Tanggal 9 September
2013 lalu, genap usia 58 tahun untuk mamaku. Dan terakhir aku bertemu beliau di
tahun 2011 lalu. Aku dan mama tidak tinggal sekota, melainkan dipisahkan oleh
Selat Sunda. Aku di Bogor, sedangkan mama di Medan. Jadi, walau komunikasi
masih terjalin lewat telepon, aku belum pernah lagi melihat raut wajah mamaku. Dan
saat aku telpon mama untuk mengucapkan selamat padanya, kudengar isak tangis di
seberang sana. Katanya, hanya akulah satu-satunya dari 8 anaknya yang selalu
mengingat hari kelahirannya. Ada nada kesepian sebuah hati terwakili dari
kata-kata wanita itu, dan aku yang mendengarnya, ikut menitikkan air mata.
Aku dan mama, bukanlah pinang di belah dua. Walau sama-sama
berkulit putih, tapi mataku mewarisi garis darah kakek yang berdarah Tionghoa,
sedangkan mamaku matanya bulat indah. Wajah mama cantik dan cenderung mengikuti
garis darah buyutku yang peranakan Jerman. Tidak heran waktu mudanya mamaku di
panggil dengan Ida Jerman. Itu dari sisi
fisik yang bisa dilihat. Tapi kata papaku, karakter ‘keras hati’ kami berdua itulah yang layak dikatakan pinang di belah
dua. Mama keras hati, aku pun demikian.
Dan terkadang, tak satu pun dari kami mau mengalah. Sehingga selalu saja
ada benturan-benturan setiap kali berinteraksi dengan mama.
Masa-masa paling menyiksaku adalah saat aku menjelang SMP
sampai menjelang menikah. Benturan itu
semakin sering terjadi, sehingga seringkali papa yang harus mendamaikan kami.
Masing-masing kami memegang teguh prinsip yang kami yakini kebenarannya. Aku merasa mama selalu pilih kasih, sementara
mama berpikiran, aku anak yang tak tahu diri, gemar mengkoreksi, serta selalu
menjadi pemberontak di rumah ini .
Ah, kisah ini bukan untuk membuka luka.. Aku hanya ingin
berbicara tentang cinta. Cinta yang tak terucap, tetapi tetap terasa, walau
dibungkus dalam kemarahan ( dulunya).
Memang, aku dan mama tak seiring sejalan dalam banyak hal.
Tapi aku belajar banyak hal juga darinya dalam hal kehidupan. Kerja keras, semangat mandiri,
caranya berdagang dan melayani pelanggan, nasehat-nasehatnya tentang kehidupan,
dan banyak lagi, kuserap dari sosok mamaku.
Di sisi lain, hal yang aku tak sejalan dengan pemikiran mama, juga menjadi pelajaran untukku, agar tak
kuulangi dalam kehidupan pribadiku.
Walau kerap bersinggungan, ada juga masa-masa intim yang
kami lewati bersama, hanya berdua. Misalnya saat kami melewatkan malam dengan
berkeliling kota naik mobil untuk mencari makanan. Terkadang kita berhenti
untuk makan kerang rebus di pinggir jalan yang banyak di daerah Tanjung Morawa,
atau makan sop kepala kambing. Mama juga meletakkan kepercayaan yang besar
untukku, sehingga dia yakin melepaskanku pergi sendiri bacpack travelling mulai
dari Medan, melintasi kota-kota di pulau Jawa, sampai berujung di Pulau Bali.
Itu kulakukan sendiri, saat aku belum nikah. Kepercayaan yang tidak dia berikan
kepada adik perempuanku yang lain. Dia sungguh yakin aku wanita yang bisa
menjaga diri. Dan kepercayaan darinya tidak pernah kusalahgunakan sampai kini.
Banyak lagi ajaran beliau yang mungkin bagi orangtua lainnya
terdengar ekstrim, tapi bagiku sangat berguna ketika aku masuk ke lingkungan
dan pergaulan kerja. Dengan caranya sendiri, mama berhasil membentukku menjadi
pribadi mandiri yang tidak cengeng. Itu sebabnya, saat merantau jauh dari
keluarga karena ikut suami, aku tidak terlalu kesulitan, karena mama sudah
meletakkan dasar-dasar kemandirian yang kokoh dalam hidupku. Sayangnya, untuk ke 7 adikku yang lainnya, mama berlaku
jauh berbeda. Rasa sayang yang berlebihan, memanjakan mereka dengan uang,
membuat mereka tidak mandiri dan kerap menyulitkan mama sampai usianya kini.
Kini, di usianya yang sudah semakin menua, dan kedekatan
kami terpisahkan jarak ribuan kilometer jauhnya, kurasakan hatiku lebih bisa
memahami mama, mengerti mengapa dia bersikap berbeda padaku dibanding
adik-adikku, dan justru berterima kasih untuk hal itu saat ini. Walau tak selalu
mesra, tapi ternyata baru kusadari, aku mencintai mamaku, lebih dari yang
kutahu.., dan yang membuatku terharu,
mamaku (baru sekali ini) mengakui hal itu.
courtesy of Pinterest.Com |
Selamat Ulang Tahun Mama..
Cinta anakmu yang berada jauh ini selalu ada melalui do’a-do
yang kupanjatkan padaNya untukmu. Love u so much..
Repost dari Kompasiana, 11 September 2013 oleh penulis yang sama
kisah mbak Santy dengan Mama-nya, setali tiga uang dengan kisahku dengan Bapakku.
BalasHapusKami serupa dalam sifat, sering terjadi benturan, tapi hubungan dan ikatan emosi kami justru paling dekat dibandingkan antara ayah dengan saudara2 saya yang lain.
Misskomunikasi yang sering terjadi justru menjadi komunikasi akrab kami,untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain.
Sungguh,saya masih selalu rindu pada almarhum.
:)
kalau bahas tentang orangtua, selalu mata ini ingin basah. serumit apa pun hubungan kita dengan ortu, ternyata kita selalu merindu mereka, apalagi kalau berjauhna. Terima kasih udah mampir dan meninggalkan jejaknya ya :)
HapusRasanya, setiap dari kita minimal 1 x mengalami benturan pendapat (hebat) dengan ortu. Dan selalu, penyesalan datang belakangan. Tidak jarang malah, setelah berada dalam situasi berjauhan dengan ortu, bahkan setelah mereka tiada! :( #pengalamanpribadi
BalasHapusYang terpikirkan sekarang, apakah anak2 juga akan mengalami hal yang sama dengan kita, ortunya?
itulah mbak, mengapa kemudian saya ingin bersujud di kaki ibu saya, karena suami saya mengajarkan, mungkin dengan kesabaran kita menghadapi ortu, termasuk mengalah, kita mengharap Allah akan memberikan anak yang bersikap sabar pula pada kita nantinya, atau bisa sebaliknya, kita menjadi ortu yang lebih bijaksana bila dalam situasi serupa :)
Hapus