Bekal buatan sendiri itu lebih sehat. Makaroni keju panggang saus putih |
Kata-kata tetangga itu sering diucapkan ke saya, membuat
hidung saya jadi kembang kempis dan kuping saya jadi selebar gajah. Bageur
sendiri saya baru tahu artinya baik . Apa pasal sampai tetangga pada bilang
begitu? Hanya karena anak saya satupun tidak pernah ada yang minta jajan,
apalagi sampai merengek-rengek, atau nangis jerit-jerit maksain bundanya minta
dibelikan jajanan yang lewat.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan siapapun, pola hidup
tetangga saya memang jauh berbeda dengan saya yang pendatang baru. Saya, sejak
awal menikah sudah bertekad mendidik anak-anak untuk tidak jajan sembarangan.
Konsekwensinya, saya harus rajin masak dan membuat cemilan untuk memenuhi
kebutuhan gizi mereka. Prinsip saya, kalau anak-anak kenyang di rumah, dia
tidak akan menuntut beli ini beli itu lagi. Alhamdulillah, ternyata prinsip
saya itu berhasil saya terapkan sampai kini.
sumber foto : credit |
Beda dengan lingkungan sekitar. Di sini, anak-anak seusia anak saya, kisaran
usia 2- 12 tahun, jajannya luar biasa. Pernah saya tanyakan ke salah satu ibu
anak-anak tersebut, yang pastinya tetangga saya juga, berapa jajan anaknya satu
hari. Saya kaget dengan jawabannya. Untuk jajan seorang anak seharinya bisa
mencapai 5-10 ribu. Itu untuk satu anak. Bagaimana dengan anak-anak yang lain?
Yang membuat saya miris adalah bahwa sebenarnya hari-hari
tetangga-tetangga saya itu makannya sederhana. Sering saya ajak diskusi bahwa
uang jajan anaknya lebih baik digunakan untuk menambah budget perbaikan gizi
makanan untuk sekeluarga, dan kebiasaan jajan itu dibatasi. Bahkan saya kerap
membagikan cemilan yang saya buat sendiri sembari menjelaskan cara membuatnya
dan biayanya (yang tak melebihi uang jajan anaknya). Namun saran saya seperti angin
lalu. Mungkin karena keterbatasan latar belakang pendidikan,ya?
Mereka lebih
mengutamakan gengsi . Kata mereka, malu kalau membiarkan anak-anaknya menangis
minta jajan, takut dianggap tidak mampu alias tidak punya uang bila tidak mampu
memenuhi keinginan jajan anak.
Memang di kampung saya ini banyak sekali aneka jajanan yang
dijual. Warung saja bermunculan bak cendawan di musim hujan. Untuk jalan
sepanjang 100 M, warung yang ada yang sempat saya hitung, jumlahnya bisa
mencapai 15 lebih. Namun jajanan yang mengkhawatirkan justru yang dijual
penjaja kelilling. Mulai dari siomay, sate, mi ayam, bakso, kaki naga, sosis,
mie telur goreng, ah, banyak banget pokoknya. Yang mengkhawatirkan, tampilan
jajanan ini membuat saya jadi mengerutkan kening. Mulai dari warnanya yang
super ngejreng, sampai rasanya yang enggak banget di lidah.
sumber foto, credit |
Bukan bermaksud menjelekkan jajanan yang dijual para
pedagang tersebut, saya memang agak mengkhawatirkan kualitas dagangan yang
dijual. Ada rupa, ada harga, bukan? Bagi saya, jajanan yang dijual terlalu
murah, karena memang bahan-bahannya yang saya lihat meragukan kualitasnya.
Seperti kaki naga. Saya pernah beli kaki naga yang dijual di
warung. Sebuahnya harganya 500 perak, sudah digoreng. Jujur saya iseng beli
karena ingin tahu kok makanan ini sangat digemari anak-anak di kampung saya. Melihat penampilan makanan ini, saya agak
ngeri. Warna kuningnya terlalu ngejreng, dan rasanya terlalu banyak msg nya. Belum
lagi bahan dasar kaki naga yang meragukan, karena ketika digigit, terasa liat.
Atau gorengan mie bihun yang diaduk bersama telur dan
digoreng dalam minyak (yang sudah hitam warnanya), serta dililit ke sebatang
lidi. Aduh…, enggak sanggup makannya.
Bagaimana dengan jajanan tradisional yang dibuat oleh
pemilik warung? Sekali lagi, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
mendiskreditkan siapapun. Saya tulis berdasarkan fakta yang saya alami, lihat
dan buktikan.
Tetangga saya selisih satu rumah membuka usaha jualan buras.
Sebelumnya, saya suka beli buras di situ, karena rasanya enak, sampai suatu
hari dia keceplosan bilang bahwa burasnya selama ini pakai borax, alias
formalin, atau kalau di warung-warung disebut pijer. Ini yang membuat buras itu
terasa kenyal dan tahan lama. Dan yang sedihnya, tetangga saya ini ngeles
bilang bahwa memakai pijer itu di sini (kampung tempat saya tinggal) itu sudah
biasa. Dan sudah menjadi warisan resep turun menurun. Kalau enggak pakai
buras, jualannya enggak enak, katanya memberi alasan saat saya tanya, mengapa?.
Sejak itu, saya enggak pernah beli buras lagi darinya.
Belum lagi masalah kehalalan bahan yang terkandung dalam makanan yang dijual. Lagi-lagi, saya saksikan sendiri, masih di warung yang sama. Saya lihat ada beberapa botol essen vanila. Dan di kemasannya tertera mengandung alkohol. Kata tetangga tersebut, essen tersebut paling wangi dan bagus, jadi cocok untuk jualannya. Duh.., lidah saya kelu jadinya.
Alhamdulillah, mau jajanan apapun yang lewat, anak-anak saya tidak tertarik memintanya, kecuali saya dan suami yang memanggil tukang jajanan tersebut. Ini pun sangat amat jarang saya lakukan dan saya pilih betul jajanan apa yang layak dikonsumsi mereka. Contohnya yang suka saya beli adalah putu bambu. Yang lain-lain, saya enggak berani…
Saya yakin, masih banyak penjual makanan yang jujur dan
memiliki tanggung jawab untuk tidak membuat makanan yang mengandung bahan-bahan
berbahaya, dan jelas halalnya. Tapi tetap saja kita harus berhati-hati memilih dan memilah makanan
yang akan masuk ke mulut kita. Sebisa mungkin kita buat sendiri saja, atau
pesan ke orang lain yang kita yakin dia peduli pada kesehatan dan kebersihan
makanan yang dibuatnya.
Iya mbak, sy jg suka miris lihat jajanan sekarang...
BalasHapusPernah sih tanya ke ibu-ibu itu knp gak bikin jajanan sendiri, katanya males..
Duh klo ngrumpi / mantengin senetron berjam-jam sj gak males... ini malah utk anak kok males... sy cm bs ngelus dada...
Alhamdulillah anak sy jg g prnh jajan spt itu mbak... dah kenyang jajan bikinan emaknya... hehe...
hahaha, begitu juga dengan tetangga-tetangga saya. besaran gengsi daripada mikir kesehatan dan keselamatan anaknya Mbak.
Hapusiya juga mbak...kadang disekolahan malah jajanan yang ditawarkan malah yang kita sendiri bisa mengernyitkan kening. iya kalau bagus dan aman, kalau gak, malah kita juga yang nantinya dibikin repot akibatnya. ok. tapi kalau buras saya memang suka dan memang enak heee. ok makasih infonya.
BalasHapusburas saya juga suka. tapi kalau buras pakai formalin, ah.., enggak ah. kalau jajanan di sekolah memang mengkhawatirkan. Makanya saya rajin bikin bekal sendiri buat anak
HapusWah Rp5 - 10 ribu per hari, banyak juga, ya. Anak-anakku juga ga biasa jajan, Mak. Alhamdulillah kompak sama pihak sekolah. Anak-anak ga diperbolehkan jajan oleh guru. Kalo bawa uang, uangnya untuk infak.
BalasHapusiya Mak Haya, justru itu yang bikin miris, mengingat untuk makanan hari-hari mereka sangat mengiritnya. Kalau di sekolah anakku yg satu, memang dilarang jajan. tapi di sekolah ankku yg lain, bebas Mak, walau dianjurkan bawa sendiri, banyak anak yang malahbeli jajanan di luar. kalau aku, setia bawain bekal sejak awal mereka sekolah
Hapusharus ekstra hati-hati ya Mbak, saya juga ngeri kalau liat anak2 sudah jajan di depan skul sejak pagi.
BalasHapusitu artinya mereka sarapan dengan jajanan yg tidak sehat.
padahal dengan sedikit srang-sreng sendiri di rumah, kita bisa membuatkan nasgor yummy dan sehat untuk anak2
betul Tuh Mbak. menyangkut pilihan ibunya ya, mau enggak sedikit meluangkan waktu asal anaknya sehat
HapusJajanan anak yang beredar sekarang memang tidak baik dan membahayakan. Ngeri sendiri kalau lihat berita di tv tentang bahan pengawet yang digunakan.
BalasHapusrata-rata yang dijual di luar, pakai bahan pengawet dan zat lainnya. kalau enggak seusia takaran, itu yang berbahaya, dan nyatanya, memang enggak pakai takaran, kebanyakannya
Hapus