Menjadi Guru Mengaji? Mengapa Tidak!

http://www.rebellinasanty.blogspot.com

Menjadi guru mengaji?

Tidak pernah terpikir oleh saya suatu waktu kelak akan menjadi seorang guru mengaji. Kalau guru les Bahasa Inggris, pernah. Itu pun untuk anak-anak tetangga sekitar rumah, dan lembaga kursus Bahasa Inggris yang berada dekat rumah juga. Dan itu waktu saya masih belum menikah.

Tapi kalau menjadi  guru mengaji?  Saya enggak percaya diri dengan kemampuan saya dalam pengetahuan agama, sampai suatu kondisi memaksa saya memilih untuk menjadi guru mengaji. Dan itu untuk  anak saya sendiri, yakni Ai dan Adek.


Kok dibilang guru sih? Bukannya sebagai ibu memang harus mendidik dan membimbing anak-anaknya di rumah dengan bekal agama dan pengetahuan umum lainnya? 

Karena memang saya membuat jadwal tersendiri untuk mereka belajar mengaji, termasuk kurikulum ( ala saya)  mengenai apa-apa saja yang harus mereka pelajari setiap hari, persis seperti mereka belajar di madrasah. Hanya saja saya kepala sekolahnya, sekaligus gurunya, penyusun materi pelajaran, dan muridnya (saat ini) cuma 2 orang, yakni 2 anak saya.

Kisahnya bermula dari Ai, anak ke tiga saya. Sudah dua tahun terakhir ini dia ikut belajar ngaji di madrasah dekat rumah. Dari jam 3 sore sampai sekitar jam 4 lewat. Adiknya sesekali ikut, tapi tidak terlalu semangat karena lebih sering tertidur di tempat mengaji daripada mengikuti pelajaran.

Setiap pulang mengaji, saya selalu bertanya pada Ai mengenai apa yang dipelajari.
 Selain belajar Iqra’, dan ayat-ayat pendek, juga diajari shalawatan. Itu penjelasan Ai saat itu.
“Diajari enggak tentang rukun Iman?” tanya saya pada Ai suatu waktu. Dia menggeleng.
“Tentang wudhu yang betul?”
Dia menggeleng lagi.Dan banyak pertanyaan saya yang menurut saya harusnya dipelajari di tempat ngaji, ternyata tidak dia dapat. Jadi untuk sementara ini kesimpulan yang saya peroleh, Ai hanya belajar Iqro dan shalawatan.

Lambat laun, ada beberapa  hal yang saya temui yang membuat  saya kurang sreg dengan metode pembelajaran di tempat mengaji Ai. Melalui pengamatan dan bertanya langsung dari Ai, saya mengambil kesimpulan, jumlah murid yang terlalu rame, tidak sebanding dengan guru, membuat materi yang diajarkan pun hanya itu-itu saja. Belajar Iqro, lalu selesai. Terkadang diselingi dengan ayat-ayat pendek, dan shalawatan. Dan yang makin nambah enggak sreg, semakin lama semakin banyak acara yang diadakan oleh pihak majlis. Mulai dari perayaan ini itu, yang menurut pandangan saya bukannya makin mengajarkan anak-anak akan nilai keislaman dalam kehidupan mereka, tetapi cenderung pada hura-hura dan hedonisme.

Selain itu di tempat mengaji Ai, tidak ada pembagian ruangan , jadi murid-murid pada duduk lesehan dan bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki dan beberapa murid perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu kerap berkata-kata ‘kurang pantas’ dan sudah mengenal konsep pacaran. Itu membuat saya semakin khawatir dengan perkembangan psikologis Ai ke depannya.

Kalau begini, rasanya lebih baik Ai mengaji di rumah saja. Toh selama ini dia mampu menghapal banyak do’a-do’a karena kita ajarkan dan biasakan setiap selesai shalat magrib berjamaah. Surat Alwaqiah saja Ai dan Adek bahkan  sudah hafal setengahnya karena terbiasa mendengarkan kita mengaji itu setiap hari.

Ini yang membuat saya mantap memutuskan agar Ai belajar di rumah saja, hanya saja  kini lebih fokus dan teratur karena berjadwal. Kebiasaan berdo'a, shalat berjamaah dan menghafal Qur'an tetap dilakukan diluar jadwal mengaji baru. Hal ini daya diskusikan dengan suami mengenai solusi yang ingin saya lakukan terkait dengan kegiatan mengaji Ai.

