Menjadi guru mengaji?
Tidak pernah terpikir oleh saya suatu waktu kelak akan
menjadi seorang guru mengaji. Kalau guru les Bahasa Inggris, pernah. Itu pun
untuk anak-anak tetangga sekitar rumah, dan lembaga kursus Bahasa Inggris yang
berada dekat rumah juga. Dan itu waktu saya masih belum menikah.
Tapi kalau menjadi guru mengaji?
Saya enggak percaya diri dengan kemampuan saya dalam pengetahuan agama,
sampai suatu kondisi memaksa saya memilih untuk menjadi guru mengaji. Dan itu untuk anak saya sendiri, yakni Ai dan Adek.
Kok dibilang guru sih? Bukannya sebagai ibu memang harus
mendidik dan membimbing anak-anaknya di rumah dengan bekal agama dan
pengetahuan umum lainnya?
Karena memang saya membuat jadwal tersendiri untuk mereka
belajar mengaji, termasuk kurikulum ( ala saya) mengenai apa-apa saja yang harus
mereka pelajari setiap hari, persis seperti mereka belajar di madrasah. Hanya
saja saya kepala sekolahnya, sekaligus gurunya, penyusun materi pelajaran, dan
muridnya (saat ini) cuma 2 orang, yakni 2 anak saya.
Kisahnya bermula dari Ai, anak ke tiga saya. Sudah dua tahun
terakhir ini dia ikut belajar ngaji di madrasah dekat rumah. Dari jam 3 sore
sampai sekitar jam 4 lewat. Adiknya sesekali ikut, tapi tidak terlalu semangat
karena lebih sering tertidur di tempat mengaji daripada mengikuti pelajaran.
Setiap pulang mengaji, saya selalu bertanya pada Ai mengenai
apa yang dipelajari.
Selain belajar Iqra’, dan ayat-ayat pendek, juga diajari shalawatan. Itu penjelasan Ai saat itu.
Selain belajar Iqra’, dan ayat-ayat pendek, juga diajari shalawatan. Itu penjelasan Ai saat itu.
“Diajari enggak tentang rukun Iman?” tanya saya pada Ai
suatu waktu. Dia menggeleng.
“Tentang wudhu yang betul?”
Dia menggeleng lagi.Dan banyak pertanyaan saya yang menurut saya harusnya
dipelajari di tempat ngaji, ternyata tidak dia dapat. Jadi untuk sementara ini
kesimpulan yang saya peroleh, Ai hanya belajar Iqro dan shalawatan.
Lambat laun, ada beberapa hal yang saya temui yang membuat saya kurang sreg dengan metode pembelajaran di
tempat mengaji Ai. Melalui pengamatan dan bertanya langsung dari Ai, saya
mengambil kesimpulan, jumlah murid yang terlalu rame, tidak sebanding dengan
guru, membuat materi yang diajarkan pun hanya itu-itu saja. Belajar Iqro, lalu
selesai. Terkadang diselingi dengan ayat-ayat pendek, dan shalawatan. Dan yang
makin nambah enggak sreg, semakin lama semakin banyak acara yang diadakan oleh
pihak majlis. Mulai dari perayaan ini itu, yang menurut pandangan saya bukannya
makin mengajarkan anak-anak akan nilai keislaman dalam kehidupan mereka, tetapi
cenderung pada hura-hura dan hedonisme.
Selain itu di tempat mengaji Ai, tidak ada pembagian ruangan
, jadi murid-murid pada duduk lesehan dan bercampur baur antara laki-laki dan
perempuan. Anak laki-laki dan beberapa murid perempuan yang masih duduk
di bangku sekolah dasar itu kerap berkata-kata ‘kurang pantas’ dan sudah
mengenal konsep pacaran. Itu membuat saya semakin khawatir dengan perkembangan psikologis Ai
ke depannya.
Kalau begini, rasanya lebih baik Ai mengaji di rumah saja.
Toh selama ini dia mampu menghapal banyak do’a-do’a karena kita ajarkan dan
biasakan setiap selesai shalat magrib berjamaah. Surat Alwaqiah saja Ai dan Adek
bahkan sudah hafal setengahnya karena
terbiasa mendengarkan kita mengaji itu setiap hari.
Ini yang membuat saya mantap memutuskan agar Ai belajar di
rumah saja, hanya saja kini lebih fokus dan teratur karena berjadwal. Kebiasaan berdo'a, shalat berjamaah dan menghafal Qur'an tetap dilakukan diluar jadwal mengaji baru. Hal ini daya diskusikan dengan suami mengenai solusi yang ingin saya lakukan terkait dengan
kegiatan mengaji Ai.
“Yah, gimana kalau Bunda yang mengajarkan sendiri anak-anak
mengaji. Kalau untuk materi mengaji, Bunda rasa bunda masih sanggup mengajari Ai dan Adek. Soalnya Bunda kurang puas dengan materi di tempat mengaji Ai. Belum lagi
dampak pergaulannya,” kata saya pada suami.
Mata ayah nampak berbinar-binar dengan usul saya. Dan langsung saja dia setuju dan mendukung keinginan saya untuk menjadi guru mengaji bagi anak-anak saya
sendiri.
Saya pun memanggil Ai dan Zulfikar, serta menerangkan keinginan saya agar Ai mengajinya di rumah saja bersama saya.
Saya pun memanggil Ai dan Zulfikar, serta menerangkan keinginan saya agar Ai mengajinya di rumah saja bersama saya.
Mulanya Ai menolak, karena dia merasa akan kehilangan
teman-temannya. Kalau adiknya, malah senang kalau diajari mengaji di rumah.
Selama ini dia tak merasa nyaman mengaji di tempat kakaknya karena sering
digangguin anak-anak yang lain dengan sebutan 'mirip anak perempuan' ( Soalnya rambut iklanya waktu itu masih panjang dan belum saya potong). Namun setelah dijelaskan dengan sabar, akhirnya Ai mau juga mengaji
di rumah bersama saya.
Sejak saat itu, saya pun mulai lagi menggali kembali ingatan
saya tentang hal-hal yang pernah saya pelajari waktu ngaji di madrasah . Tentu
saja ditambah membuka dan membaca kembali buku-buku yang ada di lemari buku. Dulu
saya bersekolah 2 kali. Pagi, sekolah di SD Negeri, sedangkan sorenya, saya
ngaji di Madrasah Ibtidaiyah yang khusus mempelajari agama. Walau saat ngaji di
Madarasah Ibtidaiyah saya tidak selesai, cuma sampai kelas 4 saja, tapi terasa
banget ilmu yang pernah saya dapatkan di situ sangat membantu saya menjalani
kehidupan agar tidak tersesat. Kalau pun khilaf, ingat jalan pulang karena jejak-jejak
penuntunnya sudah ada. Begitulah perumpamaannya.
Hal-hal yang saya dapatkan waktu ngaji di masa kecil dulu
itu yang semula menjadi harapan saya akan didapatkan juga oleh Ai di tempat
mengajinya, seperti pelajaran tauhid, akhlak, fiqih, akidah, syariah, kisah para Rasul dan sahabat, baca dan tulis Arab, dan lain-lainnya. Nyatanya, harapan itu harus saya wujudkan dengan usaha saya.
Walau awalnya kuranag percaya diri, terutama dalam hal mengajarkan Iqra (karena untuk tajwid saja saya masih belajar dari suami), saya beranikan untuk maju terus dengan niat baik ini. Mudah-mudahan tercatat sebagai amal jariyah, dan mendorong saya untuk ikut terus belajar, serta mempersiapkan anak-anak saya sebagai generasi penerus yang tangguh dan istiqamah serta mampu menolong orangtuanya nanti di akhirat.
Walau awalnya kuranag percaya diri, terutama dalam hal mengajarkan Iqra (karena untuk tajwid saja saya masih belajar dari suami), saya beranikan untuk maju terus dengan niat baik ini. Mudah-mudahan tercatat sebagai amal jariyah, dan mendorong saya untuk ikut terus belajar, serta mempersiapkan anak-anak saya sebagai generasi penerus yang tangguh dan istiqamah serta mampu menolong orangtuanya nanti di akhirat.
Then.., jadwal mengaji pun dimulai dengan saya sebagi guru menajinya, serta Ai dan Adek sebagai muridnya.
