Selama menjadi kontraktor beberapa tahun, alias ngontrak rumah dari satu tempat ke tempat yang lain ,cuma satu rumah yang meninggalkan kenangan terdalam. Rumah yang kami sewa itu masuk dalam komplek yang terletak di jalan strategis di kota Bogor. Hanya saja memang rumah yang kami tempati itu posisinya di bagian belakang komplek, karena jujur saja saat itu pertimbangan harga yang murah yang membuat kami (terpaksa)memilih rumah tersebut.
Waktu itu tahun 2005, dan aku masih mempunyai anak 1 yang masih berusia 7 bulan dan lagi hamil muda anak ke dua. Saat pertama kali pindah ke rumah tersebut, blok yang kami tempati cuma diisi oleh beberapa keluarga. Rumah-rumah yang kosong sangat tidak terawat, rusak parah, dan dipenuhi semak belukar. Rumah yang kami sewa diapit oleh rumah kosong. Di sisi yang kanan rumah kosongnya sangat rusak parah dan dipenuhi oleh tumbuhan liar. Sedangkan di sisi kiri, walau hanya dikunjungi sekali-kali, masih lumayan terawat. Di ujung blok, ada sungai besar yang sekaligus menjadi pemisah antara batas komplek perumahan dengan penduduk kampung sekitar komplek. Total dari sekitar 20 rumah di blok tersebut, yang terisi permanen hanya sekitar 5 rumah.
"Gimana Bun, Bunda keberatan tidak kita tinggal di sini?" tanya suamiku ragu melihat keadaan sekitar rumah.
"Ya sudah, enggak apa-apa," kataku meyakinkannya. Jujur saja, keberanianku timbul untuk mau tinggal di situ karena keadaan finansial kami memang sangat sulit saat itu. Dan dari beberapa eksplorasi tempat-tempat yang menyewakan rumah, cuma rumah inilah yang terjangkau dengan kondisi keuangan kami sekaligus kami anggap layak untuk ditempati oleh keluarga kecil kami. Lagipula, aku tidak mau menambah beban hati suami dengan meminta yang lebih lagi. Ditambah masa kontrak rumah yang lama sudah semakin mendekati jadwal usai.Maka jadilah beberapa hari kemudian kami pindah ke sana.
Sebelum pindah dan saat berpamitan dengan tetangga di rumah kontrakan sebelumnya, ada yang menyarankanku untuk membawa segenggam tanah dari halaman. "Biar anaknya tidak kagetan,Bu" katanya. Aku menanggapinya dengan tersenyum. Tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Saat itu aku hanya berpikir, enggak ada relevansi antara tanah, pindah, dan betah. Dan juga khawatir saran itu bila kuturuti akan menjadi perbuatan syirik. Maka saat pindahan itu aku tidak mengikuti sarannya.
Awal tiba di rumah baru, tidak ada yang aneh. Karena suasananya memang sepi dan kami tiba saat siang hari, tidak ada tetangga baru yang terlihat (suasananya benar-benar sepi!). Putriku yang masih 7 bulan juga tidak menunjukkan sikap aneh. Hanya saja saat suami beberes barang-barang , barulah putriku berulah. Entah apa sebabnya, dia mulai menangis keras sekali. Aku coba menenangkannya, tetapi tidak ampuh. Diberi susu, juga tidak membuat dia tenang. Tangisan putriku membuat salah satu tetangga muncul dan menghampiri. Itulah perkenalan awalku dengan tetangga baru kami. Namanya Bu Dwi. Bu Dwi menawarkanku singgah ke rumahnya yang terletak beda dua rumah dari rumahku. Aku menolak dengan halus karena putriku masih menjerit-jerit tidak bisa tenang. Akhirnya setelah suamiku meletakkannya di kereta bayi dan membacakannya Al-Qur'an, barulah dia tenang dan bisa tidur lelap.
Beberapa hari ke depannya tidak ada kejadian istimewa. Aku pun mulai mengunjungi tetangga-tetangga di sekitar rumah untuk memperkenalkan diri. Walau sudah mengenal beberapa tetangga, tetap saja suasana sunyi sangat terasa. Siang hari saja kesunyian tetap terasa. Apalagi malam hari. Belum lagi suami setiap 2 hari sekali harus bertugas shift malam. semakin lengkap saja terasa suasan sunyi di blok tempatku tinggal ini.