“Yah, gimana kalau Bunda yang mengajarkan sendiri anak-anak mengaji. Kalau untuk materi mengaji, Bunda rasa bunda masih sanggup mengajari Ai dan Adek. Soalnya Bunda kurang puas dengan materi di tempat mengaji Ai. Belum lagi dampak pergaulannya,” kata saya pada suami.

Mata ayah nampak berbinar-binar dengan usul saya. Dan langsung saja dia setuju dan mendukung keinginan saya untuk menjadi guru mengaji bagi anak-anak saya sendiri.
Saya pun memanggil Ai dan Zulfikar, serta menerangkan keinginan saya agar Ai mengajinya di rumah saja bersama saya.

Mulanya Ai menolak, karena dia merasa akan kehilangan teman-temannya. Kalau adiknya, malah senang kalau diajari mengaji di rumah. Selama ini dia tak merasa nyaman mengaji di tempat kakaknya karena sering digangguin anak-anak yang lain dengan sebutan 'mirip anak perempuan' ( Soalnya rambut iklanya waktu itu masih panjang dan belum saya potong). Namun setelah dijelaskan dengan sabar, akhirnya Ai mau juga mengaji di rumah bersama saya.

Sejak saat itu, saya pun mulai lagi menggali kembali ingatan saya tentang hal-hal yang pernah saya pelajari waktu ngaji di madrasah . Tentu saja ditambah membuka dan membaca kembali buku-buku yang ada di lemari buku. Dulu saya bersekolah 2 kali. Pagi, sekolah di SD Negeri, sedangkan sorenya, saya ngaji di Madrasah Ibtidaiyah yang khusus mempelajari agama. Walau saat ngaji di Madarasah Ibtidaiyah saya tidak selesai, cuma sampai kelas 4 saja, tapi terasa banget ilmu yang pernah saya dapatkan di situ sangat membantu saya menjalani kehidupan agar tidak tersesat. Kalau pun khilaf, ingat jalan pulang karena jejak-jejak penuntunnya sudah ada. Begitulah perumpamaannya.

Hal-hal yang saya dapatkan waktu ngaji di masa kecil dulu itu yang semula menjadi harapan saya akan didapatkan juga oleh Ai di tempat mengajinya, seperti pelajaran tauhid, akhlak, fiqih, akidah, syariah, kisah para Rasul dan sahabat, baca dan tulis Arab, dan lain-lainnya.  Nyatanya, harapan itu harus saya wujudkan dengan usaha saya.

Walau awalnya kuranag percaya diri, terutama dalam hal  mengajarkan Iqra  (karena untuk tajwid saja saya masih belajar dari suami), saya beranikan untuk maju terus dengan niat baik ini. Mudah-mudahan tercatat sebagai amal jariyah, dan mendorong saya untuk ikut terus belajar, serta mempersiapkan anak-anak saya sebagai generasi penerus yang tangguh dan istiqamah serta mampu menolong orangtuanya nanti di akhirat.

Then.., jadwal mengaji pun dimulai dengan saya sebagi guru menajinya, serta Ai dan Adek sebagai muridnya.

Disepakati waktu ngaji adalah Senin sampai dengan Jumat, dimulai setelah sholat zuhur, atau paling lambat jam 2 siang serta selesai jam 3. Sabtu dan Minggu adalah waktu libur.

Nyatanya, di awal-awal anak-anak pada malas dan enggak semangat. Ada yang alasannya ngantuk, capek, dan sebagainya. Pusing deh kepala bundanya. Harus di cari akal, apa yang membuat anak-anak tergerak mau mengaji. Terutama untuk Ai.

Lalu saya teringat bahwa setiap kali mengaji di tempat lamanya, Ai selalu bawa uang saku sekedar beli jajanan. Saya adopsi kebiasaan tersebut, yakni, setiap selesai mengaji, maka Ai dan Adek  akan mendapat uang tabungan senilai X. Bukan untuk upahnya mengaji, melainkan sebagai uang jajannya saat ingin mengaji, seperti saat mengaji di madrasah sebelumnya. Namun juga ada hukumannya bila tidak mau mengaji, yakni uang tabungannya akan dipotong senilai X perketidakhadiran.

Ternyata efektif.
Anak-anak semangat. Sebagai orangtua ternyata harus pandai-pandai mencari celah agar bisa memotivasi anak untuk belajar mengaji. Salah satu caranya ya itu, dengan uang jajan (yang saya berikan di akhir pekan sebagai tabungan untuk mereka).

Selesaikah persoalannya?
Niat baik pasti banyak rintangan. Begitu juga dengan yang kelas mengaji saya ini.

Selain malas, ternyata rasa bosan juga menjadi hambatan. Terbiasa selama ini di tempat mengajinya Ai hanya  hanya membaca Iqro selembar dua lembar, membuat metode belajar ala saya terlalu berat dirasa olehnya. Soalnya saya juga mengajarkannya untuk bisa menulis huruf arab. Dan sejauh ini dia tidak pernah belajar menulis huruf Arab. Kurikulum ala saya juga masih kacau, belum tersusun rapi.Jadinya ngajinya setiap hari masih membaca Iqro melulu. Apalagi saya selalu mewajibkan mereka untuk mengulangi terus sampai bacaannya benar. Bukan asal cepat naik tingkat. Ini yang membuat Ai cepat bosan serta minta selesai. Padahal  pelajaran baru berlangsung ½ jam.Kalau Adek, awalnya relatif santai dan semangat mengikuti pelajaran, namun jadi ikut cepat bosan karena terpengaruh kakaknya.

Hambatan tak hanya datang dari anak-anak.
Di sayanya juga.
Godaan setan berupa rasa malas dan ngantuk sering menyerang saat jadwal mengajar ngaji tiba.. Apalagi bila ada lomba-lomba blog yang menarik untuk saya ikuti. Ada bisikan khusus agar saya mengganti waktu mengaji anak-anak dengan menulis blog, karena itulah waktu luang saya nyaman menulis selain malam hari.

Butuh usaha keras menepis godaan yang datangnya dari diri saya sendiri. Caranya adalah dengan berpikir bahwa apa yang saya lakukan insha Allah adalah investasi saya untuk masa depan yang hakiki, yakni kehidupan akhirat saya, dan anak-anak saya. Sedangkan godaan yang datang, kalau saya ikuti namun jadinya mengabaikan niat baik yang sudah terazamkan, maka nilainya hanya manfaat di kekinian. Kiat itu cukup efektif menjaga semangat saya mengajar mengaji anak-anak.

Lalu, bagaimana mengatasi hambatan yang datangnya dari  rasa bosan yang dialami anak-anak?

Putar akal, cari-cari referensi cara mengajar anak-anak agar tidak bosan. Caranya, melalui tekhnik bercerita dan bernyanyi.
Bernyanyi itu metode yang paling efektif untuk mengajarkan anak-anak menghafal, seperti nama-nama nabi, nama malaikat beserta tugasnya, nama-nama kitab serta diturunkan kepada nabi apa, rukun iman, rukun islam, dan semacam itu.

 Saya sampai harus mengarang nada/irama lagu  tersendiri agar nama-nama malaikat serta tugasnya bisa segera dihafal anak-anak. Alhamdulillah, dengan teknik ini, bila sebelumnya sulit untuk dihafal, setelah diberi nada, ai dan Adek cepat menghafalnya. Hanya butuh sehari mereka sudah hafal nama malaikat dan tugasnya, dibanding sebelumnya.

Kalau cara 'bercerita' saya gunakan untuk menceritakan kisah-kisah rasul dan sahabat nabi. Pakai intonasi dan gerakan tangan ala pendongeng. Dan, ini ampuh membuat mata dan telinga mereka terbuka lebar dan menyimak apa yang saya sampaikan.

Dan yang baru-baru ini yang membuat kegiatan mengaji semakin membuat semangat anak-anak, adalah kuis. Kuis sederhana mengenai apa yang sudah dipelajari. Jawaban yang benar ditandai dengan teriakan”Bravo!”, sedangkan jawaban salah ditandai dengan “Tettot..!”.
Hadiahnya adalah buah, penganan ringan atau kue-kue yang saya buat sendiri.

