Pagi Yang Sempurna Buat Ibu

https://rebellinasanty.blogpot.com
Pagi yang sempurna buat Ibu. Foto milik pribadi Reni Susanti
Pagi ini pagi yang biasa. Sama seperti pagi-pagi yang sebelumnya yang kau saksikan ketika membuka mata dan menatap ke luar jendela. Pagi yang terkadang cerah dengan bias sinar matahari berpendar masuk melalui vitrase gorden jendela kamarmu. Atau, pagi yang dilalui rinai halus hujan. Sekilas kau melihat rinai hujan itu seperti jarum-jarum kecil yang meluncur turun dari langit. Atau juga, pagi yang diselimuti mendung tebal, walau hujan pun tidak turun, namun kau memikirkan untuk membawa jas hujan atau pun payung untuk berjaga-jaga.

 Pagi ini harusnya pagi yang biasa, sama halnya dengan pagi-pagi sebelumnya saat Ibu dengan sumringah mengawali hari dengan keriuhan celoteh 3 buah hatinya yang bersiap-siap berangkat menuju ke sekolah Si Sulung. Namun nyatanya, pagi ini menjadi berbeda karena sikap Ibu yang tidak biasa.

 Ibu terlihat lesu saat ketiga buah hatinya dengan riuh rendah berebut meminta dilayani lebih dulu. Si sulung Cwiti Kiti sibuk dengan tas dan perbekalannya, membuat bahunya terlihat miring sebelah karena keberatan beban tas dibandingkan tubuh mungilnya. Dengan sabar sang Ayah mengambil alih beban itu dan menyampirkan tas Si Sulung ke pundaknya.

 Lain lagi ulah Si Hani Banni yang ingin segera naik di motor bagian paling depan. Tanpa celana! Tentu saja Ibu yang sudah siap dengan celana panjang dan jaket segera menurunkan jagoannya dari motor. Tidak seperti biasa, Ibu tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat memakaikan celana dan jaket ke tubuh Si Tengah, dan kemudian dibantu Ayah kembali menaikkan Si Tengah ini ke atas motor. Tempatnya sudah baku, bagian paling depan.

Baca juga : Baju Baru Untuk Noura

 Lalu Si Bungsu Lopi –Lopi yang ceriwis dengan kerudungnya yang menurutnya tidak pas, sudah merengek-rengek minta dinaikkan ke atas motor. Hmmm…, Revo yang tidak seberapa besar itu kembali lagi harus menunaikan tugas rutinnya setiap pagi, mengantar si Cwiti Kiti ke sekolah lengkap dengan pasukan pengawalnya. Hani Banni di bagian depan, lalu Lopi-Lopi yang diapit Ayah, dan kemudian Cwiti Kiti di bagian belakang.

Salam cium tangan dan cipika cipiki dari ketiga buah hatinya pun tak membuat raut  wajah  Ibu sumringah. Masih terlihat sendu. Apalagi saat Ayah menyodorkan tangannya dan pipinya pada Ibu. Kalau hari biasa Ibu mencium tangan dan pipi Ayah dengan mesra, kali ini dilakukan Ibu dengan sekedarnya saja. Pun saat membalas lambaian tangan si Cwiti Kiti yang masih teriak-teriak, “I
love u, Bun!” dari atas motor yang melaju meninggalkan pagar depan, Ibu hanya membalas dengan senyuman setengah hati. Padahal biasanya dia selalu menjawab, “Love you too, Honey,” pada putri kecilnya itu. Dan Si Cwiti Kiti akan protes kembali padanya, “Bunda, aku bukan Honey. Aku Sweety
Kitty. Yang Honey itu khan Abang!” 

Lalu Ibu akan mengoreksi panggilan kesayangan untuk tiap-tiap belahan hatinya itu. Tapi kali ini berat bagi bibir Ibu untuk sekedar menjawab ungkapan kasih sayang putrinya. Namun tetap saja
matanya memandang lajunya motor yang membawa seluruh belahan jiwanya itu sampai menghilang dari pandangan matanya.

Sigh…. Si Ibu menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan sekali hembusan. Rutinitas sudah menanti. Saat memasuki pintu belakang, matanya tertumbuk pada remah-remah nasi goreng yang bertaburan di mana-mana. Hmmm, ini pastilah ulah si Hani Banni. Belum lagi tumpukan cucian piring dan perkakas dapur yang kotor. Lalu pandangannya beralih ke mesin cuci. Sama saja. Pakaian
kotor pun menunggu jadwalnya, sama halnya dengan kasur yang bantal-bantalnya berserakan di sana sini, lantai yang kotor dan ah…, kepala  Ibu cenut-cenut memikirkan semua hal itu yg harus dikerjakannya. Beruntung dia tidak harus masak lagi setidaknya sampai menjelang sore nanti, karena untuk hal itu sudah selesai dikerjakannya sejak jam 4 pagi sampai menjelang si Cwiti Kiti berangkat
sekolah.

