Add caption |
Yang memiliki anak remaja, saya kira pastilah tahu lika-liku berhadapan dengan sosok yang lagi bergulat dengan masalah hormonal dan pencarian jati diri. Fokus tulisan saya kali ini bukan pada pencarian jati diri anak remaja saya tersebut. Justru sebaliknya. Dalam upaya saya selaku ibunya, yang menyoba merajut hubungan yang ideal dengan keluarga tercinta, ternyata saya sendiri menemukan batas pencarian terhadap diri saya sendiri.
Ya, sebelumnya, saya seperti masih mengejar-ngejar sesuatu yang namanya eksistensi diri. Pengen dikenal sebagai penulis, walau belum satu pun buku yang tuntas saya kerjakan. Cuma beberapa cerita anak di koran lokal, dan Gado-Gado, serta dua atau tiga ya (lupa) buku antologi.
Pengen jadi blogger profesional, ternyata action saya nanggung. Karena dalam beberapa hal saya malah enggak nyaman ketika harus menuliskan sesutau yang enggak sesuai dengan hati saya.
Terasa banget deh tulisan yang dipaksakan demi memenuhi kewajiban karena sudah hadir dalam suatu event, atau sudah terima goodibag-, dengan tulisan yang datangnya dari hati.
Ario Anindito dalam tayangan hitam putih Dedi Corbuzier tgl 5/4/17 lalu kalau tidak salah pernah mengatakan, " ketika suatu hobi menjadi suatu pekerjaan, maka ada tanggung jawab di situ, ada responsibility. Hilang sudah unsur hobinya. Harus mencari hobi baru."
Baca juga: Hasrat Besar Tenaga Kurang
Pernyataan Ario itu kena banget di saya.
Saat pertama kali ngeblog, saya menjadikan hal itu sebagai hobi. Namun ketika saya serius ingin menghasilkan uang dari blog, ternyata saya terbebani, karena ada tuntutan tanggung jawab di situ.Wajarlah, karena ada benefit yang kita peroleh. Tapi yang menjadi beban utama adalah , semakin menyelam ke dalam dunia blogger, saya semakin hanyut berenang di arus medsos seperti Twitter, Facebook, dan Instagram ( sementara saya bukan pengguna medsos aktif, bahkan cenderung untuk menarik diri dari dunia maya).
Kenapa?
Karena persaingan blogger yang semakin ketat sepertinya mengharuskan setiap blogger untuk mempunyai follower yang banyak di akun medsosnya. Punya follower banyak kalau tidak aktif, juga sepertinya sia-sia. Semakin aktif blogger di medsosnya, semakin kemungkinan bertambah banyak followernya, dan semakin berpeluang untuk mendapatkan endorsment ataupun job lainnya.
Dan rasanya hal seperti itu enggak cocok buat saya.
Saya ini type yang sungkan banget meminta orang lain jadi follower , apalagi kalau pakai embel-embel janji akan memfollow balik yang bersangkutan. Saya lebih suka memfollow orang lain karena itu datangnya dari hati, dan demikian juga yang bersangkutan, kalau memfollow saya karena datangnya dari hati.
Saya bukan tipe orang yang pintar mengolah kata di twitter, FB, dan Insta. Kurang pula bisa memilih topik yang mengundang hits atau viral. Saya terlalu apa adanya, namun tetap dibingkai oleh norma-norma etika yang saya yakini. Tentu saja sikap saya ini sulit mendapatkan follower.
Saya kurang luwes beramah tamah di media sosil ataupun dunia maya. Tapi temuilah saya di dunia nyata, akan terdapat perbedaan yang nyata :). Sejatinya saya seorang ekstrovert loh, tapi di dunia nyata.
Baca ini juga: Tetangga Sebelah Rumah
Nah, tipe seperti saya ini sulit populer di medsos, apalagi sampai punya bejibun followers. Tahu dirilah saya.
Alasan lain sebenarnya, adalah saya ingin fokus pada dunia nyata saya. Hubungan saya dengan suami-anak dan keluarga, tetangga dan alam sekitar, serta yang terutama, hubungan saya dengan Rabb saya yang perlu ditata ulang. Semakin aktif saya di medsos, terasa semakin kering ruhiyah saya yang imbasnya ke banyak hal. Semakin sibuk saya dalam upaya untuk menjaring follower, semakin jauh jarak saya denganNya sebagai followerNya.
Kesadaran tentang kematian yang kapanpun siap menjemput, juga membuat saya menarik diri dari keriuhan mencari follower untuk tujuan keduniawian. Kalau saya mati, bilapun follower saya bejibun, tetap saja do'a anak yang sholeh-sholeha yang bisa melapangkan kubur saya. Follower paling-paling sedih, sejenak, -- dan kemudian kita pun yg di dalam kubur terlupakan, karena para follower itu pun punya agenda hidupnya sendiri.
Dan saya pun di dalam kubur, sendiri, dengan agenda yang telah ditetapkanNya.
Nah, menganalisa diri seperti ini, menghasilkan kesadaran baru dipemikiran saya. Jelas-jelas saya bukan tipe orang yang akan mulus sukses di perbloggeran dengan trak rekod yang telah saya tulis di atas. Dan kalau saya juga tidak memperbaiki hubungan saya denganNya dan dengan yang hidup di sekitar saya, tentu juga masa depan saya di akhirat nanti bisa jadi condong berakhir ke ...(Naudzubillah).
Alih-alih saya mengupgrade diri saya dengan aneka trik dan tips untuk memperoleh followers di dunia, yang juga untuk saya enggak jelas hasilnya, lebih baik saya memilih menjadi follower saja. Tetapi menjadi followerNya. Dan tentu saja followerNya yang baik, yang sesuai dengan apa yang ada di buku panduanNya yang sempurna.
Bagaimana denganmu?
sepakat! banyak orang sekarang hilang pijakan didunia maya... slowly becoming someone else without even knowing...
BalasHapusdan kemudian hanyut....
BalasHapusThanks uda ikutan sharing pemikiran
Itulah kenapa, aku ga mau menerima tulisan sponsor. Krn ga pengen gaya tulisanku jd ada beban.. Blog buatku hobi dan utk sharing pengalaman. Kalo di monetisasi, aku ga yakin bisa menuliskannya dengan soft selling dan ttp menarik.. Krn memang bukan itu yg aku kejar.
BalasHapusUtk medsos pun, aku ga mau jg minta2 org utk follow aku. Biarlah itu krn keinginan orang, bukan krn aku minta. Tp aku sendiri jd ga suka kalo disuruh utk follow seseorang. Kalo memang isi timelinenya menarik, aku pasti bakal follow sendiri kok :)
Mungkin krn ga mengejar uang dr medsos dan blog, akupun ga terlalu mikirin brp jumlah followers jadinya :D.
Betul Mbak Fanny. Kembali ke niat dasar, ngeblog sebagai hobi sehingga lepas nulisnya.
HapusDan tenangnya karena seperti Mbak fanny, ga mengejar uang dari medsos dan blog. Jadi sekarang lempeng...