanya saya rajin bikin bekal sendiri buat anak

      Hapus
  3. Wah Rp5 - 10 ribu per hari, banyak juga, ya. Anak-anakku juga ga biasa jajan, Mak. Alhamdulillah kompak sama pihak sekolah. Anak-anak ga diperbolehkan jajan oleh guru. Kalo bawa uang, uangnya untuk infak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Mak Haya, justru itu yang bikin miris, mengingat untuk makanan hari-hari mereka sangat mengiritnya. Kalau di sekolah anakku yg satu, memang dilarang jajan. tapi di sekolah ankku yg lain, bebas Mak, walau dianjurkan bawa sendiri, banyak anak yang malahbeli jajanan di luar. kalau aku, setia bawain bekal sejak awal mereka sekolah

      Hapus
  4. harus ekstra hati-hati ya Mbak, saya juga ngeri kalau liat anak2 sudah jajan di depan skul sejak pagi.
    itu artinya mereka sarapan dengan jajanan yg tidak sehat.
    padahal dengan sedikit srang-sreng sendiri di rumah, kita bisa membuatkan nasgor yummy dan sehat untuk anak2

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul Tuh Mbak. menyangkut pilihan ibunya ya, mau enggak sedikit meluangkan waktu asal anaknya sehat

      Hapus
  5. Jajanan anak yang beredar sekarang memang tidak baik dan membahayakan. Ngeri sendiri kalau lihat berita di tv tentang bahan pengawet yang digunakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. rata-rata yang dijual di luar, pakai bahan pengawet dan zat lainnya. kalau enggak seusia takaran, itu yang berbahaya, dan nyatanya, memang enggak pakai takaran, kebanyakannya

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti