Aku seorang ibu yang baru saja kehilangan suami dan seorang anak dalam suatu kecelakaan lalu lintas beberapa bulan yang lalu. Karena kecelakaan itu, kini yang kupunyai hanya si bungsu yang berusia 6 tahun kurang. Dia belum bersekolah. Rencananya, tahun depan akan kumasukkan ke SD dekat rumah saja, supaya bisa kuawasi sambil aku bekerja mengerjakan pesanan jahitan dari pelanggan.
Semenjak suami dan seorang anakku meninggal, aku memang harus mencari nafkah sendirian, demi menghidupi aku dan anakku. Kedua orangtua kami, baik dari pihakku dan almarhum suami berdiam di seberang pulau. Aku memilih tidak pulang kampung, karena aku ingin berdekatan selalu dengan makam suami dan anakku. Jadi, di sinilah aku, hidup berdua dengan anak semata wayang di pinggir kota yang tenang.
Sejak kehilangan suami dan seorang anak membuatku menjadi obsesif terhadap putra semata wayangku kini. Apalagi marak berita tentang penculikan anak, baik untuk dimintai tebusan, ataupun di gunakan sebagai pengemis jalanan. Jadinya, aku akui aku sedikit mengekang kebebasan bermain dirinya dengan anak-anak sekitar. Aku hanya mengijinkan dia bermain sejauh mataku masih bisa memandangnya. Kalau dia mau bermain agak jauh bersama teman-temannya, harus minta ijin dulu padaku. Syukurlah, anakku bocah yang penurut pada ibunya, sehingga aku tidak terlalu kerepotan mengawasinya.
Pagi ini, saat aku masih berkutat di dapur untuk makan siang kami, dia menghampiriku. “Bu, Adek mau main sepeda ama Syahid. Boleh ya, Bu?” tanyanya penuh harap.
“Main kemana?” tanyaku sambil meninggalkan sejenak aktifitas memasak, mengangsurkan sepotong kentang goreng kesukaannya, yang diterimanya dengan sukacita. Sehelaan nafas kemudian, kentang goreng itu lenyap dalam mulut mungilnya.
“Ke tanah lapang dekat sekolahan, Bu. Boleh khan?”
Aku mengangguk, dan dia meloncat kegirangan. “Jangan lupa, pulang sebelum waktu zuhur ya,” ingatku sebelum dia menghilang dari pandangan mata.
Aku pun kembali melanjutkan tugas-tugasku. Mulai dari pekerjaan sehari-hari, dilanjutkan dengan menjahit baju pesanan pelanggan. Dan aku berhenti ketika panggilan sholat berkumandang. Saat itu aku baru menyadari bahwa Adek, demikian panggilan untuk anakku, belum pulang ke rumah. Rasa cemas mulai melanda, kenapa Adek belum pulang juga?
Sampai aku selesai sholat zuhur, Adek belum kelihatan batang hidungnya. Berkali-kali leherku ini kutolehkan ke jendela yang berhadapan dengan halaman depan. Mana tahu sosok Adek sudah di depan mata. Tapi dia belum kelihatan juga.
Aku tak mau menunggu dalam ketidakpastian yang membuatku was-was lebih jauh. Kuputuskan untuk mencari Adek ke tanah lapang dekat sekolahan . Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Paling sekitar 800 meter .
Belum sampai ke tanah lapang dekat sekolah, aku melihat sosok Adek. Ya ampun, apa yang dia lakukan di sungai kecil yang membelah ladang-ladang palawija milik tetangga?. Amarahku naik ke ubun-ubun. Adek tidak mendengar nasehatku untuk pulang sebelum zuhur, dan kini Adek bermain-main di sungai?!! Tidak kulihat seorang pun temannya di dekat sosok Adek, yang ada sepeda Adek tergolek di tepi sungai kecil. Bagaimana kalau Adek mengalami kecelakaan di sungai, terseret arus, dan… dan…
Beribu bayangan negatif menari-nari di benakku, membuatku melangkahkan kaki lebih cepat lagi menuju sosoknya yang sedang berada di tengah sungai kecil tersebut.
“Begini ya kelakuan Adek!” bentakku, menukar kecemasan menjadi kemarahan. Tanganku melayang memukul pantatnya. “Lebih baik Ibu yang memukulmu, daripada kamu celaka terbawa arus sungai ini,” omelku sambil menarik tangannya untuk keluar dari sungai setinggi setengah betisku.
Adek kaget, dan bertambah kaget saat merasakan panasnya tanganku di bagian belakang bokongnya. Kulihat matanya berkaca-kaca, namun tak terdengar isak tangis dari bibirnya. Namun aku tak peduli. Adek harus diberi pelajaran, bagaimana konsekwensi yang harus ditanggungnya dengan bersikap tidak patuh, sekaligus membahayakan keselamatan dirinya.
