ilustasi foto dari : annazr.or.id |
Johan mengangguk.”Sudah berangkat sejak subuh tadi” kata Johan
Noura melihat jam dinding. Berarti hanya tersisa waktu 2 jam untuk membuat segalanya menyenangkan. Setidaknya menurut kriteria ibu.
“Kalau begitu…” Baik Noura dan Johan saling pandang. Ya, mereka harus bergegas. Berpacu dengan waktu, membereskan segala hal yang ada di rumah. Paling tidak, mengurangi celah yang memungkinkan Ibu berkomentar tidak enak.
Begitulah. Setiap kali Ibu mau datang, Noura dan Johan harus
ekstra beberes. Mengganti sprai dan sarung bantal guling, setidaknya kalau Ibu
memilih pulang hari, Ibu bisa beristirahat di kamar. Rumah Noura dan Johan hanya
memiliki 2 kamar. Kamar mereka, dan kamar anak-anak. Bila Ibu datang, Noura
mengungsi ke kamar anak-anak, agar Ibu bisa leluasa di kamar mereka. Johan bisa
tidur di atas karpet di ruang tamu.
Sebenarnya tak banyak yang bisa dibereskan. Rumah mereka sederhana,
namun bersih. Tapi bersih belum cukup untuk standar Ibu . Seperti seprai dan sarung bantal
yang harus senada dengan gorden. Atau meja-meja yang harus diberi vas bunga
dengan tatanan bunga segar yang elok dipandang mata. Begitu juga tanaman yang ada di halaman,
semua harus mewakili apa yang diinginkan Ibu.
Noura cukup tahu diri dengan keinginan Ibu selama ini. Sebisa
mungkin dia berusaha mengikuti selera Ibu. Tapi apa mau dikata. Bukan tak ingin
Noura menyelaraskan tampilan isi rumahnya agar tampak indah di mata. Anak-anak
yang masih kecil dengan polah tingkahnya, tak bisa membuat Noura harus
rapi-rapi sepanjang waktu. Begitu juga dengan tenaganya dan keuangan keluarga
tak bisa menopang semua hal sesuai kriteria Ibu. Bisa bertahan hidup dengan
kualitas standar saja selama ini, sesuatu hal yang sudah mereka syukuri. Jadi,
untuk saat ini Noura lebih berpikir bagaimana bisa bertahan hidup dengan
kondisi yang ada daripada memikirkan padu padan gorden atau tatanan taplak meja
yang harus serasi dengan keseluruhan tatanan rumah.
Ibu memang modis, rapi, dan sangat pandai menata rumah.
Rumah Ibu selalu terlihat rapi dan bersih. Tak dipungkiri, segala hal yang ada
di rumah Ibu terlihat serasi. Bila jendela depan memakai gorden bewarna hijau,
maka seluruh jendela rumah akan memakai warna yang senada. Pokoknya Noura
angkat jempol untuk kemodisan Ibu dalam hal fashion. “Berkelas”, itu kriteria
yang diinginkan Ibu. Kriteria yang belum mampu dipenuhi Noura saat ini.
Selera Noura bukannya tidak berkelas. Tapi bagaimana
memenuhi kriteria selera Ibu bila penghasilan Johan saja membuatnya harus
memutar otak lebih keras agar bisa bertahan selama sebulan? Johan bukan pekerja
kantoran. Johan tidak pernah betah bekerja kantoran, tapi bukan pula seorang
wiraswasta ulet yang handal. Johan terbiasa menunggu datangnya orderan. Datangnya orderan tidak sebanding dengan
kebutuhan yang terus menerus meningkat jumlahnya seiring bertambahnya
anak-anak.
Baru minggu lalu
Noura menjual gelang emasnya, bawaan tabungannya semasa sebelum menikah dengan
Johan. Susu untuk Dilla anaknya yang
bungsu, tidak bisa menunggu datangnya orderan pekerjaan untuk Johan. Dan
penjualan barang berharga milik Noura itu bukan yang pertama. Tapi semua itu
hanya Noura simpan dalam hati. Baginya, Johan adalah suaminya. Kekurangan Johan
adalah kekurangannya juga. Tak layak diumbar kemana-mana, walaupun kepada
ibunya sendiri. Tapi Noura akui sikap Ibu akhir-akhir ini mengusik alter
egonya. Bermula sejak Ibu membelikan mereka rumah ini.
“Gorden kok warnanya beda-beda. Enggak enak dipandang mata,”
komentar Ibu melihat gorden jendela di rumah bagian depan dengan bagian
belakang yang berbeda warna.
Lain waktu, “Kalau punya rumah itu harus pandai menatanya.
Jadi biar yang datang makin betah.”
Atau ketika Ibu baru tiba, langsung memanggil tetangga di
sebelah rumah Noura untuk menebang pohon pisang di halaman belakang. “Bikin
semak,” kata Ibu, tanpa meminta pertimbangan Noura dan Johan.
Pohon pisang itu sengaja ditanam Noura karena Noura butuh
daunnya. Daun pisang itu berguna bagi Noura untuk membungkus kue-kue kecil yang
dibuatnya agar bisa membantu keuangan keluarga. Daripada harus sering-sering
minta tetangga, apalagi beli, lebih baik punya tanamannya sendiri. Namun kini
pohon pisang itu sudah berganti dengan jejeran puring yang dibawa Ibu.
Noura cuma bisa menghela nafas masgul dalam hati. Sejak
tinggal di rumah pemberian Ibu, harga diri Noura serasa terhempas. Noura
dianggap tidak punya hak sama sekali. Ibu beberapa kali mengingatkannya akan
hak Ibu terhadap Johan.
“Noura harus tahu, dalam agama kita, Johan itu harus manut pada Ibu, dan Ibu
enggak harus minta ijinmu untuk melakukan ini itu di rumah ini,” kata Ibu menegaskan
posisinya pada Noura, sembari tangannya menyendok nasi dari dalam bakul nasi.
Serasa membeku darah Noura saat Ibu mengeluarkan
pernyataannya. Seingat Noura, waktu mereka masih ngontrak rumah, yang sewanya
lagi-lagi dari hasil tabungannya, Noura tidak pernah memperlakukan Ibu sesuka
hatinya. Noura tahu betul aturan harus menghormati Ibu mertua, dan sebisa
mungkin Noura tetap mengusahakan yang terbaik untuk Ibu setiap kali beliau
datang.
“Bersabarlah.. “ kata Johan saat Noura berbagi hati mengenai
sikap Ibu. “Ibu memang sedikit dominan terhadapku semenjak papa meninggal. Cuma
aku laki-laki yang kini dia miliki,” kata Johan, tidak membantu merinagankan
beban hati Noura
.
Klakson mobil di depan pagar, membuyarkan lamunan Noura.
Orang yang ditunggu sudah datang. Noura mempersiapkan hatinya untuk menerima
kejutan-kejutan baru nantinya dari Ibu.
“Sehat,Bu?” tanya Noura setelah mencium tangan Ibu yang
masih halus mulus dengan takjim.
Ibu membalasnya dengan anggukan kecil setengah hati. Noura
berusaha menepis prasangkanya, bahwa Ibu selama ini tidak benar-benar
menyukainya sebagai menantu. Tetapi entah mengapa hatinya merasa sikap Ibu
kepadanya hanya sekedarnya, hanya karena dia adalah ibu dari cucu-cucu Ibu.
Anak-anak berhamburan menyambut neneknya. Banyak bawaan yang
dibawakan Ibu untuk mereka. Kepada anak-anak, Ibu memang terlihat sayang. Hal
itu membuat beban hati Noura sedikit terangkat. “Walau tidak menyukaiku,
setidaknya Ibu tetap menyayangi anak-anak…”, desah Noura lirih.
Noura mematut dirinya di depan cermin, memastikan letak
kerudungnya agar tidak memperlihatkan sehelai rambut pun miliknya. Gamisnya
yang lebar berwarna ungu tua, walau tidak lagi baru, tetapi masih layak pakai.
Sejam ke depan dia akan menemui Ibu-Ibu Komite Sekolah tempat Arumi bersekolah.
Noura akan mempresentasikan proyek pengadaan buku tahunan yang akan dikerjakan
Johan. Bila proyek itu deal, fee-nya lumayan.
“Bu, Noura tinggal sebentar ya. Noura mau ke sekolah Arumi,
bertemu Ibu-ibu Komite Sekolah. Do’akan agar pekerjaan ini deal ya, Bu,” pamit
Noura sambil minta restu ke Ibu yang saat itu sedang duduk di teras.
Ibu memicingkan matanya, memandang Noura dari ujung
kepalanya, sampai ke mata kaki. “Mau bertemu orang, apalagi urusan pekerjaan, mbok
ya pakai pakaian yang pantes!”
Deg! Ucapan ibu menohok ulu hati Noura. Hampir saja bulir-bulir airmata meleleh ke
pipinya sekiranya Nooura tidak menggigit bibirnya untuk menahan itu terjadi.
Dia tidak boleh menangis di hadapan Ibu. Tapi sepanjang jalan menuju sekolah,
hati Noura menjerit.
Jejeran gamis yang tergantung dalam lemari itu jumlahnya
memang tidak banyak. Sudah lebih dari 3 tahun ini Noura tidak membeli gamis
baru lagi. Gamis miliknya yang sudah tidak muat, telah diberikan kepada orang
lain. Yang tersisa adalah gamis yang masih muat untuknya. Itulah yang
dipakainya berulangkali saat keluar rumah.
Membeli gamis baru
bukanlah prioritas Noura saat ini, mengingat keadaan ekonomi mereka yang masih
sempit. Dia tidak pernah memaksa Johan untuk membelikannya gamis baru. Dia
sadar, hal itu akan membuat Johan semakin merasa terpuruk. Noura tahu, selama
ini suaminya merasa sangat bersalah kepadanya, karena belum mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka dengan layak. Dan terutama Johan pun sangat berterima kasih pada Noura, karena
tidak pernah mengeluhkan apapun keadaan mereka.
“Hhh…” Noura menghela
napas berat. Ucapan Ibu siang tadi menorehkan luka di hatinya.
Johan meremas
bahu istrinya lembut. Sebagai laki-laki, seharusnya dia pantang menangis. Tapi
kali ini, menatap kesedihan di mata istrinya, dan merasakan luka hatinya, tak
urung membuat matanya berkaca-kaca. “Maafkan aku, Noura. Maafkan juga ibuku,”
bisiknya lembut di telinga Noura.
Noura mengangguk. Perempuan itu memeluk
suaminya. Menegaskan dalam diam, walau hatinya sedih dan luka, tapi tak akan
pernah terucap di bibirnya mengenai kesulitan finansial mereka sebenarnya pada
Ibu.
Bersambung…
Ini fiksi mak? Klo iya bisa jadi novel ya lama2. Saya juga pengen bisa bikin novel/cerpen lagi tp bingung. Bingung gimana mulainya...
BalasHapusloh, bukannya mbak kania udahpernah bikin buku? ini fiksi-ispiratif :)
HapusWaaah, musti nunggu kelanjutanya nih mak :D
BalasHapusmasih ngedraft nih :)
HapusDitunggu lanjutannya maaak...
BalasHapussabar ya.. :)
Hapusdilanjut mba Ren, mau dibikin cerpen atau novel mba?
BalasHapuscuma kisah sederhana, kisah inspirasi, untuk blog aja mbak
Hapusjadi penasaran mbak... ga sabar nunggu lanjutannya
BalasHapusLagi dibikin Mbak :)
Hapus