Tatkala Silaturahmi Membuka Pintu RidhoNya

Friksi, pastinya pernah dialami siapapun. Terhadap tetangga, kerabat, anak, teman, bahkan pasangan hidup sendiri. Endingnya kemudian berbeda-beda, tergantung kedewasaan pihak-pihak yang terkait. Ada yang selesai dengan damai, ada yang berakhir dengan ‘Lu, Gue, End!’, ada pula yang menjadi Hubungan Tanpa Status alias menggantung tidak jelas.  Saya, pernah termasuk dalam ketiga-tiganya #mengelusdada, #istighfar

Saya pernah memendam marah terhadap seseorang. Lama…, sekali. Bertahun-tahun kisaran waktunya. Rasa sakit yang saya alami secara psikis, membuat hati ini susah memaafkan.  Secara kasat mata sih, tidak terlihat bahwa ada hubungan yang kurang sehat antara saya dan seseorang tersebut. Masih berkomunikasi lewat telpon walau amat jarang, karena baik saya dan orang tersebut sama-sama menyadari masih ada masalah yang belum selesai antara kami. Jadinya terlihat mulus di permukaan, tetapi tahu sama tahu di dalam hati. Enggak nyaman deh hubungan begini. Ini termasuk ending yang masih menggantung yang pernah  saya alami.

Perjalanan waktu diiiringi sikap menghisap diri sendiri, membuat ada bagian hati yang tidak tenang dengan hubungan yang tidak jelas ini. Bukan hubungan tanpa status ya J karena jelas status saya dan yang bersangkutan adalah anak dan Ibu. Ya, ibu saya sendiri. Ibu kandung beneran, bukan ibu tiri atau ibu angkat.

Memang, sejak dulu, dimulai dari baligh, hubungan saya dengan mama, tidak pernah akrab. Semenjak menikah pun apalagi. Selalu saja ada benturan-benturan setiap kali berinteraksi dengan beliau. Cara pandang saya dan beliau jauh berbeda, dalam menyikapi apapun. Terutama menyangkut kehidupan dunia dan akhirat. Bedanya, saat belum menikah, sikap saya cenderung meledak-ledak ketika menghadapi mama. Karena punya sikap keras yang sama, jadilah benturan. Dan papa (alm) yang biasa menjadi penengah antara kami. Namun ketika sudah menikah, saya banyak memilih menghindar dari mama, khawatir saling melukai hati setiap berinteraksi. Cara saya menghindar dari kelukaan hati itu malah membuat hubungan saya dan mama kering…

Silaturahmi saya ke mama, sangat amat jarang dilakukan. Baik silaturahmi langsung maupun lewat media lain. Semenjak ikut suami di Bogor, apalagi. Mama kan di Medan, secara resmi silaturahmi keluarga saya, yakni saaya, suami dan anak-anak, masih sekali dilakukan, yakni 2011 lalu. Maklum saja, pulang ke kota asal butuh persiapan yang khusus.
www.rebellinasanty.blogspot.com
Saat mudik 2011 lalu. Masih ada papa

Tapi silaturahmi di zaman sekarang ini mudah dilakukan, yang paling gampang lewat telepon. Tidak harus datang langsung, bukan?

Nah, itulah masalahnya. Karena masih ada hal yang menggantung antara saya dan mama, setiap kali mau bersilaturahmi lewat telepon ke beliau, hati ini beraaatt sekali. Hanya saat Lebaran jari-jari ini terasa agak ringan menekan nomor-nomor di  hp untuk bisa berhubungan dengan beliau. Tapi hanya seperti ikut tradisi yang mendarah daging. Datangnya tidak dari ketulusan hati. Apalagi di waktu-waktu lain.  Beberapa bulan sekali saja saya menghubungi beliau. Sekedar bertanya keadaannya, walau jawabannya selalu sudah bisa saya duga.

Beberapa minggu belakangan ini hati kecil saya terusik dengan hal ini, --hubungan saya dan mama. Saya merasa, ada sesuatu yang tidak pas dalam hidup. Sesuatu yang mengganjal bathin. Sesuatu yang belum saya lepaskan, belum iklash itu terjadi pada saya. Sampai akhirnya saya membaca berita tentang seorang Mak yang dituntut anaknya ke pengadilan, hanya gara-gara persoalan harta. 

Berita itu mengerakkan hati saya untuk menulis sepenggal kisah hidup saya. Mengalir begitu saja, dan kemudian setelah saya tuliskan, ada perasaan lapang di hati. Perasaan lepas.., dan lega. Tulisan itu saya posting dengan judul, Iklashkanlah.

Pengaruh tulisan itu ternyata positif, seperti air yang membasuh semua daki-daki yang menempel di tubuh. Begitu juga dengan perasaan saya terhadap mama. Sehari setelah saya menulis hal itu, saya kemudian menelpon beliau. Jari tetap terasa berat  pada awalnya, saat harus menekan nomor-nomor yang akan menghubungan suara saya dengan suaranya… Tapi saya memaksakan diri. Harus ada perubahan yang jelas mengenai hubungan saya dan mama. Dan hubungan itu tidak bisa saling menunggu. Mesti ada pihak yang berani mengambil langkah awal, dan saya memilih yang memulainya.

Suara di seberang itu terdengar sarat beban saat saya menghubunginya. Saya bayangkan wajah beliau yang saat ini sudah berusia 60 tahun, dengan segala permasalah yang mengelilinginya saat ini. Dan hari itu, saya bisa menjadi pendengar yang baik untuk mama. Sesuatu yang langka, karena biasanya hubungan saya dan mama walau lewat telepon, selalu diakhiri oleh ‘perasaan panas’ karena emosi. Apa karena kali ini saya menghubungi mama dengan niat tulus memperbaiki hubungan silaturahmi saya dan mama? Bukan karena basa basi karena  terpaksa?

Pembicaraan kami hari itu lancar dan hangat. Sesekali disela juga oleh isak tangis saat mengenang almarhum Papa. Dan perasaan sayang saya pada Mama yang sudah lama tenggelam dalam emosi’marah’ saya, mulai muncul kembali. Saya menyadari, bagaimanapun juga dia adalah ibu saya. Yang berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan saya. Yang mengajarkan berbagai hal kehidupan pada saya, walau terkadang dengan cara yang menyakitkan. Tapi, dia tetap ibu saya. Mama saya yang harus tetap saya do’akan agar hidayah sampai padanya, yang tetap harus saya hormati sampai akhir zaman, yang tetap harus saya maafkan karena kekhilafannya. Bukankah saya pun seorang ibu dari 4 anak? Saya ingin anak-anak saya tetap menyayangi dan membuka pintu-pintu maafnya saat saya khilaf. Potensi khilaf pastinya dimiliki oleh semua orang. Bukan karena status sebagai orangtua menjadikan kita bebas dari salah.
www.rebellinasanty.blogspot.com
I Love You Ma (Mama with Om Alex, adik mama), 2013


Di hari itu juga, dengan lapang hati saya meminta maaf kepada beliau dengan tulus, juga meminta  agar niat dan cita-cita saya di ridhoi mama. Alhamdulillah, respon mama sangat baik. Kebiasaan beliau yang suka mencela apapun yang saya lakukan, hari itu tidak terjadi. Beliau meridhoi niat saya dan berjanji akan mendoakan saya. Hal ini langka terjadi pada saya dan mama.

Silaturahmi saya dan mama ditutup manis  saat itu. Dan hari itu saya merasa, pintu ridho dari Allah telah terbuka, karena ridho mama telah terucap untuk saya. Bukankah ridhonya orangtua adalah ridhonya Allah?

Saya tahu, ke depannya ujian saya terhadap hubungan saya dan mama pastilah ada. Tapi saya bertekad, awal silaturahmi yang telah baik ini akan saya pertahankan. Tidak hanya lewat telepon, tetapi juga lewat do’a. Saya akan berjuang untuk itu, karena ini menyangkut kehidupan di akhirat saya nantinya. Dan silaturahmi saya dan mama yang baik, layak diperjuangkan bukan?

Sejak silaturahmi lewat telepon itu, beban perasaan terpendam saya pada mama, menguap. Hati terasa lapang, serta  langkah terasa ringan. Perasaan sayang dan rindu, serta ingin selalu mendoakan mama saya, kini hadir di hati. Setiap do'a yang saya panjatkan, selalu ada nama Mama saya sertakan, semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya untuk beliau. Saya juga  merasa jalan untuk saya mewujudkan niat saya mulai terbuka. Semangat saya meraih mimpi dan cita-cita yang sempat gamang, kembali muncul.  Saya yakin, ini efek dari ridho yang diberikan mama lewat telepon tersebut, sehingga saya pun merasa Allah membuka pintu ridhoNya untuk niat saya.

Dan, masih ada kejutan lainnya setelah silaturahmi manis itu. Pohon alpukat saya memunculkan banyak sekali putik-putik calon buah. Padahal, beberapa hari sebelumnya saya lihat-lihat, pohon itu masih lebat daunnya saja. Eh, sehari setelah nelpon mama, sorenya lihat sudah banyak bunga calon buahnya. Sebenarnya yakinnya sih, bunga itu sudah ada sebelumnya, hanya Allah masih memberi tabir pada pandangan mata kami sebelumnya. 

Berkaca dari silaturahmi saya dengan mama, saya bertekad, ingin membuat daftar silaturahmi yang ingin saya sambung, perbaiki, dan perkuat lagi. Tidak perlu menunggu, harus ada yang memulai, dan saya ingin memulainya. Sama halnya setelah silaturahmi lewat telpon ke mama, Allah membukakan tabir-tabir rahmat dan nikmatNya untuk saya, semoga kelak silaturahmi selanjutnya semakin membuka lebar  tabir-tabir kebaikan , rakhmat dan nikmat yang masih tertutup sebelumnya. Semoga, Insha Allah. Wallahua’lam .
 , 


 Tulisan ini diikutkan dalam  "GiveAway Indahnya Silaturahmi, Lavender Art






Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

17 komentar:

  1. selamat mba, tidak mudah menepis ego dan memberanikan diri untuk memaafkan terlebih adahulu dan mba Reni tea melewati hal itu dengan sukses, selamat

    BalasHapus
    Balasan
    1. ujian akan berlangsung seumur hidup, hanya akan berhenti saat nafas pun terhenti. jadi, saat ini ujian yg satu mungkin terlewati, namun ujian lainnya pasti akan ada lagi. makasih supportnya ya Mbak Nefertite

      Hapus
    2. benar sekali mbak santy, ujian seumur hidup dan kita harus menrimanya dan tidak bisa menghidar, yang ada harus kita jalani.

      Hapus
    3. betul, karena sejatinya hidup adalah ujian. hanya manusia cenderung suka lupa dan hanya ingat saat ujian berupa kesusahan yang mendera, ya khan..

      Hapus
  2. Bener mbak, ridho orang tua itu ridho Allah...

    BalasHapus
  3. Hiks...meleleh..semoga kita semua diringankan untuk silaturahim dengan siapa pun ya mak..terutama dengan keluarga...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mak Kania. Silaturahim dengan keluarega, layak diperjuangkan

      Hapus
  4. Terharu sekali membacanya mbak...tdk mudah memang memulai sesuatu apalgi meminta maaf, tp bl mengingat beliau ortu kita, memang selayaknya sebesar apapun sakit didada hrs diiklaskan... selamat ya...semoga kedepannya lebih baik & hangat lg...
    Terimakasih sdh berbagi cerita dalam GA saya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamin. semoga ke depannya, silaturahmi tetap terjaga, apapun masalahnya.

      Hapus
  5. uuhh nie juarany mbak Iro dalem banget sampe merinding saya...ridho nya orang tua adalah ridhonya Allah..uhh mantap mbak josh ini dapet hikmahnya thx ya mbak mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih. semoga tulisan ini bisa membawa manfaat, setidaknya, menginspirasi kita untuk menyambung dan memperkuatr silaturahmi

      Hapus
  6. Membacanya, sungguh saya merasakan betapa besar manfaat dari silaturahmi. Hati jadi bahagia berkat silaturahmi. Masalah pun terurai dengan sendirinya. Inilah kunci penting dari hidup sehat itu. Semoga sukses ya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin. Terima kasih ya, itulah salah satu kebaikan dari silaurahmi, mengurai masalah :)

      Hapus
  7. Terima kasih atas sharingnya Mba Rebellina Shanty. Saat ini saya meiliki hubungan yang menurut saya kurang baik. Saya sangat ingin memulai silaturahim tapi rasa malu masih menguasai...hiks...hiks...

    BalasHapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti