Dalam kehidupan kita, ada beberapa kejadian yang mungkin mennurut kita tidak bisa dijelaskan dengan nalar. Begitu juga dengan saya. Fase-fase ini pernah terjadi saat saya masih berseragam putih abu-abu. Seperti ini ceritanya.
Pada masa itu, saya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis. Pertentangan saya dengan salah satu anggota keluarga untuk beberapa hal yang prinsipil, membuat saya dalam keadaan terjepit. Walau untuk sekolah masih dibiayai, tapi untuk hal yang lain saya merasa ‘agak sulit’. Karenanya saya memutuskan untuk tidak tergantung secara finansial terhadap siapa pun. Jadilah saya mencoba mencari uang dengan menawarkan jasa membuatkan makalah tugas sekolah teman-teman. Mulai dari isinya, sampai mengetikkannya dengan mesin tik. Untuk itu saya bahkan rela menebalkan muka meminjam mesin tik pada salah satu mahasiswa yang naksir tante saya, yang kos di rumah nenek. Kisahnya sekilas pernah saya tulis di sini.
courtesy : Kompasiana |
Dengan uang hasil jasa mengetik makalah tersebut, alhamdulillah saya punya tabungan. Ditambah saya jualan kacang yang saya beli di pasar dalam jumah besar, kemudian saya bagi dan bungkus dalam plastik kecil-kecil. kacang-kacang tersebut saya titip ke warung untuk dijual. Lalu, nyewain buku cerita yang saya punya saat itu. Hasilnya..lumayan. Keperluan pribadi banyak saya penuhi dari tabungan tersebut. Saya hanya minta uang ke ortu kalau benar-benar sangat terpaksa.
sumber foto; disini |
Karena hal tersebut, saya jadi benar-benar selektif menggunakan uang. Bahkan saya sampai membuat pembukuan yang mencatat uang masuk dan uang keluar saya dengan detil. Jadinya saya tahu sisa uang saya tinggal berapa, dan kemana saja uang tersebut dialokasikan. Oh ya, saat itu saya belum mengenal konsep nabung di bank J
Tatkala uang yang selalu simpan di tengah-tengah lembaran buku catatan keuangan yang dimasukkan ke dalam laci lemari, semakin menipis jumlahnya, perasaan sedih ini selalu hadir. Bagaimana saya memenuhi kebutuhan pribadi saya, kalau pemasukan tidak ada? Papa saya tidak pernah menolak kalau saya minta uang ke beliau, tapi saya pribadi memang jarang minta uang ke beliau (saya tidak bermasalah dengan papa, walau kami sering diskusi serius). Hanya benar-benar dalam kondisi darurat saya baru minta uang ke ortu. Jadinya, saya suka menangis diam-diam di kamar sambil menulis diary. Isi diary saya di masa itu melulu curhatan saya pada Tuhan.
ilustrasi foto bersumber di sini |
Then, di sinilah kadang-kadang peristiwa yang tidak mampu saya jelaskan secara nalar itu terjadi. Beberapa kali saat masa-masa sulit itu hadir, tiba-tiba saja uang yang saya simpan di selipan buku catatan tersebut bertambah jumlahnya. Untuk ukuran saya yang masih SMA dan terpontang panting mengetik makalah untuk dapat penghasilan, jualan kacang, nyewain buku cerita, dan lain-lainnya, tambahan uang yang entah darimana datangnya itu sangat meringankan hati. Sempat terpikir apa mungkin saya salah hitung dan salah catat pembukuan? Tapi semua pemasukan dan pengeluaran saya catat dengan teliti, dan letak buku di laci lemari itu tidak berubah. Apa papa saya yang sengaja menyelipkan uang itu diam-diam tanpa setahu saya? Ah.., rasanya tidak mungkin. Karena saya menyimpan buku dan uang itu tanpa sepengetahuan mereka, dan di laci lemari saya yang terkunci.
Kejadian itu beberapa kali terjadi bahkan sampai saat saya kuliah. Untuk biaya kuliah pun saya tetap mencoba bersikap mandiri, salah satunya dengan cara mendapatkan beasiswa selain menyewakan buku cerita , jualan kacang, bahkan sampai jadi sales freelance Avon milik teman. Setelah punya penghasilan sendiri yang lumayan dari semua yang saya lakukan di atas, ‘tambahan’ uang misterius itu tidak terjadi lagi.
Sampai kini saya masih penasaran dengan hal itu. Darimana uang tambahan itu datangnya? Akhirnya karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, saya berbaik sangka saja padaNya. Mungkin itu salah satu bentuk pertolongan Allah pada saya, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Peristiwa ini sampai kini tidak pernah bisa hilang dari ingatan saya..
Bogor, 6 September 2013
wah mbak Passy penuh perjuangan juga hehe...uang nya dari Tuhan mbak, btw tampilan blognya makin keren hehe
BalasHapusbukannya sepanjang hidup itu harus berjuang, say...Hehehehe
HapusSalut sekali, Mbak. Sudah ulet mencari uang sejak SMA. memang ya, Mbak kalau kita sudah tahu susahnya mencari uang, kita bakal berhati-hati menggunakannya. Anak saya yang besar, 11 tahun sudah kami ajari bekerja agar tak mudah berfoya-foya. Salam, ira
BalasHapusIya Mbak, sebenarnya sejak kecil sudah diajarkan untuk mandiri oleh nenek, dan puncaknya karena keadaan, semakin memacu untuk lebih mandiri. terima kasih untuk kunjungannya ya
HapusSalut sama perjuangannya, Mbak. Saya juga pernah jadi tukang bikin makalah pas SMA. Kalau saya mesin tiknya pinjem sama juru tulis desa yang kebetulan masih sodara :))
BalasHapusngerasain dong ngetik 11 jari ala mesin tik? makasih ya atas kunjjungannya
Hapussalut mak...eh blognya keren euy skrg..:)
BalasHapusmasak sih? kerennya dimana nih? jadi gr, heheheh
Hapus