Mengajarkan Ketrampilan Hidup Pada Anak

Sebagai orangtua, sama halnya dengan orangtua yang lainnya, tentunya saya ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak saya.  Salah satunya adalah pendidikan. Bagi saya dan suami, pendidikan untuk anak-anak adalah prioritas utama, sejajar dengan kebutuhan primer keluarga. Dan pendidikan utama untuk anak-anak kami adalah pendidikan agama, beserta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.


Saya dan suami, ternyata satu pandangan dalam menilai pentingnya pendidikan untuk anak, yakni tidak menjadikan pendidikan itu semata-mata sebagai bekal mencari penghidupan untuknya, alias sebagai alat mencari nafkah. Tetapi terutama sebagai ilmu yang menambah pengetahuan dan wawasannya dalam meniti kehidupan kedepannya. Untuk sumber penghasilannya, saya dan suami menekankan pentingnya anak-anak kami untuk menguasai life skill, atau kami menyebutnya ketrampilan hidup, yang bisa dia gunakan kapan saja, dimana itu saja, dan dalam kondisi apapun.

Karena pemikiran itu pula kami tidak terlalu mengutamakan ranking  dalam pendidikan putri kami yg saat ini duduk di kelas 5 SD. Kebetulan pula sekolahnya memang tidak menerapkan pencantuman sistem ranking di rapotnya. Yang kami tekankan padanya adalah untuk mengupayakan yang terbaik yang dia mampu. Seperti yang sering kami tekankan, “Kalau kamu mampu meraih nilai 10, mengapa membiarkan dirimu cuma dapat nilai 8?” Namun bukan berarti pula kami miskin pujian untuk setiap upaya terbaik yang telah dia lakukan. Intinya, berapa pun nilai yang dia peroleh, sejauh itu upaya terbaiknya, kami tetap memberikan apresiasi untuk usahanya.

Motivasi seperti itu berhasil. Tahun demi tahun nilai-nilainya semakin bagus, tanpa kami memaksa dia harus belajar mati-matian, apalagi mengikutkannya pada les tambahan ini itu.  Yang kami bimbing dalam metode pembelajaran untuknya adalah; rajin membaca (bidang non eksakta), dan latihan menyelesaikan soal-soal, untuk bidang eksakta. Sejauh ini semua berjalan lancar dan guru pun memuji kemampuan putri kami menyerap pelajaran, mengingat dalam satu semester absennya bisa di atas 20 hari. (Putri kami ini sering absen sekolah karena fisiknya kurang fit). Angka-angka di rapornya kemaren menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Tidak ada angka di bawah 8,kecuali satu, yakni untuk mata pelajaran pendidikan jasmani .

Untuk bekal hidupnya di masa depan, kami lebih menekankan pentingnya bagi anak-anak untuk menguasa lifeskill, atau ketrampilan. Ketrampilan berbahasa asing dan komputer sesuatu yang mereka sudah kami  terbiasa lakukan sejak kecil, karena kebetulan suami memang pekerjaannya berkaitan dengan komputer dan bekerjanya juga di rumah. Sedangkan urusan pengenalan bahasa asing, saya dan suami sesekali menggunakan bahasa Inggris saat berbicara dan bahasa Arab saat membaca Qur’an dan mengkaji kajian Islam. Alhamdulillah, untuk bahasa Arab, Inggris, dan komputer, anak-anakku tidak mengalami kesulitan, setidaknya untuk tahap pengenalan. Mengoperasikan komputer sudah bisa dilakukan sejak usia mereka 2 tahun lebih. Begitu juga pengucapan bahasa Inggris lewat lagu anak-anak, dan bahasa Arab lewat ayat-ayat pendek Alqur’an. Kuncinya adalah pembiasaan dan latihan.