Aku pun membawa Adek pulang dengan amarah yang masih memenuhi rongga dada. Sebenarnya amarahku muncul karena kecemasanku yang kelewat besar terhadap Adek, dan kemudian berubah menjadi kecewa melihat sikapnyayang tidak mematuhi ucapanku. Apakah Adek tidak menyadari aku tidak akan bisa hidup bila dia terenggut dari sisiku, seperti nasib merenggut Ayah dan saudaranya yang kucintai? Adek tetap diam dan berjalan menunduk sambil menuntun sepedanya di sisinya.
Sampai rumah, Adek meminta maaf padaku, tetapi untuk mengajarkan disiplin padanya aku memberinya hukuman tidak boleh keluar dari kamarnya sampai sore. Tentu saja setelah dia mandi dan makan siang. Adek tidak berkata apa-apa, kecuali patuh masuk ke dalam kamarnya.
Selepas Ashar, aku dikejutkan oleh panggilan teman-teman Adek di teras depan. Kulihat ada Syahid, salah seorang temannya yang ikut bermain dengan Adek pagi tadi. “Adek..Adek..!” panggil mereka.
“Adek tidak boleh main sore ini,”kataku menemui mereka di depan pintu rumah. “Adek dihukum karena main di sungai, pagi tadi!” lanjutku lagi dengan ekor mata melirik Syahid yang mengkeret ketakutan mendengar nada bicaraku yang tidak ramah.
“Tapi Budhe, Syahid mau antar ini,” kata Syahid takut-takut sembari menyodorkan seikat bunga liar berwarna ungu yang melayu kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku tak mengerti sambil menerima bunga tersebut dari tangan Syahid
“Syahid menemukan bunga ini di tepi sungai, saat Syahid pulang sekolah tadi, Budhe. Syahid ingat, ini bunga yang tadi pagi diambil Adek sampai Adek terpeleset kubangan lumpur. Cuma Syahid enggak bisa nemani Adek saat Adek mau nyuci bunga ini dan bajunya yang kotor,karena Syahid harus sekolah. Jadi Syahid pulang duluan saat Adek masih membersihkan diri di sungai,” jelas Syahid takut-takut padaku.
Kakiku melemas seperti tidak bertulang, dan hatiku bergetar. Kutahan sekuat tenaga agar airmata ini tak bergulir dengan menggigit bibirku saat bocah kecil di depanku ini melanjutkan penjelasannya.
“Adek bilang, dia enggak mau bikin susah Budhe dengan membersihkan pakaiannya yang kotor kena lumpur waktu ngambil bunga ini. Kata Adek, Budhe suka bunga ungu, dan Adek sekalian membersihkan bunga ungu ini sebelum diberikan ke Budhe, supaya Budhe enggak sedih lagi. Adek cerita kalau Budhe suka nangis malam-malam, dan itu bikin Adek ikut sedih..”
Aku menghambur ke kamar Adek dengan air mata yang membasuh bunga-bunga ungu ditanganku. Kubuka pintu kamar, dan kulihat di atas kasur, putraku tertidur dengan jejak airmata mengering mengalir di pipinya. Kupeluk dia sepenuh jiwa, dan bibirku tak henti berucap, ” Maafkan Ibumu ini, Nak.. Maafkan Ibu..”
Based on true story of someone
Semenjak suami dan seorang anakku meninggal, aku memang harus mencari nafkah sendirian, demi menghidupi aku dan anakku. Kedua orangtua kami, baik dari pihakku dan almarhum suami berdiam di seberang pulau. Aku memilih tidak pulang kampung, karena aku ingin berdekatan selalu dengan makam suami dan anakku. Jadi, di sinilah aku, hidup berdua dengan anak semata wayang di pinggir kota yang tenang.
Sejak kehilangan suami dan seorang anak membuatku menjadi obsesif terhadap putra semata wayangku kini. Apalagi marak berita tentang penculikan anak, baik untuk dimintai tebusan, ataupun di gunakan sebagai pengemis jalanan. Jadinya, aku akui aku sedikit mengekang kebebasan bermain dirinya dengan anak-anak sekitar. Aku hanya mengijinkan dia bermain sejauh mataku masih bisa memandangnya. Kalau dia mau bermain agak jauh bersama teman-temannya, harus minta ijin dulu padaku. Syukurlah, anakku bocah yang penurut pada ibunya, sehingga aku tidak terlalu kerepotan mengawasinya.
Pagi ini, saat aku masih berkutat di dapur untuk makan siang kami, dia menghampiriku. “Bu, Adek mau main sepeda ama Syahid. Boleh ya, Bu?” tanyanya penuh harap.
“Main kemana?” tanyaku sambil meninggalkan sejenak aktifitas memasak, mengangsurkan sepotong kentang goreng kesukaannya, yang diterimanya dengan sukacita. Sehelaan nafas kemudian, kentang goreng itu lenyap dalam mulut mungilnya.
“Ke tanah lapang dekat sekolahan, Bu. Boleh khan?”
Aku mengangguk, dan dia meloncat kegirangan. “Jangan lupa, pulang sebelum waktu zuhur ya,” ingatku sebelum dia menghilang dari pandangan mata.
Aku pun kembali melanjutkan tugas-tugasku. Mulai dari pekerjaan sehari-hari, dilanjutkan dengan menjahit baju pesanan pelanggan. Dan aku berhenti ketika panggilan sholat berkumandang. Saat itu aku baru menyadari bahwa Adek, demikian panggilan untuk anakku, belum pulang ke rumah. Rasa cemas mulai melanda, kenapa Adek belum pulang juga?
Sampai aku selesai sholat zuhur, Adek belum kelihatan batang hidungnya. Berkali-kali leherku ini kutolehkan ke jendela yang berhadapan dengan halaman depan. Mana tahu sosok Adek sudah di depan mata. Tapi dia belum kelihatan juga.
Aku tak mau menunggu dalam ketidakpastian yang membuatku was-was lebih jauh. Kuputuskan untuk mencari Adek ke tanah lapang dekat sekolahan . Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Paling sekitar 800 meter .
Belum sampai ke tanah lapang dekat sekolah, aku melihat sosok Adek. Ya ampun, apa yang dia lakukan di sungai kecil yang membelah ladang-ladang palawija milik tetangga?. Amarahku naik ke ubun-ubun. Adek tidak mendengar nasehatku untuk pulang sebelum zuhur, dan kini Adek bermain-main di sungai?!! Tidak kulihat seorang pun temannya di dekat sosok Adek, yang ada sepeda Adek tergolek di tepi sungai kecil. Bagaimana kalau Adek mengalami kecelakaan di sungai, terseret arus, dan… dan…
Beribu bayangan negatif menari-nari di benakku, membuatku melangkahkan kaki lebih cepat lagi menuju sosoknya yang sedang berada di tengah sungai kecil tersebut.
“Begini ya kelakuan Adek!” bentakku, menukar kecemasan menjadi kemarahan. Tanganku melayang memukul pantatnya. “Lebih baik Ibu yang memukulmu, daripada kamu celaka terbawa arus sungai ini,” omelku sambil menarik tangannya untuk keluar dari sungai setinggi setengah betisku.
Adek kaget, dan bertambah kaget saat merasakan panasnya tanganku di bagian belakang bokongnya. Kulihat matanya berkaca-kaca, namun tak terdengar isak tangis dari bibirnya. Namun aku tak peduli. Adek harus diberi pelajaran, bagaimana konsekwensi yang harus ditanggungnya dengan bersikap tidak patuh, sekaligus membahayakan keselamatan dirinya.
Aku pun membawa Adek pulang dengan amarah yang masih memenuhi rongga dada. Sebenarnya amarahku muncul karena kecemasanku yang kelewat besar terhadap Adek, dan kemudian berubah menjadi kecewa melihat sikapnyayang tidak mematuhi ucapanku. Apakah Adek tidak menyadari aku tidak akan bisa hidup bila dia terenggut dari sisiku, seperti nasib merenggut Ayah dan saudaranya yang kucintai? Adek tetap diam dan berjalan menunduk sambil menuntun sepedanya di sisinya.
Sampai rumah, Adek meminta maaf padaku, tetapi untuk mengajarkan disiplin padanya aku memberinya hukuman tidak boleh keluar dari kamarnya sampai sore. Tentu saja setelah dia mandi dan makan siang. Adek tidak berkata apa-apa, kecuali patuh masuk ke dalam kamarnya.
Selepas Ashar, aku dikejutkan oleh panggilan teman-teman Adek di teras depan. Kulihat ada Syahid, salah seorang temannya yang ikut bermain dengan Adek pagi tadi. “Adek..Adek..!” panggil mereka.
“Adek tidak boleh main sore ini,”kataku menemui mereka di depan pintu rumah. “Adek dihukum karena main di sungai, pagi tadi!” lanjutku lagi dengan ekor mata melirik Syahid yang mengkeret ketakutan mendengar nada bicaraku yang tidak ramah.
“Tapi Budhe, Syahid mau antar ini,” kata Syahid takut-takut sembari menyodorkan seikat bunga liar berwarna ungu yang melayu kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku tak mengerti sambil menerima bunga tersebut dari tangan Syahid
bunga untuk bunda. foto milik Rebellina |
“Syahid menemukan bunga ini di tepi sungai, saat Syahid pulang sekolah tadi, Budhe. Syahid ingat, ini bunga yang tadi pagi diambil Adek sampai Adek terpeleset kubangan lumpur. Cuma Syahid enggak bisa nemani Adek saat Adek mau nyuci bunga ini dan bajunya yang kotor,karena Syahid harus sekolah. Jadi Syahid pulang duluan saat Adek masih membersihkan diri di sungai,” jelas Syahid takut-takut padaku.
Kakiku melemas seperti tidak bertulang, dan hatiku bergetar. Kutahan sekuat tenaga agar airmata ini tak bergulir dengan menggigit bibirku saat bocah kecil di depanku ini melanjutkan penjelasannya.
“Adek bilang, dia enggak mau bikin susah Budhe dengan membersihkan pakaiannya yang kotor kena lumpur waktu ngambil bunga ini. Kata Adek, Budhe suka bunga ungu, dan Adek sekalian membersihkan bunga ungu ini sebelum diberikan ke Budhe, supaya Budhe enggak sedih lagi. Adek cerita kalau Budhe suka nangis malam-malam, dan itu bikin Adek ikut sedih..”
Aku menghambur ke kamar Adek dengan air mata yang membasuh bunga-bunga ungu ditanganku. Kubuka pintu kamar, dan kulihat di atas kasur, putraku tertidur dengan jejak airmata mengering mengalir di pipinya. Kupeluk dia sepenuh jiwa, dan bibirku tak henti berucap, ” Maafkan Ibumu ini, Nak.. Maafkan Ibu..”
Based on true story of someone
hikksss.... ini kisah siapakah mba ? bukan kisahmu kan ?? #berkaca-kaca
BalasHapusbisa kisah siapa saja Mbak. mungkin sepenggal dari kisah yang kutulis di atas, ada kisah pribadiku, terutama soal bunga, soalnya anakku semua suka metiki bunga di halaman untuk diberi ke aku :).
Hapushuwaaaa....ikutan nangis. terbayang seorang ponakan yang juga amat kusayang.. ;(
BalasHapuskisah tentang kasih sayang antar manusia, selalu bisa membuat mata berkaca-kaca.
Hapusadeekkkk...... sungguh mulia keinginannya. nangis bombay neeh bacaa kisahnya mba :'(
BalasHapuskedua-duanya memiliki kasih sayang yang sama. hanya saja kadang, penyampaian yang berbeda. Jadi suka ada penyesalan setelahnya. Salam kenal ya
HapusAah...suka deh bu baca kisahnya...jadi inget cerita ttg seorang anak kecil di kereta yg tingkahnya bikin sebel orang / semua penumpang..pernah baca kisah itu bu?
BalasHapusbelum Bu Nan. Tuliskanlah, biar aku bisa tahu ceritanya..
HapusAah...suka deh bu baca kisahnya...jadi inget cerita ttg seorang anak kecil di kereta yg tingkahnya bikin sebel orang / semua penumpang..pernah baca kisah itu bu?
BalasHapushwaaaaaa ikutan berkaca2 cinta ibu pada anak dan cinta anak pada ibu hiks *meweklagi*
BalasHapusyang nulis malah juga mau nangis tadi (pas nulisnya). salam kenal nih
Hapusberkaca-kaca aku bacanya mbak
BalasHapuskisah cinta ibu-anak mengapa ya selalu membuat mata brebes. saya juga begitu waktu menulisnya
Hapussatu masukan tambahan untuk kita, jangan pernah men-judge siapa pun tentang apa pun sebelum jelas permasalahannya... makasih ceritanya mbak
BalasHapusiya Mbak Nita. itulah pointnya. cintayang terlalu membutakan pun bisa jadi berujung ke penyesalan ya
HapusYa Allah...indah banget hati anak itu...huaaaa, jadi nangis *hiks, Ya Allah..geleng-geleng kepala deeech. Terima kasih ceritanya, buatku, aku ahrus berhati-hati kepada anak lelakiku.
BalasHapusiya Bu. saat menuliskannya pun saya membayangkan sosk anak tersebut. danitu yang membuat saya malah mewek sendiri.
HapusAllahu Akbar!
BalasHapusbundaaaaaa!!!
kalau boleh aku peluk dan kucium bunda!
benar-benar mengharu biru, itu mah cerita gue banget,
begitulah kalau jadi single parent, sama seperti yang ku rasakan
selalu over protective sama anak-anak!
big hug for u!
Mbak, cerita di atas bukan milik saya pribadi. saya terinspirasi dari kisah nyata kehidupan, walau sebagian ada dari kisah pribadi sendiri. Semoga Mbak diberi ketabahan dan kesabaran dalam mengarungi hidup sebagai single parent, karena saya tahu pastilah tidak mudah. big hug for u too..
HapusWaaah ceritanya mengharukan banget mak :(
BalasHapusterima kasih Mak udah mampir :)
HapusSedikit tapi menyentuh
BalasHapusterima kasih, sudah mampir dan memberi komentar :)
Hapus