Jujur saja, sebelum menikah aku gadis yang penakut. Beberapa kali mendapat 'gangguan' membuatku kadang takut untuk tidur di kamar seorang diri. Apalagi kalau lampu kamar dimatikan. Namun semenjak menikah dan bayiku terbiasa tidur dengan lampu padam, mau tidak mau aku harus beradaptasi dengan hal itu. Dan entah mengapa keberanian itu muncul sendiri. Mungkin karena naluri untuk melindungi anak ya sehingga keberanian itu muncul.
Keadaan mulai berbeda setelah sebulan lebih kami tinggal di rumah tersebut. Seperti biasa, saat itu suami mendapat jadwal shift malam. Sebelum maghrib dia sudah berangkat, dan aku pun seperti biasa bersama Putri (sebutan untuk putriku) sudah berada dalam kamar ditemani tv dan komputer.
Kali ini aku menghidupkan tv sebagai teman, sementara Putri masih bermain-main di lantai. Kamar utama dari 2 kamar yang ada di rumah ini memang lebih besar ukurannya yakni 4x3 m, sehingga Putri bisa bermain-main di lantai. Tiba-tiba dari arah gudang kecil yang terletak di bagian dapur terdengar berisik. Awalnya aku yakin itu tikus. Maklumlah, rumah di kanan kiri rumah kami ini semuanya kosong dan tidak terawat. Pastilah menjadi sarang tikus dan hewan lainnya (asal jangan ular hiii).
maka aku pun tidak terlalu peduli dengan keributan di gudang tersebut.
Situasi terasa berbeda ketika Putri mulai gelisah dan rewel. Biasanya Putri bersikap tenang dan mudah tidur (kecuali awal kepindahan kami di sini). Aku pun mulai merasakan suasana tak enak, tapi aku berusaha tenang dan tidak panik. Rasa takut perlahan menjalari hatiku, dan tengkukku mulai terasa dingin. Berdasarkan pengalaman, aku memahami tanda seperti ini berarti ada yang lain hadir di sekitarku. Sebisa mungkin aku mencoba mengatasi ketakutanku dengan melantunkan ayat-ayat Qur'an yang kuingat. Tapi Putri tetap saja rewel dan intensitas rewelnya semakin meningkat. Aku semakin tertekan dengan keadaan ini. Di satu sisi, aku diharuskan bersikap kuat dan tenang demi putriku. Di sisi lain, aku juga dicekam rasa takut terhadap sesuatu yang memang tak kasat mata. Kalau masih gadis dulu, aku sudah memilih keluar kamar dan memilih tidur bareng adik. Tetapi kini? Mana suami sedang tidak di rumah dan suasana komplek perumahan yang sepi dan sedikit penghuni di tambah ada bocah kecil yang harus kulindungi.
Ternyata batas antara takut dan marah tipis sekali. Melihat Putri semakin rewel dan gelisah, amarahku timbul. Rasa takut yang semula mendera, tergantikan oleh naluriku sebagi ibu yang harus melindungi putrinya dari apa pun. Semangatku bangkit untuk melawan. melawan ketakutanku sendiri, dan melawan 'siapa pun' itu yang hadir mengganggu putriku. Bukankah Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di bumi ini?
Berbekal semangat baru, aku keluar kamar. Walau degup jantungku seperti tabuh genderang perang, aku tetap menguatkan tekad untuk melawan. Gudang di area dapur adalah tujuanku. Aku memungut apa yang ada di dapur yang bisa kujadikan senjata. Sapu lantai, dan sandal menjadi tamengku. Sampai di gudang, degup jantungku semakin menggila, dan bulu-bulu halus di tangan dan tengkuk sampai ke punggungku berdiri semua. Kkalau menuruti kata hati, ingin rasanya aku angkat kaki dari situ dan berkemul selimut di kamar. Tapi bagaimana putriku? Akankah kubiarkan dia semalaman rewel dan terganggu oleh sesuatu yang tak dia mengerti?
Semangatku membaja lagi. Tarik nafas dalam-dalam, aku kemudian mengetuk-ngetukkan gagang sapu ke dinding gudang."Hei...!" seruku, dengan menahan nada suara agar tidak terlalu keras terdengar (walau tetangga agak berjauhan, khan enggak enak juga kalau terdengar). "Kalau berani, jangan ganggu putriku. hadapi saja aku, ibunya!" sambungku lagi dengan nada marah.,. Ya, marah. Aku tak mau semalaman harus berkutat dengan rasa takutku, sehingga akhirnya marah itu muncul mengalahkan rasa takutku. Marah akan istirahatku yang terganggu, dan marah karena putriku juga terganggu.
Apapun yang ada di gudang itu, apakah makhluk halus tak kasat mata atau cuma tikus-tikus yang lagi pesta pora, upayaku cukup jitu. Keributan itu terhenti, dan singkat cerita Putri menjadi tenang dan tidak rewel lagi. Dia tertidur pulas dengan aku di sisinya yang melantunkan ayat-ayat Qur'an. Karena letih dan juga memang sudah waktunya, aku pun ikut tertidur dengan lelapnya sampai subuh menjelang.
Kejadian malam itu awalnya membuatku malu pada diriku sendiri. Aku menganggap diriku terlalu ketakutan berlebihan sehingga merasakan macam-macam sampai menganggap ada kehadiran makhluk lain. Padahal yang membuat Putri tidak bisa tidur malam itu adalah ulah tikus-tikus gudang. tetapi pandanganku berubah karena ternyata banyak kejadian-kejadian yang menyusul lain harinya. Misalnya ketukan berirama dari dinding sebelah (rumah sisi kanan yang kosong dan dipenuhi semak belukar). Ketukan itu terdengar lepas isya dan terdengar di dinding kamaer dan dinding kamar mandi. Atau penampkan yang menyerupai suami, penampakan sosok tinggi besar di dekat tv, serta suara-suara yang ikut menemaniku bernyanyi atau mengucapkan salam. di postingan berikutnya, akan aku ceritakan bagaimana penghuni lain di rumahku ikut menemaniku bernyanyi :)
ilustrasi |
Waktu itu tahun 2005, dan aku masih mempunyai anak 1 yang masih berusia 7 bulan dan lagi hamil muda anak ke dua. Saat pertama kali pindah ke rumah tersebut, blok yang kami tempati cuma diisi oleh beberapa keluarga. Rumah-rumah yang kosong sangat tidak terawat, rusak parah, dan dipenuhi semak belukar. Rumah yang kami sewa diapit oleh rumah kosong. Di sisi yang kanan rumah kosongnya sangat rusak parah dan dipenuhi oleh tumbuhan liar. Sedangkan di sisi kiri, walau hanya dikunjungi sekali-kali, masih lumayan terawat. Di ujung blok, ada sungai besar yang sekaligus menjadi pemisah antara batas komplek perumahan dengan penduduk kampung sekitar komplek. Total dari sekitar 20 rumah di blok tersebut, yang terisi permanen hanya sekitar 5 rumah.
"Gimana Bun, Bunda keberatan tidak kita tinggal di sini?" tanya suamiku ragu melihat keadaan sekitar rumah.
"Ya sudah, enggak apa-apa," kataku meyakinkannya. Jujur saja, keberanianku timbul untuk mau tinggal di situ karena keadaan finansial kami memang sangat sulit saat itu. Dan dari beberapa eksplorasi tempat-tempat yang menyewakan rumah, cuma rumah inilah yang terjangkau dengan kondisi keuangan kami sekaligus kami anggap layak untuk ditempati oleh keluarga kecil kami. Lagipula, aku tidak mau menambah beban hati suami dengan meminta yang lebih lagi. Ditambah masa kontrak rumah yang lama sudah semakin mendekati jadwal usai.Maka jadilah beberapa hari kemudian kami pindah ke sana.
Sebelum pindah dan saat berpamitan dengan tetangga di rumah kontrakan sebelumnya, ada yang menyarankanku untuk membawa segenggam tanah dari halaman. "Biar anaknya tidak kagetan,Bu" katanya. Aku menanggapinya dengan tersenyum. Tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Saat itu aku hanya berpikir, enggak ada relevansi antara tanah, pindah, dan betah. Dan juga khawatir saran itu bila kuturuti akan menjadi perbuatan syirik. Maka saat pindahan itu aku tidak mengikuti sarannya.
Awal tiba di rumah baru, tidak ada yang aneh. Karena suasananya memang sepi dan kami tiba saat siang hari, tidak ada tetangga baru yang terlihat (suasananya benar-benar sepi!). Putriku yang masih 7 bulan juga tidak menunjukkan sikap aneh. Hanya saja saat suami beberes barang-barang , barulah putriku berulah. Entah apa sebabnya, dia mulai menangis keras sekali. Aku coba menenangkannya, tetapi tidak ampuh. Diberi susu, juga tidak membuat dia tenang. Tangisan putriku membuat salah satu tetangga muncul dan menghampiri. Itulah perkenalan awalku dengan tetangga baru kami. Namanya Bu Dwi. Bu Dwi menawarkanku singgah ke rumahnya yang terletak beda dua rumah dari rumahku. Aku menolak dengan halus karena putriku masih menjerit-jerit tidak bisa tenang. Akhirnya setelah suamiku meletakkannya di kereta bayi dan membacakannya Al-Qur'an, barulah dia tenang dan bisa tidur lelap.
Beberapa hari ke depannya tidak ada kejadian istimewa. Aku pun mulai mengunjungi tetangga-tetangga di sekitar rumah untuk memperkenalkan diri. Walau sudah mengenal beberapa tetangga, tetap saja suasana sunyi sangat terasa. Siang hari saja kesunyian tetap terasa. Apalagi malam hari. Belum lagi suami setiap 2 hari sekali harus bertugas shift malam. semakin lengkap saja terasa suasan sunyi di blok tempatku tinggal ini.
Jujur saja, sebelum menikah aku gadis yang penakut. Beberapa kali mendapat 'gangguan' membuatku kadang takut untuk tidur di kamar seorang diri. Apalagi kalau lampu kamar dimatikan. Namun semenjak menikah dan bayiku terbiasa tidur dengan lampu padam, mau tidak mau aku harus beradaptasi dengan hal itu. Dan entah mengapa keberanian itu muncul sendiri. Mungkin karena naluri untuk melindungi anak ya sehingga keberanian itu muncul.
Keadaan mulai berbeda setelah sebulan lebih kami tinggal di rumah tersebut. Seperti biasa, saat itu suami mendapat jadwal shift malam. Sebelum maghrib dia sudah berangkat, dan aku pun seperti biasa bersama Putri (sebutan untuk putriku) sudah berada dalam kamar ditemani tv dan komputer.
Kali ini aku menghidupkan tv sebagai teman, sementara Putri masih bermain-main di lantai. Kamar utama dari 2 kamar yang ada di rumah ini memang lebih besar ukurannya yakni 4x3 m, sehingga Putri bisa bermain-main di lantai. Tiba-tiba dari arah gudang kecil yang terletak di bagian dapur terdengar berisik. Awalnya aku yakin itu tikus. Maklumlah, rumah di kanan kiri rumah kami ini semuanya kosong dan tidak terawat. Pastilah menjadi sarang tikus dan hewan lainnya (asal jangan ular hiii).
maka aku pun tidak terlalu peduli dengan keributan di gudang tersebut.
Situasi terasa berbeda ketika Putri mulai gelisah dan rewel. Biasanya Putri bersikap tenang dan mudah tidur (kecuali awal kepindahan kami di sini). Aku pun mulai merasakan suasana tak enak, tapi aku berusaha tenang dan tidak panik. Rasa takut perlahan menjalari hatiku, dan tengkukku mulai terasa dingin. Berdasarkan pengalaman, aku memahami tanda seperti ini berarti ada yang lain hadir di sekitarku. Sebisa mungkin aku mencoba mengatasi ketakutanku dengan melantunkan ayat-ayat Qur'an yang kuingat. Tapi Putri tetap saja rewel dan intensitas rewelnya semakin meningkat. Aku semakin tertekan dengan keadaan ini. Di satu sisi, aku diharuskan bersikap kuat dan tenang demi putriku. Di sisi lain, aku juga dicekam rasa takut terhadap sesuatu yang memang tak kasat mata. Kalau masih gadis dulu, aku sudah memilih keluar kamar dan memilih tidur bareng adik. Tetapi kini? Mana suami sedang tidak di rumah dan suasana komplek perumahan yang sepi dan sedikit penghuni di tambah ada bocah kecil yang harus kulindungi.
