Panggil namanya Pak Kliwon (nama samaran). Sosoknya kurus
kecil, dan berkulit hitam. Rambutnya selalu disisir klimis dengan minyak rambut
cap Mandom ( aku hafal betul baunya,
karena kakekku juga pakai Mandom). Dan kalau berpakaian rapih sekali,
menampakkan bekas lipatan strikaan pada celana panjangnya. Penampilan Pak
Kliwon sebenarnya biasa saja, seperti orang yang lainnya. Tapi yang tidak biasa
adalah tatapan matanya yang mencorong
dingin, ditambah sikapnya yang tidak hanya dingin tetapi juga kaku terhadap orang lain. Pak
Kliwon pelit akan kata-kata. Apalagi terhadap
anak-anak, seperti padaku yang mengenalnya sejak usia 6 tahun . Aku
pernah terbirit-birit kabur dari hadapannya saat dengan mata mencorongnya dia
menegurku yang masuk ke bagian tengah rumahnya tanpa sengaja.
Aku tahu Pak Kliwon ini karena nenekku dan mamaku menyewa masing-masing sepetak kamar di belakang rumah mereka. Beliau kerja di suatu perusahaan perkebunan.
Istrinya dipanggil dengan Nek Wiji (nama samaran juga). Kalau Nek Wiji lumayan
ramah terhadap siapa pun, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Pak
Kliwon. Rumah yang kami tempati itu termasuk rumah tua, dibangun sekitar tahun
1960-an dan bisa dibilang rumah paling
tua di jalan P tempat aku tinggal di Medan .
Rumah tua ini memiliki
5 kamar, dan kami menyewa 2 kamar di antaranya yang terletak di area
belakang, dekat dengan dapur dan kamar mandi. Kamar mandi masih menggunakan
sumur yang menggunakan timba . Bagi yang tidak tahu timba, timba adalah ember kecil
yang diikat pakai tali, digunakan untuk mengambil air dari dalam sumur. Tiga kamar lainnya terletak di sisi kanan dan
kiri rumah, yang berbentuk lorong menuju ke ruang depan sekaligus ruang tamu. Aku sangat tidak suka bila disuruh nenek
untuk ke ruang depan (kalau ada keperluan dengan Nek Wiji), karena harus
melewati lorong tersebut. Selain gelap,
aroma lembab dan suasana dingin kerap menyergapku saat melewati lorong yang
panjangnya cuma sekitar 5 meteran
tersebut.
Pak Kliwon dan Nek Wiji memiliki 5 orang anak, namun hanya
satu yang tinggal bersama mereka, yakni anak perempuan bungsunya, karena yang
lain sudah menikah dan tinggal di tempat yang berbeda. Usianya berbeda sekitar
10 tahunan dariku. Kita sebut saja dengan Mbak Dewi. Mbak Dewi ini sosoknya cantik, kalem, dan
ramah. Rajin sholat dan baca al-Qur’an tiap malam. Dari bilik kamar kami, aku sering
mendengarnya mengaji dengan suaranya yang merdu.
Dilingkungan kami ini sudah sering terdengar rumor bahwa Pak
Kliwon ini ngelmu (menganut ilmu) tertentu dan memelihara ‘jin’. Bahkan beliau
ini dikatakan hanya mandi setahun sekali, sesuai syarat ilmunya. Kalau soal
kebenaran memelihara jin, Wallaahua’lam.
Tapi masalah keyakinan, memang Pak Kliwon ini aneh. Selain tidak pernah
melihatnya sholat Jumat atau paling tidak sholat hari raya Idul Fitri atau pun
Idhul Adha, seperti yang pernah mamaku ceritakan bahwa Pak Kliwon pernah
menantang siapa pun untuk membuktikan bahwa surga dan neraka itu ada
.
“Saya tidak percaya surga atau neraka itu ada!” katanya.
“Kalau benar ada, siapa yang pernah datang ke sana dan kembali lagi ke sini
untuk bersaksi bahwa surga dan neraka itu ada?” lanjutnya lagi dingin, sedingin
tatapan matanya yang mencorong.
Selama aku tinggal di situ, aku memang tidak pernah melihat
penampakan-penampakan aneh, walau tetap saja ada perasaaan tidak enak di lorong
rumah tersebut. Tetapi, hampir setiap bulan, ada peristiwa kerasukan terjadi di
rumah itu, dan justru menimpa putri bungsu Pak Kliwon, yakni Mbak Dewi. Kalau
sudah kerasukan, Mbak Dewi mengeluarkan suara berat seperti suara kerbau
yang disembelih.
“Hrg...Hrg...Hrg...” seperti itulah bunyinya. Dan Mbak Dewi yang kalem dan lembut itu,
mendadak berubah menjadi sosok yang kasar dengan tenaga yang hanya mampu
dilawan oleh 3-4 orang laki-laki dewasa.
Aku pernah menyaksikan sendiri bagaimana Mbak Dewi saat
kesurupan itu dipegangi oleh tetanggaku sebanyak 4 orang laki-laki, dan seorang
diantaranya memjit jempol kakinya sambil bicara tegas,”Keluar! Kamu harus
keluar dari tubuh ini!”. Kelanjutannya aku tidak tahu, karena nenekku langsung
menarik tanganku untuk kembali ke kamar.
Kalau lagi kumat kerasukannya, seringnya aku dan adik-adik meringkuk di kamar
ketakutan, sementara orang ramai datang mencoba menolong. Sekitar 1 – 2 jam
kemudian baru keadaan Mbak Dewi bisa dipulihkan. Dan kejadian itu selalu
terulang, minimal sekali dalam sebulan.
Kata tanteku, ada makhluk tinggi besar, hitam dan berbulu dengan mata merah seperti bola api
yang nongkrong di atas lemari di kamar
Mbak Dewi. Tanteku ini memang biasa kami sebut dengan mata setan, karena mampu
melihat penampakan mg (mahkluk ghoib).
Kami pindah dari rumah itu saat aku kelas 4 SD. Pindahnya
juga masih sekitar situ, tidak berapa jauh dari rumah Pak Kliwon. Kurun waktu
beberapa tahun, karena sudah tidak tinggal serumah lagi, aku tidak tahu
peristiwa apa saja yang terjadi di rumah tersebut. Sampai kemudian saat aku
SMA, terdengar berita Pak Kliwon sakit
parah.
Rupa-rupanya sakit Pak Kliwon ini sudah sangat parah,
sampai-sampai untuk memudahkan orang yang menjenguknya beliau ditempatkan di
ruang depan sekaligus ruang tamu. Beralas kasur yang diletakkan di lantai, Pak
Kliwon seperti orang sedang menantikan sakratul maut. Istri dan anak-anaknya berkumpul di dekatnya
sembari membisikkan sesuatu di telinganya. Aku yakin, pastilah syahadat,
sebagaimana harusnya penganut Islam lakukan.
Malam itu, malam yang masih kuingat jelas dibenakku, karena
aku menyaksikannya langsung, kondisi Pak Kliwon benar-benar sudah parah.
Tetangga sebagaimana lazimnya pun mulai berdatangan membezuk. Walau pun Pak
Kliwon kurang disukai tetangga karena sikapnya yang angkuh dan dingin, tetapi
Nek Wiji dikenal cukup baik dalam bergaul. Jadi cukup wajar warga yang datang
membezuk karena menghargai Nek Wiji.
Nafas Pak Kliwon sudah satu-satu dan terasa berat. Matanya
terbuka lebar menatap langit-langit di ruang tamu rumahnya. Kursi-kursi sudah
disingkirkan ke sudut ruangan, untuk memberi ruang yang cukup lapang bagi warga
yang datang membezuk. Dada Pak Kliwon yang kurus terlihat naik turun seirama
dengan nafasnya yang kepayahan. Sepertinya kondisi Pak Kliwon sudah payah,
karena Nek Wiji terus-terusan menangis, sementara keempat anaknya (yang satu
tinggal di Surabaya), sudah berkumpul mengelilingi Pak Kliwon.
Sekali-kali Nek Wiji mengucapkan sesuatu di telinga Pak
Kliwon. Walau samar, aku masih cukup mendengar Nek Wiji mengucapkan, “Pak
eling,Pak..eling...” Eling itu dalam bahasa Jawa artinya ingat, maksudnya ingat
Tuhan.
Diantara pembezuk ada yang mengusulkan agar anak-anak Pak
Kliwon membaca Qur’an di sisi Pak Kliwon. Tujuannya baik, agar yang sakit
tentunya bisa terus mengingat Allah, sehingga kalau pun meninggal,insya Allah
berujung pada husnul khatimah. Saran itu diterima oleh keluarga Pak Kliwon.
Maka Mbak Dewi dan
beberapa kerabat keluarga pun mulai duduk di sisi Pak Kliwon dan membaca Qur’an.
Surat Yassin, kalau aku tidak salah ingat. Baru beberapa ayat di baca,
tiba-tiba terdengar kegaduhan. Ini peristiwa yang masih terekam jelas di
ingatanku.
Mata Pak Kliwon yang semula nyalang memandang ke
langit-langit ruangan, tiba-tiba menoleh ke arah yang membaca Qur’an. Dari
mulutnya keluar suara geraman (seperti geraman hewan yang marah) yang keras,
dan matanya itu..., sungguh, aku tak akan melupakan sepasang mata yang menyorot
penuh kemarahan, dan merah! Bola mata
Pak Kliwon membelalak lebar dan bagian putihnya
dipenuhi garis-garis merah sehingga nyaris bola mata Pak Kliwon terlihat
berwarna merah darah. Aku yang duduk di dekat pintu keluar kaget dengan situasi
yang tak terduga ini, begitu juga dengan yang lainnya di dalam ruangan ini.
Semakin lantunan Qur’an di keraskan, semakin terlihat marah Pak Kliwonnya. Geraman yang
keluar dari mulutnya semakin keras dan matanya yang merah semakin melotot ke luar. Tubuhnya yang
ringkih seperti berusaha hendak bangkit. Geraman itu lebih mirip suara hewan
buas yang sedang terjebak dalam keadaan terluka. Semakin lama geraman itu
semakin keras, sehingga membuat keriuhan di dalam ruangan. Bacaan Qur’an
semakin dikencangkan bercampur tangisan keluarga, sementara di luar rumah,
kegaduhan itu membuat tetangga berdatangan.
Isak tangis keluarga seiring kalimat thoyibah yang diucapkan di telinga
Pak Kliwon tak membuat suasana membaik. Pak Kliwon tetap dalam kondisi semula,
mata merahnya melotot lebar dan mulutnya mengeluarkan geraman marah!
Menghindari malu, pihak keluarga kemudian menutup pintu dan
urun rembug untuk penanganan masalah Pak Kliwon selanjutnya. Sebelum keluar,
samar-samar aku mendengar ada seseorang
yang bicara agar mencarikan air comberan yang benar-benar kotor untuk diminumkan ke Pak Kliwon. “Yang kotor
harus dikeluarkan dengan yang kotor..” begitu yang terdengar. Ketika kuminta
penjelasannya dari nenek, nenekku bilang, orang yang menganut ilmu tertentu
(baca:ilmu ghaib), akan susah matinya sebelum ilmu itu keluar dari tubuhnya. Dan
cara ilmu itu bisa dikeluarkan, tergantung ilmu itu jenis apa, apakah ilmu
hitam atau sebaliknya.
Akhirnya Pak Kliwon di bawa ke rumah sakit. Aku tidak tahu,
kebijakan ini diambil karena menghindari malu, ataukah benar-benar mencari
kesembuhan untuk Pak Kliwon. Tapi beberapa jam kemudian, terdengar berita bahwa Pak Kliwon telah berpulang ke Rahmatullah.
Pihak keluarga pun mempersiapkan kedatangan jenazah. Namun
di tunggu-tunggu, sampai 2 jam lebih sejak kabar terakhir berita meninggalnya
Pak Kliwon diterima, tetap juga belum ada tanda-tanda mobil pembawa jenazah
akan tiba. Padahal, jarak normal antara rumah sakit dan rumah hanya memakan waktu 30 menit. Saat itu belum
ada telepon selular, jadinya diutus seseorang
dengan naik motor untuk mencari tahu masalahnya apa.
Sekitar 30 menit sejak utusan dikirim, barulah mobil pembawa
jenazah tiba. Sang supir mengatakan bahwa keterlambatan ini karena ban mobil
gembos. Dan itu terjadi dua kali. “Seumur-umur bawa mobil jenazah, baru kali mengalami dua kali pecah
ban,” kata sang supir. “Dan bawaan mobil rasanya berat banget, sehingga mobil
lajunya lambat,” sambungnya.
Tidak berhenti sampai di situ. Saat pemakaman dan jenazah
telah di bawa ke pemakaman, tiba-tiba seseorang tergopoh-gopoh mendatangi rumah almarhum dan mencari-cari
papan penutup mayit (di liang kubur)
karena ternyata papan penutup mayit yang di bawa ke pemakaman kurang. Apakah kekurangan papan penutup
mayit di liang kubur itu karena terlupa di bawa atau hal lain, wallaahua’lam.
Semenjak pemakaman sampai beberapa waktu kemudian, peristiwa
ini ramai dibincangkan warga. Tentunya tidak terang-terangan. Dan entah mengapa situasi yang ada kemudian
terasa mencekam, sehingga untuk beberapa waktu jalanan di desa tempatku tinggal
akan mendadak sunyi begitu malam
menjelang. Padahal sebelumnya tidak. Ada
beberapa minggu lamanya sebelum keadaan berubah normal kembali.
Aku tidak tahu rumor apa yang berkembang di luaran terkait
kejadian malam itu. Tapi, peristiwa yang kusaksikan dengan mataku menjadi
pelajaran berharga untuk diriku. Bagaimana kita akan berakhir, apakah husnul khatimah atau sebaliknya, tergantung
apa yang telah kita lakukan sepanjang hidup kita. Dan apakah Pak Kliwon husnul khatimah atau
sebaliknya, bukanlah hakku untuk menilai. Semoga kisah ini dapat dipetik
hikmahnya. Wallaahua’lam.
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya". (QS Al-An’am 6:93)
"(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); “Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun”. (Malaikat menjawab): “Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan”. Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu". (QS, An-Nahl, 16 : 28-29 )
Innalilahi mba, semoga menjadi pelajaran ya buat kita semua
BalasHapusceritanya kaya di majalah hidayah hehe, coba dikirim aja mba kesitu ^^
iya Mbak. pelajaran yang berharga buat yang mau mengambil hikmahnya, terutama buat saya sendiri. terima kasih sudah mampir, dan salam kenal :)
BalasHapuswah ini bisa jadi ikhtibar bagi kita agar selalu berada di jalanNYA, iya mba Rebellina masukan ke majalah Hidayah, Hikayat atau sejenisnya :)
BalasHapusjadi masukan nih buat ngirim ke majalah yang dimaksud. tapi apa syarat-syaratnya ya? terima kasih Mbak sudah mau mampir , dan salam kenal
HapusCeritanya keren Bu.....komentar pembaca diminta gak ya? he2....coba ibu beri klimaks/atau malah anti klimaks dari cerita di atas, jd lebih terasa "greng"nya....selain itu udah bagus semuanya, pilihan kata2nya aku suka, luwes deh cara berceritanya....jempol buat dirimu!!
BalasHapusWah senangnya dirimu berkenan mampir, Bu. Ma kasih nih atas masukannya. Aku memang kesulitan dengan endingnya. pengen nambah-nambahin biar greng, tapi takut malah mengada-ada di luar kisah aslinya. jadinya, ya begini..., but, ntar kalau nulis lagi, aku akan praktekkan usul dirimu ya Jeng. gimana proyek kita?
Hapushehehe setuju dengan Mbak Rima Farananda, kurang greng, secara kita2 ini terbiasa mendengar dan melihat orang2 yang terlibat dengan ilmu ghaib...
BalasHapusdirimu berbakat ya :)
berbakat apa nih Bu? kalau dibilang berbakat nulis, saya senang deh, heheheeh. Terima kasih atas apresiasi dan masukannya ya :)
Hapuspelajaran yang berharga...
BalasHapusbener sekali Mbak. sejatinya, kehidupan ini setiap detiknya merupakan pelajaran yang berharga. terima kasihudah mampir yaa
Hapussemoga kejadian ini jadi pelajaran untuk kita semua, semoga kita dapat kembali kepada-NYA dalam keadaan husnul khatimah. Amin
BalasHapusAamiin. Kembali dalam keadaan husnul khatimah adalah impian setiap muslim. semoga terkabulkan.
HapusWah mba berceritanya seperti sedang membaca novel 👍. Terima asih ilmunya mengingatkan kita tentang hari pulang
BalasHapussama-sama, semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya
Hapusya Allah, semoga kita semua berakhir dengan husnul khatimah
BalasHapusamiin. berharap kita semua husnul khotimah ya
HapusMba, aku membaca tulisan ini jadi ikut degang dan membayangkan kondisi saat itu ketika berada di dekat Pak Kliwon. Naudzubillah, semoga tak terjadi pada diri kita sekeluarga dan keluarga Pak Kliwon mampu mendoakan untuk Pak Kliwon ya. Aamin. Makasih sudah berbagi mba
BalasHapusbetul Mbak. aku mampu menuliskannya, karena saat itu aku lihat sendiri
HapusAku bacanya sambil membayangkan bagaimana situasi saat pak Kliwon sakaratul maut...ya Allah, kebayang gimana keluarganya menghadapi situasi kyk gitu
BalasHapusentahlah.., campur aduk mungkin. berharap kita semua husnul khotimah ya
Hapus