Memaknai Dari Paradigma Yang Berbeda Dongeng Si Kancil Yang Cerdik
foto, credit |
Dan si gajah yang polos kemudian terjebak dalam
rencana cerdik licik kancil. Dia pun masuk ke dalam lubang. Tubuhnya
yang besar memudahkan kancil untuk memanjatnya dan keluar dari lubang.
Demikianlah akhirnya, si kancil yang cerdik itu pun berhasil keluar dari
lubang, dengan pertolongan kepolosan kebodohan gajah yang berhasil
diperdayanya.
Dongeng Si Kancil yang cerdik pernah menjadi bagian masa
kanak-kanak kita, yang lahir tahun 70-an. Bahkan selalu ditanamkan dalam benak
kita saat itu untuk bisa seperti kancil, cerdik dan pandai menghadapi segala
situasi. Kisah Si Kancil itu ternyata tak hanya familiar di kalangan penduduk
Indonesia, tetapi juga Malaysia. Buktinya, salah satu stasiun tv akhir-akhir
ini kerap menayangkan kisah kecerdikan Si Kancil ini, yang versi buatan
Malaysia.
Banyak kisah yang terpaut dengan Si Kancil ini. Kisahnya
dengan buaya seingat saya bahkan masuk dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia
kala itu. Lalu, ada kisahnya dengan monyet, dan hewan-hewan lainnya. Namun,
satu hal yang kemudian menjadikan pandangan saya terhadap Kancil berubah,
adalah saat membaca kisahnya dengan Gajah. salah satu bagian ceritanya adalah
seperti kutipan diatas. Tentu saja quotes yang diatas adalah versi diceritakan
ulang kembali (oleh saya).
Bila semula saya mengagumi kepandaian, kecerdikan, dan
kelihaian Si Kancil, maka dalam kisahnya dengan gajah, saya memprotes apa yang
dilakukannya terhadap gajah. Bagaimana bisa kancil, demi ingin bebas dari
lubang yang memerangkapnya, sanggup memperdayai gajah yang tidak punya salah
apa-apa? Mengibulinya dengan cerita bohong bahwa dunia akan runtuh. Dengan
demikian, gajah yang akhirnya malah terperangkap dalam lubang, sedangkan kancil
melenggang bebas. Itulah yang disebut cerdik?
Bagi saya, sikap kancil itu bukan cerdik. Tapi oportunis,
licik dan manipulatif. Dan type kancil di sini adalah orang yang tidak punya
hati, mengorbankan orang lain demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri.
Layakkah kisah kancil dan gajah ini menjadi dongeng ‘contoh cerdik’ untuk
anak-anak kita? Kalau menurut saya, tidak! Justru dongeng mengenai kancil dan
gajah ini saya dongengkan kembali ke pada anak-anak dengan memberi pemahaman,
bahwa sikap kancil itu bukanlah cerdik, melainkan licik!
Ya, itu yang saya lakukan saat mendampingi anak-anak
menonton ini di tv. Saya katakan bahwa sikap cerdik itu bukan untuk
memanipulasi orang lain, atau mengorbankan orang lain demi keuntungan pribadi.
Jadi, janganlah seperti kancil, yang mempergunakan kepandaian dan kepintarannya
demi keuntungan pribadi, dan merugikan orang lain. Jadikan kepandaian yang kita
miliki justru untuk membantu orang lain, menebar manfaat dan membawa rahmat
untuk sekeliling.
Kalau kita mau membuka mata terhadap fenomena di sekeliling
kita, ternyata banyak kancil-kancil licik di sekeliling kita. Pandai, pintar,
manis lidah berkata, dan menarik hati tingkah lakunya. Tapi kebanyakan
kepandaian dan kepintaran itu hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri
atau kelompoknya, dan tidak peduli untuk mencapai tujuannya, berakibat
merugikan orang lain.
Tak jarang orang type kancil ini mampu menarik ludah yang
telah dibuang, atau menggunting dalam lipatan. Mengkhianati kepercayaan pun
menjadi hal yang tak sungkan dilakukan.
Akankah kita mencetak generasi seperti kancil ini? Terlihat
cerdik namun ternyata licik dan manipulatif adanya? Saya yakin, kita semua
berkeinginan menumbuhkan generasi baru yang tangguh, penuh percaya diri, berbudi
baik dan luhur, serta mampu membawa manfaat bagi sekelilingnya tanpa merugikan
orang lain. Dimulai dari sekarang yuk, dengan berhati-hati memberi pemahaman
terhadap apa yang mereka tonton, dengar, dan lihat. Termasuk, menyeleksi
dongeng yang salah makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.
Salam
Reni Susanti