Ternyata batas antara takut dan marah tipis sekali. Melihat Putri semakin rewel dan gelisah, amarahku timbul. Rasa takut yang semula mendera, tergantikan oleh naluriku sebagi ibu yang harus melindungi putrinya dari apa pun. Semangatku bangkit untuk melawan. melawan ketakutanku sendiri, dan melawan 'siapa pun' itu yang hadir mengganggu putriku. Bukankah Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di bumi ini?
Berbekal semangat baru, aku keluar kamar. Walau degup jantungku seperti tabuh genderang perang, aku tetap menguatkan tekad untuk melawan. Gudang di area dapur adalah tujuanku. Aku memungut apa yang ada di dapur yang bisa kujadikan senjata. Sapu lantai, dan sandal menjadi tamengku. Sampai di gudang, degup jantungku semakin menggila, dan bulu-bulu halus di tangan dan tengkuk sampai ke punggungku berdiri semua. Kkalau menuruti kata hati, ingin rasanya aku angkat kaki dari situ dan berkemul selimut di kamar. Tapi bagaimana putriku? Akankah kubiarkan dia semalaman rewel dan terganggu oleh sesuatu yang tak dia mengerti?
Semangatku membaja lagi. Tarik nafas dalam-dalam, aku kemudian mengetuk-ngetukkan gagang sapu ke dinding gudang."Hei...!" seruku, dengan menahan nada suara agar tidak terlalu keras terdengar (walau tetangga agak berjauhan, khan enggak enak juga kalau terdengar). "Kalau berani, jangan ganggu putriku. hadapi saja aku, ibunya!" sambungku lagi dengan nada marah.,. Ya, marah. Aku tak mau semalaman harus berkutat dengan rasa takutku, sehingga akhirnya marah itu muncul mengalahkan rasa takutku. Marah akan istirahatku yang terganggu, dan marah karena putriku juga terganggu.
Apapun yang ada di gudang itu, apakah makhluk halus tak kasat mata atau cuma tikus-tikus yang lagi pesta pora, upayaku cukup jitu. Keributan itu terhenti, dan singkat cerita Putri menjadi tenang dan tidak rewel lagi. Dia tertidur pulas dengan aku di sisinya yang melantunkan ayat-ayat Qur'an. Karena letih dan juga memang sudah waktunya, aku pun ikut tertidur dengan lelapnya sampai subuh menjelang.
Kejadian malam itu awalnya membuatku malu pada diriku sendiri. Aku menganggap diriku terlalu ketakutan berlebihan sehingga merasakan macam-macam sampai menganggap ada kehadiran makhluk lain. Padahal yang membuat Putri tidak bisa tidur malam itu adalah ulah tikus-tikus gudang. tetapi pandanganku berubah karena ternyata banyak kejadian-kejadian yang menyusul lain harinya. Misalnya ketukan berirama dari dinding sebelah (rumah sisi kanan yang kosong dan dipenuhi semak belukar). Ketukan itu terdengar lepas isya dan terdengar di dinding kamaer dan dinding kamar mandi. Atau penampkan yang menyerupai suami, penampakan sosok tinggi besar di dekat tv, serta suara-suara yang ikut menemaniku bernyanyi atau mengucapkan salam. di postingan berikutnya, akan aku ceritakan bagaimana penghuni lain di rumahku ikut menemaniku bernyanyi :)
Konfliknya kurang greget ya mbak di bagian pertama ini. Menurut saya harus lebih dieksplorasi kondisi di sekitar si Ibu, jangan hanya terpaku pada kondisi psikis si Ibu.
BalasHapussudah baca yang selanjutnya? mungkin bisa jadi berbeda
Hapusserem juga ya mbak. kalo rumah lama memang sering ada yang kayak gitu
BalasHapusrumahnya memang lama enggak ditempati, plus lingkungan sekelilingnya mendukung untuk mereka hadir :)
HapusSerem... Bagaimana cara menulis bagus Salam kenal
BalasHapuscara menulis bagus, selain rajin membaca buku-buku yang bagus juga, juga banyak latihan menulis. Termasuk menulis di blog . Salam kenal kembali Sam
Hapusoooh nooo..aku pasti segera pindah mba...beneeer...
BalasHapussekarang aku juga sudah pindah mbak :)
Hapus