Disepakati waktu ngaji adalah Senin sampai dengan Jumat, dimulai
setelah sholat zuhur, atau paling lambat jam 2 siang serta selesai jam 3. Sabtu
dan Minggu adalah waktu libur.
Nyatanya, di awal-awal anak-anak pada malas dan enggak
semangat. Ada yang alasannya ngantuk, capek, dan sebagainya. Pusing deh kepala bundanya. Harus di cari akal, apa yang
membuat anak-anak tergerak mau mengaji. Terutama untuk Ai.
Lalu saya teringat bahwa setiap kali mengaji di tempat lamanya, Ai selalu bawa
uang saku sekedar beli jajanan. Saya adopsi kebiasaan tersebut, yakni, setiap
selesai mengaji, maka Ai dan Adek akan
mendapat uang tabungan senilai X. Bukan untuk upahnya mengaji, melainkan
sebagai uang jajannya saat ingin mengaji, seperti saat mengaji di madrasah
sebelumnya. Namun juga ada hukumannya bila tidak mau mengaji, yakni uang
tabungannya akan dipotong senilai X perketidakhadiran.
Ternyata efektif.
Anak-anak semangat. Sebagai orangtua ternyata harus pandai-pandai mencari celah agar bisa memotivasi anak untuk belajar mengaji. Salah satu caranya ya itu, dengan uang jajan (yang saya berikan di akhir pekan sebagai tabungan untuk mereka).
Anak-anak semangat. Sebagai orangtua ternyata harus pandai-pandai mencari celah agar bisa memotivasi anak untuk belajar mengaji. Salah satu caranya ya itu, dengan uang jajan (yang saya berikan di akhir pekan sebagai tabungan untuk mereka).
Selesaikah persoalannya?
Niat baik pasti banyak rintangan. Begitu juga dengan yang kelas mengaji saya ini.
Selain malas, ternyata rasa bosan juga menjadi hambatan.
Terbiasa selama ini di tempat mengajinya Ai hanya hanya membaca Iqro selembar dua lembar, membuat metode
belajar ala saya terlalu berat dirasa olehnya. Soalnya saya juga mengajarkannya
untuk bisa menulis huruf arab. Dan sejauh ini dia tidak pernah belajar menulis
huruf Arab. Kurikulum ala saya juga masih kacau, belum tersusun rapi.Jadinya
ngajinya setiap hari masih membaca Iqro melulu. Apalagi saya selalu mewajibkan mereka untuk mengulangi terus sampai bacaannya benar. Bukan asal cepat naik tingkat. Ini yang membuat Ai cepat bosan serta
minta selesai. Padahal pelajaran baru
berlangsung ½ jam.Kalau Adek, awalnya relatif santai dan semangat mengikuti pelajaran, namun jadi ikut cepat bosan karena terpengaruh kakaknya.
Hambatan tak hanya datang dari anak-anak.
Di sayanya juga.
Godaan setan berupa rasa malas dan ngantuk sering menyerang saat jadwal mengajar ngaji tiba.. Apalagi bila ada lomba-lomba blog yang menarik untuk saya ikuti. Ada bisikan khusus agar saya mengganti waktu mengaji anak-anak dengan menulis blog, karena itulah waktu luang saya nyaman menulis selain malam hari.
Di sayanya juga.
Godaan setan berupa rasa malas dan ngantuk sering menyerang saat jadwal mengajar ngaji tiba.. Apalagi bila ada lomba-lomba blog yang menarik untuk saya ikuti. Ada bisikan khusus agar saya mengganti waktu mengaji anak-anak dengan menulis blog, karena itulah waktu luang saya nyaman menulis selain malam hari.
Butuh usaha keras menepis godaan yang datangnya dari diri
saya sendiri. Caranya adalah dengan berpikir bahwa apa yang saya lakukan
insha Allah adalah investasi saya untuk masa depan yang hakiki, yakni kehidupan
akhirat saya, dan anak-anak saya. Sedangkan godaan yang datang, kalau saya
ikuti namun jadinya mengabaikan niat baik yang sudah terazamkan, maka nilainya
hanya manfaat di kekinian. Kiat itu cukup efektif menjaga semangat saya
mengajar mengaji anak-anak.
Lalu, bagaimana mengatasi hambatan yang datangnya dari rasa bosan yang dialami anak-anak?
Putar akal, cari-cari referensi cara mengajar anak-anak agar tidak bosan. Caranya, melalui tekhnik bercerita dan bernyanyi.
Bernyanyi itu metode yang paling efektif untuk mengajarkan anak-anak menghafal, seperti nama-nama nabi, nama malaikat beserta tugasnya, nama-nama kitab serta diturunkan kepada nabi apa, rukun iman, rukun islam, dan semacam itu.
Saya sampai harus mengarang nada/irama lagu tersendiri agar nama-nama malaikat serta tugasnya bisa segera dihafal anak-anak. Alhamdulillah, dengan teknik ini, bila sebelumnya sulit untuk dihafal, setelah diberi nada, ai dan Adek cepat menghafalnya. Hanya butuh sehari mereka sudah hafal nama malaikat dan tugasnya, dibanding sebelumnya.
Kalau cara 'bercerita' saya gunakan untuk menceritakan kisah-kisah
rasul dan sahabat nabi. Pakai intonasi dan gerakan tangan ala pendongeng. Dan,
ini ampuh membuat mata dan telinga mereka terbuka lebar dan menyimak apa yang
saya sampaikan.
Dan yang baru-baru ini yang membuat kegiatan mengaji
semakin membuat semangat anak-anak, adalah kuis. Kuis sederhana mengenai apa
yang sudah dipelajari. Jawaban yang benar ditandai dengan teriakan”Bravo!”,
sedangkan jawaban salah ditandai dengan “Tettot..!”.
Hadiahnya adalah buah, penganan ringan atau kue-kue yang saya buat sendiri.
Hadiahnya adalah buah, penganan ringan atau kue-kue yang saya buat sendiri.
Kuis ini berhasil membuat rumah saya seperti pasar malam
saking meriahnya teriakan anak-anak saat berlomba menjawab. Apalagi bila kakak
sulungnya baru pulang sekolah dan ikutan walau mengambil peran sebagai pencatat
nilai. Namun dengan adanya kuis-kuis
ringan seperti ini membuat semangat anak-anak berlipat-lipat untuk mengaji dan
memahami apa yang saya ajarkan.
Menjadi guru mengaji ternyata tidak semudah yang saya bayangkan semula.Menyusun materi yang sesuai dengan usia mereka serta mencari metode yang merangsang semangat mereka agar mau belajar dan terutama memahami apa yang saya ajarkan, itu yang harus membuat saya memutar otak.
Saya tak ingin anak-anak saya cuma sekedar menghapal pelajaran, lalu dalam penerapannya sehari-hari, lupa. Walau selama ini saya dan suami selalu berusaha menanamkan nilaui-nilai keIslaman dalam kehidupan kami setiap hari, pengaruh lingkungan luar yang sangat besar juga harus diwaspadai. Jadi kajian yang saya ajarkan memang terasa agak beda dengan apa yang dilakukan anak-anak sekitar lingkungan kami. Contoh kecilnya, anak-anak kami ajarkan bila bertamu ke rumah temannya, harus mengucap salam. Bila tidak di jawab salamnya selama 3 kali, dia harus pulang. Karena begitulah Rasulullah menyontohkan adab bertamu.
Atau, tidak boleh mengutip barang yang ada di jalan walau itu terkesan sebagai barang buangan. Karena barang temuan harus diumumkan untuk dicari pemiliknya, dan bila belum ketemu, barang tersebut harus disimpan setahun (sambil menunggu pemilik asli yang bisa membuktikan kepemilikannya yang sah atas barang tersebut). Setelah itu baru boleh diklaim sebagai barang temuan yang menjadi milik sendiri. Hal-hal seperti ini merupakan contoh kecil dari prilaku Islami yang jarang diketahui banyak orang.
Menjadi guru mengaji tak hanya mengajarkan anak untuk memahami Islam, tetapi juga membuat saya menggali dan belajar kembali ilmu agama yang harus saya konsisten terapkan dalam kehidupan saya sendiri. Karena cara mudah mengajak anak-anak untuk paham dan mau melakukan apa yang diajarkan, adalah dengan memberi contoh sikap nyata orangtua, dan guru yang mengajarkan hal tersebut dalam kehidupan.
Bicara suka duka yang saya rasakan saat saya mencoba mengajar mengaji anak-anak, tak cukup sekali posting.
Namun alhamdulillah, saya lebih memilih hanya mengingat-ingat sukanya saja serta membayangkan bahwa apa yang saya lakukan saat ini mungkin hasilnya tidak langsung terlihat sekarang. Tapi ini adalah investasi masa depan saya dan masa depan anak-anak kelak. Semoga ilmu yang tak seberapa yang saya bagikan kepada anak-anak, kelak menjadi amal jariyah yang tak putus mengalir saat saya di alam kubur. Amiin.
Saya tak ingin anak-anak saya cuma sekedar menghapal pelajaran, lalu dalam penerapannya sehari-hari, lupa. Walau selama ini saya dan suami selalu berusaha menanamkan nilaui-nilai keIslaman dalam kehidupan kami setiap hari, pengaruh lingkungan luar yang sangat besar juga harus diwaspadai. Jadi kajian yang saya ajarkan memang terasa agak beda dengan apa yang dilakukan anak-anak sekitar lingkungan kami. Contoh kecilnya, anak-anak kami ajarkan bila bertamu ke rumah temannya, harus mengucap salam. Bila tidak di jawab salamnya selama 3 kali, dia harus pulang. Karena begitulah Rasulullah menyontohkan adab bertamu.
Atau, tidak boleh mengutip barang yang ada di jalan walau itu terkesan sebagai barang buangan. Karena barang temuan harus diumumkan untuk dicari pemiliknya, dan bila belum ketemu, barang tersebut harus disimpan setahun (sambil menunggu pemilik asli yang bisa membuktikan kepemilikannya yang sah atas barang tersebut). Setelah itu baru boleh diklaim sebagai barang temuan yang menjadi milik sendiri. Hal-hal seperti ini merupakan contoh kecil dari prilaku Islami yang jarang diketahui banyak orang.
Menjadi guru mengaji tak hanya mengajarkan anak untuk memahami Islam, tetapi juga membuat saya menggali dan belajar kembali ilmu agama yang harus saya konsisten terapkan dalam kehidupan saya sendiri. Karena cara mudah mengajak anak-anak untuk paham dan mau melakukan apa yang diajarkan, adalah dengan memberi contoh sikap nyata orangtua, dan guru yang mengajarkan hal tersebut dalam kehidupan.
Bicara suka duka yang saya rasakan saat saya mencoba mengajar mengaji anak-anak, tak cukup sekali posting.
Namun alhamdulillah, saya lebih memilih hanya mengingat-ingat sukanya saja serta membayangkan bahwa apa yang saya lakukan saat ini mungkin hasilnya tidak langsung terlihat sekarang. Tapi ini adalah investasi masa depan saya dan masa depan anak-anak kelak. Semoga ilmu yang tak seberapa yang saya bagikan kepada anak-anak, kelak menjadi amal jariyah yang tak putus mengalir saat saya di alam kubur. Amiin.
Ibu adalah madrasah terbaik dari seorang anak
BalasHapussangat beruntung sekali dd Ai dan Zulfikar memiliki ibu sehebat mbak santy ^_^
Bahasa inggris oke, dan ngaji pun masyaa Allah...
Salam santun dari saya ya mbak :-)
Bahasa Inggrisnya cuma sebatas ABCD saja kok Mbak. Salam hangat juga dari saya...
Hapuswah hebat nih mak...Raissa jg belajar ngaji di rumah sama saya. kalo zaidan karena lagi program hafalan ikut ngajinya di mesjid program khusus
BalasHapusEnak Mak Kania, ada mesjid yang punya program khusus hafalan Qur'an. di sini, enggak ada. Mesjidnya cuma sering ngadain acara minta sumbangan :). makanya saya ajarin di rumah
Hapuskalo saya ngajarin mengaji anak2 di usia 3-6 th, ketika masih Iqro. Tapi stlh masuk quran besar, saya minta pada anak saya utk mengaji pada yg lebih ahli, karena tajwid saya blm sempurna.
BalasHapusTapi mba Santy hebat, bisa mengajarkan mengaji pada anak2, biasanya kan anak2 suka aleman kalau diajarin sama org tuanya :)
Semangat terus ya mba... :)
Si Sulung sudah Qur'an dan alhamdulillah, tajwidnya jauh lebih bagus dari saya karena dia dulu sekolah SDIT . Kalau adiknya ini kelas 2 dan belum sekolah, jadi masih bisalah kalau Iqro. Tapi saya pengennya bukan cuma bisa baca Qur'an, melainkan juga hal-hal yang lain. Itu yang menurut saya tidak ada di tempat ngajinya dulu. Atau belum kali ya. Seperti tata cara wudhu, dsb.
HapusMemang sih Mbak, mereka aleman. Hal itu yang harus butu putar otak menyikapinya selain harus tegas dan bundanya ini enggak malas juga. Kalau saya sebagai gurunya malas, apalagi muridnya, hehehe.
Makasih nih dukungan semangatnya
Inspiratif sekali ceritanya bu. Bisa jadi referensi kelak buat saya jika nanti punya anak.
BalasHapusSemoga lebih kreatif kelak kalau punya anak dalam mengnajarkan mengaji :)
HapusWaah...hebat perjuangan mbak! Rencananya aku juga mau ngajarin sendiri anak-anak juga. Walaupun nunggu si sulung SD dulu. Buku2 materi TPA malah udah beli sepaket, bekal untuk ngajar. Rencananya mau pakai metode mind mapping. Teks pelajaran di buku diganti dengan gambar-gambar bercabang gitu. Mdh2an terlaksana. Oh ya ide kuisnya brilian banget mbak. Semoga mbak semangat terus ya dan semoga anak2 menjadi apa yang selalu di dalam doa mbak. aminnn!
BalasHapusAmiin. Hanya ingin menyisihkan waktu untuk hal yang bermanfaat, terutama buat keluarga, dan memanfaatkan ilmu yang tak seberapa.
HapusKagum dengan orang tua yang demikian detail dalam memperhatikan anak-anaknya, sampai rela mengajari ngaji anak-anak sendiri. Ini sangat inspiratif sekali, Bunda. Pernah mendengar cerita salah seorang Guru Al Quran di sekolah, dia sibuk mengajar anak-anak di sekolah, tapi kemampuan anak-anak di rumah masih jauh sekali dr harapan. Semoga tetap istiqamah, Bunda. :)
BalasHapusHidup singkat ini kalau tidak diisi oleh hal yang bermanfaat, sayang sekali. Apalagi pada anak-anak sendiri yang Allah akan minta pertanggungjawaban kita sebagai ortunya. Itu yang bikin semangat untuk mengajar anak sendiri di rumah. Semoga saat semangat lemah, selalu ada yang menguatkan dari saudara-saudara lainnya. Terima kasih untuk dukungannya
Hapuswowww.. hebat mak rebellina :) ibu memang madrasah terbaik untuk anak-anaknya ya :) semoga saya nanti bisa meniru mak rebellina :D
BalasHapusPasti nanti Mbak Pipit jauh lebih baik dari saya kelak. Yakin deh karena sekarang saja sudah terlihat semangatnya :)
HapusInspiratif sekali, Mbak. Pengen banget deh bisa sekreatif mb Santy dlm mengajar anak2. Sy juga ngajar anak sy ngaji di rumah, tapi blm bisa sekreatif mb Santy. Smg lama2 sy jg bisa spt mb Santy. Sukses selalu ya, Mbak :)
BalasHapusInsha Allah pasti bisa. Ibu itu piawai loh dalam segala hal, termasuk mencari celah dan cara untuk kebaikan anak-anaknya. Saling doakan dalam kebaikan, semoga istiqamah selalu . Salam sukses juga ya Mbak Diah Kusumastuti
Hapussemangatnya oke banget mbak. memang sebagai orang tua kita harus peka ya mbak. agar investasi akhirat kita nggak hangus.
BalasHapusbantu do'a ya agar istiqamah. namanya ujian apasti ada, termasuk dalam semangat berbuat kebaikan.
HapusPahalanya banyak, Um.
BalasHapusAyo semangat
insha Allah ditambah dnegan dukungan mbak nih :)
HapusKlo ngaji dulu aku dititipin di tpa mb, yg ngajar ibu ibu semua..ada yg galak ada yg ramah
BalasHapussama aja soal galak dan ramah Mbak. di tempatku dulu juga begitu. yang penting ilmunya
Hapus