foto koleksi pribadi rebellina |
Berbicara mengenai kehidupan, kita cenderung menampilkan
diri sebagai seorang yang berjiwa positif, penuh percaya diri, penuh cinta,
bertanggung jawab, sensitif, optimis, bersemangat, dan banyak lagi. Kesemuanya merupakan
sisi baik dari manusia. Seolah-olah, begitulah seluruh keseharian hidup yang
kita jalankan. Sedikit dari kita yang penuh kesadaran diri menampilkan sisi
sebaliknya, walau hal itulah yang sedang terjadi pada kita.
Kita terdoktrinasi sejak
kecil untuk tidak boleh mengeluarkan keseluruhan emosi yang kita miliki. Saya
masih ingat, saat kecil, bila menangis, maka orangtua pasti akan dengan tak
sabaran menyuruh saya berhenti menangis. Tidak pernah ada yang membiarkan saya
menangis sampai rasanya rasa sakit yang saya alami ikut menghilang bersama
tetesan airmata. Menangis seperti menunjukkan
kelemahan yang yang tak layak terlihat, bahkan kalau perlu disembunyikan
rapat-rapat dari muka umum. Jadilah kemudian airmata itu terhenti, tapi rasa
sakit tetap terbawa-bawa sampai ke dalam hati.
Betapa sering kita sendiri pun sebagai orangtua, memaksa
anak untuk tidak menangis lama-lama, walau mungkin saja hal itu sebab rasa sakit yang ia alami, misalnya, terjatuh
sampai kakinya berdarah. Kita lebih suka melihat mereka berbuat tingkah lucu
yang membuat kita terpingkal-pingkal karenanya. Begitulah kita, manusia, tumbuh
menjadi pribadi yang cenderung menutupi luka, dan hanya menampilkan sisi
positif diri kita semata.
Sejatinya, perasaan luka dan sakit yang mendera kita pun
adalah emosi yang membuat kita tumbuh lebih
bijak dan arif. Bukan semata-mata perasaan emosi yang bernilai kegembiraan,
cinta, keberanian untuk bersikap tegar yang hanya menjadikan kita menjadi pribadi
yang bertumbuh.. Perasaan luka dan sakit pun bila disikapi dengan cara yang
positif akan membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang bijak.
Perasan luka dan sakit dimaksudkan untuk membangkitkan kita,
menyadarkan kita akan potensi diri yang selama ini terpendam. Perasaan luka dan
sakit itu merupakan suatu perasaan yang harus diterima dengan rasa iklash dan
sukarela. Dengan demikian, penerimaan kita terhadap perasaan luka dan sakit,
sama halnya dengan penerimaan kita terhadap perasaan hidup dan kebutuhan akan
cinta. Sama-sama perasaan. Jadi tak perlu menyembunyikan perasaan luka dan
sakit, serta merasa malu terhadap apa yang kita rasakan mengenai rasa sakit dan
luka yang kita derita.
Dengan menerima sepenuhnya bahwa kita mengalami luka dan
sakit, sesungguhnya itu penerimaan hakiki kita terhadap hidup kita sendiri. Kita
belajar untuk mengatasi, berhadapan serta bekerja sama dengan perasaan
tersebut. Jika kita menghindari, bahkan
bersikap malu bahwa kita mengalami kelukaan dan rasa sakit, justru menunjukkan
kita tidak merasa nyaman dengan diri kita sendiri. Kita hidup di balik tabir. Diri
kita yang ingin kita tunjukkan pada dunia, dan diri kita sesungguhnya dalam hal
ini menjadi pribadi yang berbeda.
Berdiri diatas perasan yang luka dan tersakiti, serta
menyadari hal itu sepenuhnya, bukanlah pula menunjukkan kelemahan diri. Justru
dengan menyadari bahwa kita harus berhadapan dengan perasaan luka dan sakit,
akan membangun kekuatan diri untuk bisa bekerja sama dengan perasaan tersebut
dan melanjutkan hidup.
Bukankah saat kita menyadari realita kehidupan yang
sebenarnya, dimana menjadi pribadi yang kuat adalah satu-satunya pilihan yang
harus diambil saat pdiri kita merasa luka dan tersakiti, adalah kekuatan diri
yang akan kemudian menyembuhkan, setidaknya mengurangi luka hati kita? Dan
itulah yang membentuk proses kita tumbuh menjadi lebih bijak dan arif menyikapi
hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.
Salam
Reni Susanti