Kuis ini berhasil membuat rumah saya seperti pasar malam saking meriahnya teriakan anak-anak saat berlomba menjawab. Apalagi bila kakak sulungnya baru pulang sekolah dan ikutan walau mengambil peran sebagai pencatat nilai.  Namun dengan adanya kuis-kuis ringan seperti ini membuat semangat anak-anak berlipat-lipat untuk mengaji dan memahami apa yang saya ajarkan.

Menjadi guru mengaji ternyata tidak semudah yang saya bayangkan semula.Menyusun materi yang sesuai dengan usia mereka serta mencari metode yang merangsang semangat mereka agar mau belajar dan terutama memahami apa yang saya ajarkan, itu yang harus membuat saya memutar otak.

Saya tak ingin anak-anak saya cuma sekedar menghapal pelajaran, lalu dalam penerapannya sehari-hari, lupa. Walau selama ini saya dan suami selalu berusaha  menanamkan nilaui-nilai keIslaman dalam kehidupan kami setiap hari, pengaruh lingkungan luar yang sangat besar juga harus diwaspadai.  Jadi kajian yang saya ajarkan memang terasa agak beda dengan apa yang dilakukan anak-anak sekitar lingkungan kami. Contoh kecilnya, anak-anak kami ajarkan bila bertamu ke rumah temannya, harus mengucap salam. Bila tidak di jawab salamnya selama 3 kali, dia harus pulang. Karena begitulah Rasulullah menyontohkan adab bertamu.

Atau, tidak boleh mengutip barang yang ada di jalan walau itu terkesan sebagai barang buangan. Karena barang temuan harus diumumkan untuk dicari pemiliknya, dan bila belum ketemu, barang tersebut harus disimpan setahun (sambil menunggu pemilik asli yang bisa membuktikan kepemilikannya yang sah atas barang tersebut). Setelah itu baru boleh diklaim sebagai barang temuan yang menjadi milik sendiri. Hal-hal seperti ini merupakan contoh kecil dari prilaku Islami yang jarang diketahui banyak orang.

Menjadi guru mengaji  tak hanya mengajarkan anak untuk memahami Islam, tetapi juga membuat saya menggali dan belajar kembali ilmu agama yang harus saya konsisten terapkan dalam kehidupan saya sendiri. Karena cara mudah mengajak anak-anak untuk paham dan mau melakukan apa yang diajarkan, adalah dengan memberi contoh sikap nyata orangtua, dan guru yang mengajarkan hal tersebut dalam kehidupan.

Bicara suka  duka yang saya rasakan saat saya mencoba mengajar mengaji anak-anak, tak cukup sekali posting.
Namun alhamdulillah, saya lebih memilih hanya mengingat-ingat sukanya saja serta membayangkan bahwa apa yang saya lakukan saat ini mungkin hasilnya tidak langsung terlihat sekarang. Tapi ini adalah investasi masa depan saya dan masa depan anak-anak kelak. Semoga ilmu yang tak seberapa yang saya bagikan kepada anak-anak, kelak menjadi amal jariyah yang tak putus mengalir saat saya di alam kubur. Amiin.






Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

22 komentar:

  1. Ibu adalah madrasah terbaik dari seorang anak
    sangat beruntung sekali dd Ai dan Zulfikar memiliki ibu sehebat mbak santy ^_^
    Bahasa inggris oke, dan ngaji pun masyaa Allah...

    Salam santun dari saya ya mbak :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahasa Inggrisnya cuma sebatas ABCD saja kok Mbak. Salam hangat juga dari saya...

      Hapus
  2. wah hebat nih mak...Raissa jg belajar ngaji di rumah sama saya. kalo zaidan karena lagi program hafalan ikut ngajinya di mesjid program khusus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enak Mak Kania, ada mesjid yang punya program khusus hafalan Qur'an. di sini, enggak ada. Mesjidnya cuma sering ngadain acara minta sumbangan :). makanya saya ajarin di rumah