 Hari ini semua perkerjaan rutin yang biasanya dikerjakan dengan iklash dan ringan hati, terasa berat karena mendung tebal yang bergayut di hatinya. Bukannya membereskan semua kekacauan itu, si Ibu malah memilih menyeduh kopi dan duduk di depan komputer.

Pun di depan komputer si Ibu hanya duduk termangu. Jari-jari yang harusnya mengetik rangkaian hurup yang membentuk kata, seterusnya kalimat, seterusnya paragrap, dan seterusnya… seterusnya…, malah hanya mengetuk-ngetuk meja komputer dengan irama yang tidak beraturan. Sementara pandangan matanya menatap ke dinding kaca di depannya, yang membatasi ruang kerja sekaligus ruang tamu itu dengan taman samping. Dan sampai uap panas dari gelas kopi yang diseduhnya tadi berangsur menipis, si Ibu tidak juga mengetikkan bahkan satu huruf pun!

“Gumbrang!!!”
Akhirnya tersentak juga si Ibu dari lamunan tak bertepinya. Suara riuh itu datangnya dari dapur. Ibu bangkit dengan kesal. Kucing tetangga yang tak terurus itu pasti membuat ulah lagi, mencari-cari sisa makanan di atas basin cuci piring. Sampai di dapur, pandangan matanya membuktikan dugaannya. Seekor kucing hitam tanpa wajah bersalah memandangnya dari atas meja dapur.Namun Si Hitam sepertinya tidak menemukan apa yang dicarinya.  Ibu seperti menemukan alasan untuk menumpahkan galau hatinya. Di ambilnya sapu dan dipukul-pukulkannya gagang sapu itu ke lantai (sebab  Ibu walau bukan pecinta kucing, bukan pula suka menyiksa hewan).

Baca juga : Crying and Dancing in The Rain

“Hush, hush, pergi sana. Hari ini aku tidak masak ikan, tau! Awas ya kalau ada perkakasku yang pecah lagi kau buat!’ 

Keluar juga logat daerah  Ibu walau sudah hampir 8 tahun dia tinggal di sebrang pulau kota asalnya.. Jurus andalannya itu (selain gaya bahasa hiperbolanya; itu menurut Ayah) selalu dia keluarkan kalau Si Hitam sudah datang. Entah sudah berapa ekor ikan berhasil dilahapnya dalam kurun waktu 1 bulan ini. Belum lagi hampir setengah lusin gelas kotor yang dimasukkan dalam baskom di atas meja cuci piring yang pecah karena ulah Si Hitam.

Eh sudah begitupun Kucing Hitam ini sepertinya menantang. Walau sudah turun dari
meja cuci piring, tetapi dia tetap bertahan di dapur. tatapan matanya ke Ibu seperti memohon pengertian, agar dia dibiarkan meneruskan kesenangannya semula.

Tentu saja Ibu tidak terima dengan permohonan Si Hitam (andai Ibu mengerti bahasa kucing). Karena Si Hitam bergeming di tempatnya, Ibu pun tambah meradang. Hmmm,  Ibu masih punya senjata andalan lainnya, segayung air! Kali ini ancaman itu terbukti ampuh. Si Hitam terbirit-birit kabur memanjat tembok belakang begitu melihat gayung. Soalnya ini bukan yang pertama, dan kiranya si Hitam sudah hafal tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan Ibu pada dirinya.

Ibu menarik nafas dan menghembuskannya dengan sekali hentakan. Eh dia tercekat, dan berfikir. Agaknya, pagi ini dia sudah dua kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya keras-keras. Yang pertama penyebabnya adalah suaminya, yang kedua karena Si Kucing Hitam pencuri ikan! (Padahal Si Hitam itu sering dikasih makan lho sama Si Ibu…). 
Ingatan yang lain menyeruak masuk ke benaknya. Kopi yang sudah hampir dingin!

Bergegas Ibu kembali lagi ke meja kerja  dengan komputer masih menyala. Tentu saja sebelumnya  Ibu menutup pintu dapur, tidak memberikan kesempatan gratis lagi buat Si Hitam mengobrak-abrik dapur tanpa sepengetahuannya. Kali ini tangan Si Ibu sudah memegang gelas kopi yg tidak lagi panas, dan langsung meneguknya dengan sekali tegukan. Begitulah cara Si Ibu minum kopi kalau
Bosan dengan komputer yang menyala tanpa aktivitas, Ibu mulai membuka program VLC Player. Untunglah ada You Tube, jadi Ibu bisa down load lagu-lagu jadul yang dulu dia sukai. Kali ini pilihannya adalah “I Need to Know-nya Marc Anthony. Kalau lagi moody,   Ibu memang tidak akan memilih lagu-lagu yang mellow, justru sebaliknya. Pilihannya ini membuat semangatnya naik kembali.

Musiknya yang asyik membuat Ibu serasa ingin bergoyang. Kalau saja ada Lopi-Lopi, pastilah sudah diajaknya berjoget. Kalau di dalam rumah, dan dengan anak sendiri, enggak apa-apa khan menghibur hati dengan berjoget, yang penting bukan joget ala pantura, begitu pikir Ibu. Agak malu juga Ibu membayangkan bila ada orang lain yang melihatnya bergoyang-goyang mengikuti irama lagu.

Lagi asyik membayangkan menari dengan Lopi-Lopi, tiba-tiba, “Gubraaakkk!!!”


“Ya Allah, apalagi nih,” keluh si Ibu kesal sembari beranjak ke dapur. Tidak ada yang aneh dengan suasana dapur. Masih berantakan seperti semula saat ditinggalkan. Tetapi suara kucing yang menggeram sahut menyahut begitu jelas. Datangnya dari kamar mandi. Begitu pintu kamar mandi di buka, pemandangan tak elok langsung menyergap mata Ibu.

Salah satu bagian atap plafon sudah terlihat menjuntai di langit-langit kamar mandi. Runtuhan dan serpihan kayu bertebaran di lantai kamar mandi. Selain mengotori lantai, juga menimbulkan bau debu yang memenuhi udara. Terasa pengap. Belum lagi suara dua ekor kucing pejantan yang lagi saling mengancam.

 Kali ini emosi  Ibu sampai  ke puncaknya. Kembali gagang sapu jadi andalannya. Kalau sudah marah besar, Ibu justru tidak mengeluarkan suara. Mulutnya terkunci rapat. Hanya tangannya yang sibuk menghentak-hentak gagang sapu itu ke dinding kamar mandi. Dua kucing pejantan itu pun akhirnya terbirit-birit kabur sebelum kena sabetan gagang sapu!

Kali yang ketiga si Ibu menarik nafas panjang dan mengeluarkanya dengan sekali hentakan. Matanya menatap keseantero ruangan. Rumah mungil yang luasnya hanya 60m2 itu terasa sangat sumpek dan kotor. Piring dan perkakas dapur yang memenuhi basin, baju-baju yang menumpuk di mesin cuci, lantai kotor dan kamar-kamar yang berantakan. dan kini ditambah kamar mandi dengan salah satu bagian plafonnya yang jebol serta serpihan kayu yang berantakan di lantainya.

Mata si ibu beralih ke jam dinding di ruang keluarga. Astaghfirullah!! Tak terasa hampir satu jam berlalu sejak keberangkatan ayah dan anak-anaknya ke sekolah Cwiti Kiti. Dalam hitungan
menit, Ayah, Hani Bani, dan Lopi-Lopi akan segera tiba kembali di rumah. Dan Ibu belum ada melakukan tugas rutinnya. Walau Ayah tidak pernah marah kalau moody Ibu lagi kumat, tetapi Ibu selalu tahu diri dengan tanggung jawabnya.

Ada perasaaan bersalah mengalir di hati si Ibu karena telah melalaikan waktu untuk hal yang sia-sia. 
Istighfar sejenak, lantas setelahnya Ibu menguatkan tekad. Target ditetapkan, semua beres dalam dua jam ke depan. Seperti yang selalu biasa dilakukannya. Walau tanpa pembantu, everything under
control. Begitu semboyan  Ibu sejak pembantu terakhirnya berhenti dengan
tidak hormat 2 bulan yang lalu.

"Benar-benar pagi yang sempurna," kata Ibu sembari beranjak untuk berbenah.


-Finito-

Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

4 komentar:

  1. Sempurna atau tidaknya pagi berasal dari cara pandang si Ibu sendiri!

    Nice story! sukaaa:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. gimana ibu menyikapi riuh yang terjadi setiap pagi, mempengaruhi mood ya Mbak, hehehehe

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti