Apa istimewanya sih mukena yang dibelikan orangtua? Bukannya
memang kewajiban orangtua memenuhi kebutuhan anak-anak yang masih belum
mandiri, terutama kebutuhan spiritualnya?
Bagi saya, sangatlah istimewa, terutama karena mukena itu
dibelikan oleh papa saya (kini alm). Kenapa istimewa, karena selama ini, dari
saya kecil sampai saya balig, dan menjelang menikah, saya kerap ‘berdiskusi’
dengan papa saya mengenai agama yang kami anut. Papa saya yang menganut agama
lain sebelum menikah dengan mama, masih sering protes soal masalah Palestina
dan Israel. Beliau sangat mendukung Israel, sedangkan saya sebaliknya. Padahal
waktu itu pengetahuan saya sih masih seujung kuku soal Palestina dan Israel.
Hanya saja, dalam pikiran saya saat itu, tentu saya berdiri di sisi saudara
seiman saya, yang dalam hal ini berada di Palestina.
Ok lah, enggak usah bahas panjang lebar soal Palestina dan
Israel, karena masalah ini cuma satu dari sekian banyak perbedaan cara pandang
saya dengan orangtua. Enaknya diskusi dengan papa adalah kita berdiskusi dengan
cara yang elegan, artinya, sepakat untuk tidak sepakat, dengan cara yang
baik-baik.
papa saya sangat sayang dengan Syafa |
Di luar itu, jujur saja, latar belakang keluarga yang
multikultural membuat cara hidup keluarga kami sekuler banget. Tidak ada tuntutan
harus sholat 5 waktu setiap hari, apalagi sampai hukuman bila tidak menjalankannya.
Puasa di bulan ramadhan? Oh…, saya malah lebih sering masak sahur sendirian,
menjalankan ramadhan sendirian (terkadang adik perempuan yang beda usia 4 tahun
dari saya ikut berpuasa juga), namun bukanya rame-rame. Tapi saat Idul Fitri,
heboh banget menyambutnya. Terutama karena harus menerima tamu-tamu dari
keluarga Papa yang beda agama, dimana hidangan lengkap harus ada, plus bir
sebagai minuman yang wajib ada.
Kaget? Begitulah… Latar belakang keluarga papa yang berasal dari Menado yang biasa dengan hal tersebut, terbawa-bawa oleh papa walau sudah mualaf.(untunglah beberapa tahun belakangan, bir tidak lagi menjadi minuman yang wajib ada di rumah). Namun untuk Zakat Fitrah, papa saya rajin memenuhinya ke panitia pengumpulan zakat di dekat rumah.
Kaget? Begitulah… Latar belakang keluarga papa yang berasal dari Menado yang biasa dengan hal tersebut, terbawa-bawa oleh papa walau sudah mualaf.(untunglah beberapa tahun belakangan, bir tidak lagi menjadi minuman yang wajib ada di rumah). Namun untuk Zakat Fitrah, papa saya rajin memenuhinya ke panitia pengumpulan zakat di dekat rumah.
Tidak bermaksud membuka aib, tapi pelajaran yang paling
mahal adalah pengalaman sendiri bukan? Latar belakang tersebut yang menjadikan
mukena dari papa ini sangat istimewa untuk saya.
Waktu itu saya masih SMA, dan mendekati bulan ramadhan.
Papa tiba-tiba memanggil saya dan adik perempuan saya V. Ternyata papa kami
sedang memesan 2 telekung untuk saya dan V
kepada seorang temannya yang penjahit. Lengkap dengan bordiran di
pinggirannya. Kami ditanya mau pilih warna apa. Di kampung saya, mukena disebut
dengan telekung.
Karena tidak ingin sama, saya pilih pinggiran mukena dengan
bordiran warna biru, dan adik saya dengan warna merah. Pesanan datang seminggu
kemudian.
Senangnya bukan kepalang menerima mukena baru, dalam artian
baru dijahit, dan baru pertama kali pula dibelikan oleh papa saya. Selama ini
orangtua kurang perhatian terhadap kebutuhan perlengkapan ibadah kami. Jadinya,
mukena pertama yang dibelikan papa itu sangat berkesan banget buat saya. Saya jadi merasa, dibalik sikap papa yang
menurut saya agak frontal terhadap agama yang kami anut, ternyata masih ada
harapan untuk beliau menjalankan pilihan agamanya dengan tulus. Bukan karena
semata-mata pernikahan dengan mama saja. Alhamdulillah, beberapa tahun
menjelang wafatnya, beliau rajin belajar shalat dan bertanya ini itu soal Islam.
Jadilah ramadhan itu saya memakai mukena baru yang dibelikan
papa. Rasanya…, gimana gitu. Sukar dijelaskan, mengingat saya menganggap selama
ini papa tidak perduli dengan hal-hal yang menyangkut ibadah.
Sampai saya selesai kuliah, dan wirausaha, mukena pemberian
papa itu saya pakai terus. Warna biru pada pinggirannya pun sudah pudar, tapi
tetap saya gunakan, bahkan saya bawa ke Singapura saat saya lagi ikut tour
hadiah dari perusahaan pusat. Bukan soal tidak bisa beli yang baru, melainkan
selain bahannya yang lembut di kulit, dan adem, dan terutama mukena itu dari
papa!
Sayangnya, saat ikut suami tinggal di Bogor, mukena itu
tidak saya bawa. Waktu pulang kampung beberapa tahun yang lalu, saya lihat mukena
itu masih terlipat rapi di dalam lemari. Tidak ada yang menggunakan, sehingga
lipatannya meninggalkan noda kuning. Lagi-lagi saya lupa membawanya ikut serta
ke Bogor saat pulang kembali.
Kini papa sudah tiada. Diantara kenangan manis yang dia
tinggalkan dalam benak saya, salah satu yang membekas ya tentang mukena ini.
Belajar dari pengalaman masa lalu saya, dalam menjalankan roda rumah tangga dan
mendidik anak-anak, landasan agama adalah yang utama. Untuk itu kami menerapkan
aturan yang ketat mengenai kewajiban
utama umat Islam ,dengan sejak dini
mengharuskan anak-anak sholat dan puasa, membiasakan sedekah dan berbagi, serta
membaca Alqur’an. Tak hanya itu, perlengkapan ibadah juga harus kami sediakan,
seperti sajadah, mukenah, buku Iqro untuk belajar mengaji, serta Alqur’an danlainnya yang mendukung semangat mereka mengkaji Islam.
Makanya, tatkala mukena Aisyah sudah lepas karet pengikat kepalanya,
saya pun mencoba membuat yang baru dengan menjahitnya. Jujur saja, saya kurang
mahir menjahit, tapi saya usahakan karena belum berkesempatan membelikan Aisyah
mukena yang baru saat itu. Alhamdulillah.., Aisyah punya mukena baru buatan
bundanya, dan dia senang memakainya.
Walau kini Aisyah juga punya mukena baru yang lain hadiah
dari Uminya (kakak suami), mukena buatan saya masih sering juga dipakainya.
Semoga semakin sholeha ya, Nak…
Semoga menang dalam event giveaway menyambut ramadhan.
BalasHapusamiin. harapannya sih begitu, hehehehe
HapusSubhanallah, pengalaman yang menyentuh mb...
BalasHapusiya, saya sampai kini mengenangnya karena itu
HapusMukena penuh kenangan ya, Mbak... :'
BalasHapusDi Pontianak juga sering disebut telekung.. :) Semoga sukses ya GA nya...
Mbak, aku lihat bahasa di kalimantan, riau dan medan enggak jauh beda. mungkin karena melayu, ya Mbak?
Hapusbenar-benar mukena penuh kenangan...semoga menang GAnya yaaa..
BalasHapusIya, makasih...pengennya sih menang hahahaha:)
HapusCeritanya bagus mba...menyentuh
BalasHapusbukan fiksi...dan saya pun masih mengenangnya jelas
Hapuscerita yg mengharukan mak, dan pastinya tak akan pernah terlupakan ya...
BalasHapusbetul, terkenang sepanjang hayat
HapusMukena bersejarah ya mb..., mukena pertama saya malah entah kemana....
BalasHapuskalau mukena pertama sama juga, entah kemana :)
Hapusmukena yang penuh kenangan ya mbak..
BalasHapusbetul mbak, sangat penuh kenangan
Hapussemoga mukena itu menjadi syafaat utk alm papa ya mba, aamiin..
BalasHapusamin. mudah-mudahan menjadi bagian dari amal yang mengalirkan pahala untuk beliau
HapusAlhamdulillah ya mak..papa di akhir hayatnya rajin ibadah. Semoga husnul khatimah.
BalasHapusamiin. berharapnya begitu mbak Kania
Hapus