      Hapus
  3. kalo saya ngajarin mengaji anak2 di usia 3-6 th, ketika masih Iqro. Tapi stlh masuk quran besar, saya minta pada anak saya utk mengaji pada yg lebih ahli, karena tajwid saya blm sempurna.
    Tapi mba Santy hebat, bisa mengajarkan mengaji pada anak2, biasanya kan anak2 suka aleman kalau diajarin sama org tuanya :)
    Semangat terus ya mba... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Si Sulung sudah Qur'an dan alhamdulillah, tajwidnya jauh lebih bagus dari saya karena dia dulu sekolah SDIT . Kalau adiknya ini kelas 2 dan belum sekolah, jadi masih bisalah kalau Iqro. Tapi saya pengennya bukan cuma bisa baca Qur'an, melainkan juga hal-hal yang lain. Itu yang menurut saya tidak ada di tempat ngajinya dulu. Atau belum kali ya. Seperti tata cara wudhu, dsb.
      Memang sih Mbak, mereka aleman. Hal itu yang harus butu putar otak menyikapinya selain harus tegas dan bundanya ini enggak malas juga. Kalau saya sebagai gurunya malas, apalagi muridnya, hehehe.
      Makasih nih dukungan semangatnya

      Hapus
  4. Inspiratif sekali ceritanya bu. Bisa jadi referensi kelak buat saya jika nanti punya anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga lebih kreatif kelak kalau punya anak dalam mengnajarkan mengaji :)

      Hapus
  5. Waah...hebat perjuangan mbak! Rencananya aku juga mau ngajarin sendiri anak-anak juga. Walaupun nunggu si sulung SD dulu. Buku2 materi TPA malah udah beli sepaket, bekal untuk ngajar. Rencananya mau pakai metode mind mapping. Teks pelajaran di buku diganti dengan gambar-gambar bercabang gitu. Mdh2an terlaksana. Oh ya ide kuisnya brilian banget mbak. Semoga mbak semangat terus ya dan semoga anak2 menjadi apa yang selalu di dalam doa mbak. aminnn!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin. Hanya ingin menyisihkan waktu untuk hal yang bermanfaat, terutama buat keluarga, dan memanfaatkan ilmu yang tak seberapa.

      Hapus
  6. Kagum dengan orang tua yang demikian detail dalam memperhatikan anak-anaknya, sampai rela mengajari ngaji anak-anak sendiri. Ini sangat inspiratif sekali, Bunda. Pernah mendengar cerita salah seorang Guru Al Quran di sekolah, dia sibuk mengajar anak-anak di sekolah, tapi kemampuan anak-anak di rumah masih jauh sekali dr harapan. Semoga tetap istiqamah, Bunda. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hidup singkat ini kalau tidak diisi oleh hal yang bermanfaat, sayang sekali. Apalagi pada anak-anak sendiri yang Allah akan minta pertanggungjawaban kita sebagai ortunya. Itu yang bikin semangat untuk mengajar anak sendiri di rumah. Semoga saat semangat lemah, selalu ada yang menguatkan dari saudara-saudara lainnya. Terima kasih untuk dukungannya

      Hapus
  7. wowww.. hebat mak rebellina :) ibu memang madrasah terbaik untuk anak-anaknya ya :) semoga saya nanti bisa meniru mak rebellina :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasti nanti Mbak Pipit jauh lebih baik dari saya kelak. Yakin deh karena sekarang saja sudah terlihat semangatnya :)

      Hapus
  8. Inspiratif sekali, Mbak. Pengen banget deh bisa sekreatif mb Santy dlm mengajar anak2. Sy juga ngajar anak sy ngaji di rumah, tapi blm bisa sekreatif mb Santy. Smg lama2 sy jg bisa spt mb Santy. Sukses selalu ya, Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insha Allah pasti bisa. Ibu itu piawai loh dalam segala hal, termasuk mencari celah dan cara untuk kebaikan anak-anaknya. Saling doakan dalam kebaikan, semoga istiqamah selalu . Salam sukses juga ya Mbak Diah Kusumastuti

      Hapus
  9. semangatnya oke banget mbak. memang sebagai orang tua kita harus peka ya mbak. agar investasi akhirat kita nggak hangus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bantu do'a ya agar istiqamah. namanya ujian apasti ada, termasuk dalam semangat berbuat kebaikan.

      Hapus
  10. Balasan
    1. insha Allah ditambah dnegan dukungan mbak nih :)

      Hapus
  11. Klo ngaji dulu aku dititipin di tpa mb, yg ngajar ibu ibu semua..ada yg galak ada yg ramah

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama aja soal galak dan ramah Mbak. di tempatku dulu juga begitu. yang penting ilmunya

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti