Aku berjalan tidak tahu arah. Semua yang kulihat hanya hapmparan kosong semata, dan aku sendirian. Tak ada satu pun benda-benda yang kukenal yang kutemui dalam perjalanan ini. Bahkan yang kupijak pun aku tak yakin bisa di sebut tanah. Padang pasir? Juga bukan. Aku bahkan tak bisa menemukan bayanganku dan jejak-jejak langkahku di tempatku berpijak..
Kebingungan, putus asa, serta ketakutan membungkus diriku seutuhnya. Apa yang terjadi pada diriku? Dimanakah aku? Tempat apa ini?
Frustasi menjalari pembuluh darahku. Aku ingin menangis, tapi..tenggorokanku tercekat, dan mulutku terkunci. Aku ingin duduk, tapi kakiku diluar kendali terusa melangkah tak tentu arah, sampai sebuah suara memanggilku dari kejauhan,”Ana…Ana…”
walking nowhere, ilustrasi, sumber di sini |
Namaku Diana, dan aku biasa dipanggil Ana. Hanya seorang kakak perempuan yang kupunya, dan namanya Ayu. Aku punya kembaran perempuan juga, 2 orang abang, dan 2 orang adik lak-laki.
Hidup tidaklah mudah sejak kami kecil. Orang tua yang berpisah, dan kedaan ekonomi yang morat marit membuat kami tercerai berai dalam pengasuhan. Aku sendiri justru baru tahu kalau aku dilahirkan kembar setelah usiaku menjelang remaja. Betapa menyedihkan saat fakta itu kami ketahui setelah bertahun-tahun kembaranku itu memperlakukan kami layaknya pembantu. Ya, kembaranku beserta adik bungsuku diasuh oleh kakak ibuku yang berlagak keturunan priyayi. Dialah yang mendidik anak-anak angkatnya untuk memperlakukan kami sebagai pembantu. Demi rahasia kotornya agar tak terbongkar. Apa itu rahasianya? Akan kuceritakan di kisah lainku.
Kulewatkan saja kisah masa kecilku yang kelam. Tak enak rasanya membongkar arsip lama di memoriku, hanya untuk menorehkan luka. Tapi, menulis katanya bisa menyembuhkan. Sayang, aku tak bisa menulis kisahku sendiri. Aku tak pandai menulis cerita. Jadi, kuijinkan penulis ini menyampaikan apa yang kuhadapi dengan gayanya sendiri. Semoga jadi pembelajaran hidup untuk yang membacanya.
Usia 14 tahun aku sudah bekerja, di salah satu salon ternama di kota M. Salon ini spesial khusus buat bapak-bapak pejabat , usahawan, dan orang-orang mapan. Tidak berat kerja di sana, cukup belajar sejenak bagaimana mencuci rambut yang baik, memberi warna untuk menutup uban, dan korek kuping. Gajinya tidak seberapa, tapi tipsnya, wow. Sekali dapet tips dari pelanggan bisa menutupi biaya hidup sebulan. Namun jangan anggap salon ini menyediakan jasa XXX. Sangsinya sangat berat bila ada kasryawan yang menawarkan diri untuk jasa tersebut. Pecat! Begitupun, tetep saja ada karyawan yang melakukan sampingan tersebut . Tentunya tanpa sepengetahuan manager salon.
Alhamdulillah.., sepanjang bekerja di sana, aku tak terjerumus dalam hal begituan, walau godaannya luar biasa. Apalagi wajahku, manis katanya. Rayuan dari laki-laki berkantong tebal, dari mulai tawaran ini itu sampai pernikahan bawah tangan dengan jaminan kemapanan, tak menggoyahkan imanku. Selain iman, aku mampu bertahan karena kakakku yang menjagaku selalu, karena kami bekerja di tempat yang sama. Juga karena hatiku telah tertambat pada seoranng laki-laki yang terpaut lumayan dari usiaku. Beda usia kami 7 tahun.
Saat usiaku 18 tahun, aku menikah dengan laki-laki yang telah memberiku anak 6 saat ini.
Saat menikah dengannya, inilah mula dari petaka itu. Suamiku, walau masih memiliki orang tua kandung , ternyata juga menjadi anak angkat kesayangan dari sepasang suami istri yang punya banyak harta. Namun hartanya sudah dibagi-bagi ke seluruh anak angkatnya, kecuali suamiku dan seorang anak angkat perempuan lainnya. Yang tersisa dari harta pasangan suami istri tersebut adalah sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan , dan diwasiatkan untuk ditempati oleh suamiku dan anak angkat perempuan lainnya .
sekedar ilustrasi. sumber di sini |
Karena itulah, saat awal menikah, suamiku memboyongku ke rumah tersebut. Ibu angkatnya saat itu sudah meninggal dunia, yang tinggal sang bapak angkat yang dipanggil Mbah Rus. Sedangkan kakak angkat perempuan dari suamiku sudah menikah, dan juga tinggal di rumah yang sama dengan 2 anak gadisnya, karena 3 anak lainnya sudah menikah dan tinggal di lain kota. Rumah itu memiliki banyak kamar, dan aku menempati kamar nomor 2 dari depan dari 5 kamar yang ada.
Kedatanganku tidak disambut senang oleh sang kakak angkat dan suaminya. Tatapan sinis dan kata-kata sindiran sering ampir ke diriku. “Abaikan saja,” kata suamiku menenangkanku.
Berbeda sikap dengan kakak angkat dan suaminya, Mbah Rus sangat senang dengan kehadiran kami. Namun apalah daya seorang Mbah Rus yang usianya hampir 80 tahun tersebut saat menghadapi sikap kakak angkat dan suaminya yang mulai semakin berani menyhindir kami agar segera keluar dari rumah tersebut. Dia hanya menasehati suamiku agar bersabar dan bertahan di rumah tersebut, karena suamiku juga memiliki hak yang sama dengan kakak angkatnya. Oh ya, aku masih bekerja di tempat yang sama walau sudah menikah.
.
Suatu malam, sepulang dari bekerja (aku sampai rumah menjelang Magrib), seperti biasa aku memililh berdiam diri di kamar sembari membaca majalah kesanganku. Aku malas kalau harus bergabung dengan pasangan suami istri yang kurang ramah tersebut di ruang tv. Beda dengan suamiku, karena dia kebanyakan menemani Mbah Rus yang sudah tua.
Selagi asyik membaca tersebut, tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata yang mengawasi.Bukan suamiku yag pasti, karena sedari tadi pintu kamar tertutup. Aku coba abaikan perasaan itu, tapi tiba-tiba terdengar dengus nafas berat yang datangnya dari sudut kamar.
Kuletakkan majalah yang kubaca di atas kasur, dan kuarahkan pandangan mata ke pojokan kamar. Tidak ada apa-apa. Mataku menelusuri dinding kamar dari bawah sampai ke atas, dan kemudian terhenti di atas lemari…
sekedar ilustrasi. sumber di sini |
Makhluk itu seperti dalam posisi berjongkok di atas lemari, dengan ke dua bola mata merah mencorong seperti bara api, dan tubuh yang hitam legam. Sedetik dua detik pandangan kami beradu, dan tubuhku lunglai serasa tak bertulang. Ingin berteriak, tapi lidahku seperti di tarik kedalam, hanya suara tercekik yang keluar dari tenggorokan.
Apakah begini yang rasanya ketakutan sangat? Sekujur tubuh rasanya ditimpa beban berat, dan dingin merambat mulai dari ujung kuku meresap ke urat-urat. Tak sanggup lagi tubuh menggigil karena tubuh mendadak kaku. Makhluk itu terus menatapku, dengan tubuh hitam legam berbulu, dan mataku seperti tersihir untuk terus menatap kedua matanya yang merah mencorong itu.
Guncangan di bahuku seperti menyentak kesadaranku untuk kembali. “Ana…Ana…, Kau kenapa?”
Suamiku memelukku dengan wajah cemas , ketika melihat aku sepertinya masih linglung…
Butuh beberapa waktu setelahnya, baru bibirku lancar bercerita…
Duniaku tak lagi sama setelahnya. Karena sejak melihat makhluk itu, aku tak pernah lagi bebas sendirian. Seperti sudah ada retakan lebar antara duniaku dan dunia mereka, dimana mereka bisa masuk melaluinya dengan mudahnya. Seandainya retakan itu tak pernah ada, mungkinkah kisah-kisahku selanjutnya dengan mereka, berhenti sampai di sini saja?
Tetapi nyatanya, semua tak pernah lagi sama seperti semula…
I dedicate this story to my beloved auntie..., Ana
Makluk itu lg ya mak...jd menginggatkan sy...duh enggak lagi2 bertemu dia, 2x sdh cukup mengerikan....
BalasHapusitu ya mak, yang pernah mindahin barang-barang mak ke rumah sebelah, hihihi. horor banget ya kisah makyang itu.
Hapusmakhluk apa itu gerangan..?
BalasHapuswow bahasa penceritaannya begitu mengalir....
:)
makhluk appan itu? ikuti saja ceritanya di blog ini, heheh. makasih ya
Hapushiii ngeriii,,horor banget
BalasHapusterima kasih. tapi namanya panjang banget mas. enggak bisa disingkat saja :)
HapusMerinding! Dasar nekat baca, hihi. Padahal dari dulu gak suka film, cerita, atau apa pun yang serba horor.
BalasHapusWoi, Mbak Rebel memang rebel banget. Blog-nya sampai itam.
hehehe. emang ada kaitannya antararebel dan hitam? Masih mau baca kelanjutannya enggak?
HapusKisah2 seperti ini sedang laris lho, bagus kalai dibukukan
BalasHapusSalam hangat dari Surabaya
iya Pakdhe. Tapi semangat saya yang nulisnya masih naik turun. Sepertinya harus belajar lebih banyak dari Pakde yang sangat produktif agar tidak gagal fokus (dengan cita-cita jadi penulisnya)
HapusDuh mak kok jadi merinding, baru separo membaca tapi sudah pengen menutup muka tapi kok penasaran, akhirnya baca sampai habis, dan skrg jadi ngebayangin yang bukan2 hiks
BalasHapusbakal lebih merinding lagi kalau ngikuti kelanjutannya nih :)
HapusMenatap matanya yang merah mencorong...itu pasti menakutkan.
BalasHapusya, dan membuat tubuh sreasa membeku...
HapusLanjutannya mana nih bund? Kayanya bakal seru. Oya blognya yg tentang cerita horor itu alamatnya mana?
BalasHapusLanjutannya mana nih bund? Kayanya bakal seru. Oya blognya yg tentang cerita horor itu alamatnya mana?
BalasHapus