“Apa kabar, Ren?”
Tulisan
itu muncul di chat box fbku. Sebut saja
namanya Tiar, seorang sahabat sejak masa kuliah dulu. Kujawab kabarku baik, dan
aku balik bertanya mengenai kabarnya saat ini.
“Aku
merasa tidak ada gunanya hidup,” tulisnya. “Aku merasa hampa dan tidak ada yang
menyayangi dan peduli padaku,” lanjutnya dalam barisan tulisan berikutnya.
Aku
terenyuh membacanya. Aku mengenal baik sahabatku ini. Aku juga sedikit banyak
tahu permasalahan yang dia hadapi. Perceraian. Padahal usia pernikahannya baru
seumur jagung. Suatu pernikahan yang dinanti-nantinya selama bertahun-tahun,
cuma dinikmatinya kurang dari 1 tahun. Melihat hal ini, aku tahu, komunikasi
lewat chat box kurang efektif untuk melipur dukanya. Maka kuputuskan untuk
meneleponnya.
Pembicaraan
kami lewat telepon lebih banyak diwarnai oleh isak tertahan darinya. Dia
tidak menceritakan permasalahannya. Dia
cuma menumpahkan isi hatinya yang sangat-sangat merasa hampa, sendirian, dan
tidak punya teman untuk tempat dia curhat. Aku mendengarkan curahan isi hatinya
dengan sabar, karena yang dia butuhkan saat ini adalah pendengar. Sesekali aku mencoba untuk menguatkannya
dengan mengatakan masih ada Allah tempat mengadu dan aku sebagai sahabatnya
untuk berbagi curahan hati.
“Tapi
Reni kan jauh,” tukasnya.
“Kamu
bisa menulis email untukku. Insya Allah akan aku respon,” kataku.
Dia masih tergugu. Sungguh, aku merasa terenyuh.
Sama seperti yang ditulisnya di
chat box, dia menekankan kembali perasaan hampa dan terasing. Lonely in the crowd, sepi di tengah
keramaian, begitu tepatnya untuk
menggambarkan perasaannya saat ini. Saat itu kukatakan padanya, dia langsung
mengiyakan.
Aku tak
ingin membahas apa yang menjadi persoalan hidupnya sehingga dia merasa hidupnya
sangat berat saat ini. Aku hanya ingin menuliskan tentang perasaan hampa,
sendirian dan terkucilkan. Aku mengerti dan memahami betul perasaan “lonely in
the crowd” yang dia alami saat ini, karena aku pun pernah mengalami fase
seperti itu.
Tiga tahun pertama pernikahanku diwarnai oleh badai yang menguras energy dan pikiranku.
Saat aku menikah, aku langsung ikut suami pindah ke kotanya, yang sama sekali
baru untukku. Aku serasa tercabut dari akarku, karena di kota baru ini aku
harus beradaptasi dengan lingkungan dan pergaulan yang baru. Apalagi sim card
hpku rusak, sehingga kehilangan kontak dengan sahabat-sahabat lamaku.Jadilah aku
benar-benar merasa terasing tanpa teman, dalam artian yang sesungguhnya. Di tambah lagi pernikahanku tidak disetujui
oleh keluarga kami.
Jalan yang aku dan suamiku tempuh
dalam menikah memang berliku. Dari mulai
prosesnya sehingga akhirnya kami bisa menikah. Tetapi persoalan berat datangnya
justru setelah kami menikah, karena memang kami tetap memilih menikah walau
tanpa persetujuan kedua pihak keluarga.
Persoalan
yang datang silih berganti tak urung membuatku limbung. Mau berbagi kepada siapa? Aku merasa semua orang membenciku. Keluargaku
tak menerimaku, apalagi keluarga suami saat itu. Sementara teman baru aku belum punya, teman lama
pun aku telah kehilangan kontak. Rasanya saat itu lengkap sudah
penderitaanku. Aku merasa hampa dan
sangat sendirian serta terkucil. Dalam pikiranku semua orang mencemooh dan mencibir dibalik
punggungku.Berkali-kali datang rasa penyesalan dan ingin mengakhiri semua. Karena
perasaan tertekan itu pula yang menyebabkan aku kehilangan calon bayi pertama
kami saat kandunganku berusia 2 bulan.
Alhamdulillah, di saat aku
benar-benar merasa hampa dan sepi dalam keramaian seperti itu, suamiku selalu menguatkanku. Dialah teman terbaikku,
yang selalu menyediakan dada dan bahunya untukku menangis sepuasnya. Dia,
suamiku, yang menjadi sahabat baikku, yang selalu mengajakku untuk mengadukan
dan menyerahkan semua persoalan kami kepada Allah semata. Dia, sahabat setiaku, yang tak pernah meninggalkanku saat
aku berada dalam puncak kesedihan. Yang
selalu menggenggam jemariku dan membisikkan kata bahwa dia selalu siap untuk
menjadi bagian dari hidupku, baik dalam suka dan duka. Yang selalu memelukku
dan menenangkanku ketika aku histeris dalam mimpi-mimpi buruk yang kualami hampir tiap malam di tiga tahun
pernikahan kami.Yang insya Allah selalu ada saat aku membutuhkannya. Yang
dengan kesabarannya selalu menjadi pendengar yang baik, apakah itu mendengar
segala tangis dan kesedihanku, ataupun kemarahanku. Padahal dia sendiri pun juga dalam keadaan terjepit
dan galau oleh situasi yang sama.
Keteguhan hati suami dalam
mengingatkan komitmen suci pernikahan dan kesabarannya mendampingiku melewati
masa-masa yang sangat sulit saat itu membuatku tersadar, bahwa aku tak
sendirian. Bahwa aku punya teman dan sahabat setia yang bisa membantuku
melewati semua ini. Bahwa aku punya sahabat yang bisa kuandalkan, yang siap
menjadi pendengar yang baik, yang menyediakan bahu dan dadanya untukku menumpahkan
rasa sedih. Dan yang terutama, sahabat yang mampu selalu membimbing dan
mengingatkanku bahwa ada satu-satunya kekuatan yang maha dasyat yang mampu
membolakbalikkan hati manusia demikian mudahnya. Allah. DIA lah sahabat terbaik manusia sebenarnya.
Saat ini perasaan lonely in the
crowd itu sudah sangat amat jarang menderaku lagi. Bukan karena aku tak mempunyai
permasalahan. Permasalahan akan selalu
ada dalam setiap kehidupan manusia. Tetapi karena aku yakin, dalam menghadapinya
, aku mempunyai sahabat yang selalu siap membantuku dan mengingatkan serta
membimbingku. Dan terutama Allah, sahabat sejati yang selalu siap mendengar
do’a dan keluh kesahku. Yang kuyakini akan mengabulkan segala do’a-do’aku dan
memberikan jalan keluar dari permasalahan hidupku. Yang tidak pernah menghakimiku baik lewat kata-kata atau gesture.
Hal inilah yang ingin kubagi dengan
sahabatku yang sebut saja namanya dengan Tiar tersebut. Saat ini dia memang belum diberi Allah seorang
pendamping hidup yang mampu menjadi sahabat baiknya dalam suka dan duka. Tetapi
aku ingin dia tahu, bahwa aku bersedia menjadi sahabat baiknya tempat dia
berbagi. Karena aku tahu dan pernah mengalami perasaan ‘lonely in the crowd’
itu sendiri. Dan aku juga ingin dia tahu, dia masih punya sahabat sejati yang
selalu ada untuk mendengar segala do’anya.
Allah, Zat yang Maha Tahu dan Maha membolakbalikkan hati manusia. Dan ketika kita meyakini bahwa kita punya
sahabat sejati tempat kita bisa berbagi, yakinlah bahwa perasaan ‘lonely in the
crowd itu’ itu tak akan menghampiri kehidupan kita lagi.
hai mbak, saya juga pernah merasa sendirian dan hampa ketika ikut suami dinas di hutan, jauhhh dari mana-mana, tak ada teman, yah namanya juga mengabdi sama suami jadi kudu ikhlas, alhamdulillah kondisi tersebut tak berlangsung lama
BalasHapusbetul, perasaan itu enggak boleh dibiarkan berlama-lama di hati. bisa bahaya buat kesehatan jiwa
Hapusmb trenyuh bacanya
BalasHapushampir sama sih
sekarang aku masih pengantin baru, masuk ke lingkungan baru dimana tetangga di kompleks kurang kenal satu sama lain
harus mulai rajin bersosialisasi dengan tetangga Mbak. Itu akan sangat membantu mengurangi rasa sepi
HapusSering banget ngerasain ini. Terutama kalau pas jarang berdoa. Peluk buat Tiar ah... :)
BalasHapussepakat banget. Jauh dari Tuhan akan membuat ruang kosong semakin besar Nah Tiar, semoga baca tulisan ini, ada pelukan hangat dari Mbak Grace loh :)
Hapus