Lifeskill tidak melulu soal ketrampilan berbahasa diluar bahasa Ibu dan komputer. Bagi kami life skill yang paling utama  adalah kemampuan anak bersikap tangguh sejak dini. Menanamkan sikap tangguh terhadap kehidupan pada anak sejak dini butuh kesabaran tingkat dewa (lebay deh). Dimulai dari melatih kemandirian. Kemandirian bukan hanya sekedar mampu mandi,pakai baju, atau makan sendiri. Tetapi bagaimana juga anak terlatih untuk bekerjasama, bersikap empati dan simpati terhadap orang lain, rajin, punya inisiatif, kreatif, memecahkan masalah, dan bersosialisasi.

www.rebellinasanty.blogspot.com
Si Bungsu, 3 tahun, belajar nyapu

Mengapa saya katakan itu bagian dari lifeskill? Karena pembentukan karakter anak yang sejak kecil sudah diajarkan untuk bisa bersosialisasi, bekerjasama, bersikap empati dan simpati, rajin, punya inisiatif dan kreatif, itu akan sangat membantunya untuk bisa bertahan dikehidupan nyata saat dia dewasa kelak.
Untuk mengajarkan ketrampilan hidup itu tak perlu sampai harus mengikutkan anak di sekolah kepribadian. Bagi kami, caranya adalah dengan melibatkan anak-anak pada setiap aktivitas yang kita lakukan hari-hari. Kebetulan saya memang tidak bekerja di luar rumah, dan juga tidak memiliki pembantu rumah tangga. Karenanya, saya melatih buah hati untuk terlibat dalam setiap aktivitas di rumah sesuai kemampuan mereka. Membersihkan kamar, merapikan buku-buku, meletakkan sampah pada tempatnya, meletakkan baju kotor di keranjang cucian, bahkan menyapu dan menyuci piring  kotor pun sudah saya biasakan untuk mereka lakukan sejak dini.

Aktivitas harian ini bukan semata melatih kemandirian mereka saja, tetapi juga menumbuhkan sikap empati, simpati, rajin, dan kepedulian terhadap sekitarnya. Kelak di masa depan, bila mereka harus jauh dari kami, mereka sudah terbiasa mandiri dan tidak menyulitkan siapa pun.

Ketrampilan hidup lainnya yang sangat perlu ditanamkan dari sejak kecil adalah, menemukan minat utama di diri mereka, yang bisa dikembangkan menjadi sumber penghidupan, dan tidak tergantung pada faktor ijazah akademis. Misalnya, hobi memasak, kerajinan tangan, menjahit, berkebun, utak atik mesin, dan banyak lagi. Sangat penting menguasai salah satu ketrampilan hidup yang ditekuni secara serius. 

Cara mengetahui minat anak adalah dengan kita mencontohkan sendiri. Misalnya, saya suka membeli peralatan untuk prakarya, berupa benang, jarum, kain strimin, kain flanel, pita-pita, aneka manik, dsb. Lalu, saya buat ketrampilan sederhana di hadapan anak-anak. Dan saya perhatikan, diantara anak saya mana yang mempunyai minat lebih terhadap aktifitas tersebut.

Begitu juga dengan aktifitas yang lain, seperti memasak dan buat kue. Dari situ, saya bisa mengetahui kecenderungan anak saya ke mana, walau bisa saja minat mereka berubah-ubah kelak. Paling tidak saya sudah memberi sudut pandang baru di kehidupan mereka, tidak melulu menjejalkan pendidikan berbasis nilai saja.

Saya sering melihat di sekitar saya, dalam kehidupan nyata orang-orang terdekat saya, bagaimana anak yang didik sejak kecil dengan memenuhi segala kebutuhannya, dimotivasi untuk meraih prestasi akademik dan prestasi membanggakan secara duniawi, tapi tanpa dilatih untuk menjadi generasi yang tangguh siap uji dalam berbagai cobaan kehidupan,  kemudian besarnya tumbuh tanpa menjadi ‘apa-apa’, kecuali dengan latar belakang sederet prestasi berupa nilai tinggi di atas kertas.  Anak generasi manja, demikian saya menyebutnya, tumbuh kemudian dengan minim kreatifitas,  passif terhadap perubahan, serta cenderung bersifat menunggu.

Ah.., saya sendiri tak tahu ke depannya anak saya akan bagaimana nantinya. Tapi setidaknya, sejak kini, selain penanaman akidah dan pemahaman agama beserta contoh nyata dari kami selaku orang tuanya, juga kami berusaha sudah menanamkan ketrampilan hidup dan  sifat-sifat tangguh kedalam diri mereka kelak, sebagai bekal bagi mereka untuk meniti masa depannya.




Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

15 komentar:

  1. Bener bgt mak...sy dan suami jg kerja dirmh,jd dia tau apa sj yg dikerjakan ortunya, dia menyukai IT spt bpknya & menyukai memasak & craft spt sy, yg terpenting pendidikan akidah & akhlaknya, dr kecil sekul di umum,SD ikut exkul melukis,smp gabung dg PMR,membuat empati & sosialisasinya tumbuh dg baik, wkt smu sy masukkan pondok, krn mnrt km diwkt2 usia itu anak bth dorongan spiritual yg kuat, krn dimasa itu gelombang pengaruh luar sgt bsr apalg jaman skrg. Semoga anak2 kt menjd pribadi yg tangguh,mandiri & punya empati ya mak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, mak. fondasiyang harus kuat ditanamkan adalah agama, terutama akidah dan akhlaknya. kalau itu sejak awal berantakan, maka ilmu seluas lautan yang dimiliki anak, jadi tidak membawa kebaikan. ya enggak?

      Hapus
    2. iya mak...betuuuuull banget...

      Hapus
  2. Kadang nggak sabar pengen punya momongan dan ajarkan banyak hal...

    :)

    Apalagi pas baca postingan mbak ini... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. berarti mbakdiberi kesempatan oleh Allah untuk banyak menimba ilmu dan menikmati masa pacaranlebih lama dengan suami, hehehe

      Hapus
  3. komplit mba.. masih banyak yang harus arin pelajari dan lakukan bersama Amay ya? hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh iya, Rin. justru saat dia masih kecil, menanamkan hal positif itu sangat bermanfaat kelak untuknya. aku suka komenmu di salah satu postingan fb ttg membiarkan anak melakukan sesuatu, walau untuk itu kita agak repot setelahnya. kalau sekali dilarang, jadinya dia malah malas melakukannya lagi (postingannya lupa yg kapan)

      Hapus
    2. itu di IIDN juga mba, ada yang tanya tentang kemandirian (mba ika). ehiya, itu jd ide tulisan untuk dikirim lagi, hehehe... udah sepakat jg sama mba ika, wkwkwk

      Hapus
  4. setelah menanamkan akidah, ibadah dan akhlak yg itu dilakuakan sepanjang umur, anak-anak juga dilatih untuk selalu bertanggung jawab, diberi kesempatan untuk menambil keputusan dan aktualisasi diri.
    kita bisa berbagi, anak saya 6 orang, Alhamdulillah setamat sltp mereka sdh bisa dilepas, mandiri, merantau jauh, bahkan yang kedua usia 16 dpt beasiswa belajar ke Turki.
    Menanamkan life skill tidak mudah, bagaimana kita menanamkan kepada anak kemandirian, tanggung jawab, berani n trampil mengambil keputusan, pandai bernegosiasi, dsb

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, saya harus lebih berguru lagi kepada Ibu Neny Suswati, karena pengalamannya jauh melampaui saya. memang, melatih anak mandiri itu walau tidak mudah, hasilnya sangat berguna untuk hidupnya sendiri juga ya Bu, dan tentu meringankan kita juga

      Hapus
  5. kalau anak punya ketrampilan, setidaknya dia sudah punya bekal untuk ke depannya, ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak. itu yang sedang kami tanamkan, diluar pendidikan formalnya

      Hapus
  6. Saya sependapat Jeng
    1. Pendidikan adalah untuk menuntut ilmu bukan mengejar ijasah, apalagi mendewa-dewakan sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
    2. Orang berilmu derajatnya tinggi.
    3. Niatkan menuntut ilmu utuk ibadah agar barokah dan tetap pada koridor yang benar.
    4. Anak2 juga busa diarahkan ueyukm mempunyai hobi yang bermanfaat, syokur jika kelak bisa menjadi alat untuk menjemput rezeki.
    5. Di atas segalanya moral dan akhlak mereka harus dibina sejak dini.
    Salam hangat dari surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh, maaf beberapa salah ketik

      Hapus
    2. ya Pakdhe. suka miris saja melihat paradigma pendidikan jaman sekarang. soal typo, gpp. saya juga biasa begitu.

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti