Lonely In The Crowd

   
http://rebellinasanty.blogspot.com

 “Apa kabar, Ren?”

                Tulisan itu muncul di chat box  fbku. Sebut saja namanya Tiar, seorang sahabat sejak masa kuliah dulu. Kujawab kabarku baik, dan aku balik bertanya mengenai kabarnya saat ini.

                “Aku merasa tidak ada gunanya hidup,” tulisnya. “Aku merasa hampa dan tidak ada yang menyayangi dan peduli padaku,” lanjutnya dalam barisan tulisan berikutnya.

                Aku terenyuh membacanya. Aku mengenal baik sahabatku ini. Aku juga sedikit banyak tahu permasalahan yang dia hadapi. Perceraian. Padahal usia pernikahannya baru seumur jagung. Suatu pernikahan yang dinanti-nantinya selama bertahun-tahun, cuma dinikmatinya kurang dari 1 tahun. Melihat hal ini, aku tahu, komunikasi lewat chat box kurang efektif untuk melipur dukanya. Maka kuputuskan untuk meneleponnya.

                Pembicaraan kami lewat telepon lebih banyak diwarnai oleh isak tertahan darinya. Dia tidak  menceritakan permasalahannya. Dia cuma menumpahkan isi hatinya yang sangat-sangat merasa hampa, sendirian, dan tidak punya teman untuk tempat dia curhat. Aku mendengarkan curahan isi hatinya dengan sabar, karena yang dia butuhkan saat ini adalah pendengar.  Sesekali aku mencoba untuk menguatkannya dengan mengatakan masih ada Allah tempat mengadu dan aku sebagai sahabatnya untuk berbagi curahan hati.

                “Tapi Reni kan jauh,”  tukasnya.
                “Kamu bisa menulis email untukku. Insya Allah akan aku respon,”  kataku.  Dia masih tergugu. Sungguh, aku merasa terenyuh.

Sama seperti yang ditulisnya di chat box, dia menekankan kembali perasaan hampa dan terasing.  Lonely in the crowd, sepi di tengah keramaian,  begitu tepatnya untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Saat itu kukatakan padanya, dia langsung mengiyakan.

                Aku tak ingin membahas apa yang menjadi persoalan hidupnya sehingga dia merasa hidupnya sangat berat saat ini. Aku hanya ingin menuliskan tentang perasaan hampa, sendirian dan terkucilkan. Aku mengerti dan memahami betul perasaan “lonely in the crowd” yang dia alami saat ini, karena aku pun pernah mengalami fase seperti itu.

Tiga tahun pertama pernikahanku  diwarnai oleh badai yang menguras energy dan pikiranku. Saat aku menikah, aku langsung ikut suami pindah ke kotanya, yang sama sekali baru untukku. Aku serasa tercabut dari akarku, karena di kota baru ini aku harus beradaptasi dengan lingkungan dan pergaulan yang baru. Apalagi sim card hpku rusak, sehingga kehilangan kontak dengan sahabat-sahabat lamaku.Jadilah aku benar-benar merasa terasing tanpa teman, dalam artian yang sesungguhnya.  Di tambah lagi pernikahanku tidak disetujui oleh keluarga kami.  

Jalan yang aku dan suamiku tempuh dalam menikah memang  berliku. Dari mulai prosesnya sehingga akhirnya kami bisa menikah. Tetapi persoalan berat datangnya justru setelah kami menikah, karena memang kami tetap memilih menikah walau tanpa persetujuan kedua pihak keluarga.

                Persoalan yang datang silih berganti tak urung membuatku limbung.  Mau berbagi kepada siapa?  Aku merasa semua orang membenciku. Keluargaku tak menerimaku, apalagi keluarga suami saat itu.  Sementara teman baru aku belum punya, teman lama pun aku telah kehilangan kontak. Rasanya saat itu lengkap sudah penderitaanku.  Aku merasa hampa dan sangat sendirian serta terkucil. Dalam pikiranku  semua orang mencemooh dan mencibir dibalik punggungku.Berkali-kali datang rasa penyesalan dan ingin mengakhiri semua. Karena perasaan tertekan itu pula yang menyebabkan aku kehilangan calon bayi pertama kami saat kandunganku berusia 2 bulan.

Alhamdulillah, di saat aku benar-benar merasa hampa dan sepi dalam keramaian seperti itu, suamiku  selalu menguatkanku. Dialah teman terbaikku, yang selalu menyediakan dada dan bahunya untukku menangis sepuasnya. Dia, suamiku, yang menjadi sahabat baikku, yang selalu mengajakku untuk mengadukan dan menyerahkan semua persoalan kami kepada Allah semata. Dia, sahabat  setiaku, yang tak pernah meninggalkanku saat aku berada dalam puncak kesedihan.  Yang selalu menggenggam jemariku dan membisikkan kata bahwa dia selalu siap untuk menjadi bagian dari hidupku, baik dalam suka dan duka. Yang selalu memelukku dan menenangkanku ketika aku histeris dalam mimpi-mimpi buruk  yang kualami hampir tiap malam di tiga tahun pernikahan kami.Yang insya Allah selalu ada saat aku membutuhkannya. Yang dengan kesabarannya selalu menjadi pendengar yang baik, apakah itu mendengar segala tangis dan kesedihanku, ataupun kemarahanku. Padahal  dia sendiri pun juga dalam keadaan terjepit dan galau oleh situasi yang sama.

Keteguhan hati suami dalam mengingatkan komitmen suci pernikahan dan kesabarannya mendampingiku melewati masa-masa yang sangat sulit saat itu membuatku tersadar, bahwa aku tak sendirian. Bahwa aku punya teman dan sahabat setia yang bisa membantuku melewati semua ini. Bahwa aku punya sahabat yang bisa kuandalkan, yang siap menjadi pendengar yang baik, yang menyediakan bahu dan dadanya untukku menumpahkan rasa sedih. Dan yang terutama, sahabat yang mampu selalu membimbing dan mengingatkanku bahwa ada satu-satunya kekuatan yang maha dasyat yang mampu membolakbalikkan hati manusia demikian mudahnya.  Allah. DIA lah sahabat terbaik manusia sebenarnya. 

Saat ini perasaan lonely in the crowd itu sudah sangat amat jarang menderaku lagi. Bukan karena aku tak mempunyai permasalahan.  Permasalahan akan selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Tetapi karena aku yakin, dalam menghadapinya , aku mempunyai sahabat yang selalu siap membantuku dan mengingatkan serta membimbingku. Dan terutama Allah, sahabat sejati yang selalu siap mendengar do’a dan keluh kesahku. Yang kuyakini akan mengabulkan segala do’a-do’aku dan memberikan jalan keluar dari permasalahan hidupku. Yang tidak pernah menghakimiku baik lewat kata-kata atau gesture.

Hal inilah yang ingin kubagi dengan sahabatku yang sebut saja namanya dengan Tiar tersebut.  Saat ini dia memang belum diberi Allah seorang pendamping hidup yang mampu menjadi sahabat baiknya dalam suka dan duka. Tetapi aku ingin dia tahu, bahwa aku bersedia menjadi sahabat baiknya tempat dia berbagi. Karena aku tahu dan pernah mengalami perasaan ‘lonely in the crowd’ itu sendiri. Dan aku juga ingin dia tahu, dia masih punya sahabat sejati yang selalu ada untuk mendengar segala do’anya.  Allah, Zat yang Maha Tahu dan Maha membolakbalikkan hati manusia.  Dan ketika kita meyakini bahwa kita punya sahabat sejati tempat kita bisa berbagi, yakinlah bahwa perasaan ‘lonely in the crowd itu’ itu tak akan  menghampiri kehidupan kita lagi.


Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

6 komentar:

  1. hai mbak, saya juga pernah merasa sendirian dan hampa ketika ikut suami dinas di hutan, jauhhh dari mana-mana, tak ada teman, yah namanya juga mengabdi sama suami jadi kudu ikhlas, alhamdulillah kondisi tersebut tak berlangsung lama

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, perasaan itu enggak boleh dibiarkan berlama-lama di hati. bisa bahaya buat kesehatan jiwa

      Hapus
  2. mb trenyuh bacanya

    hampir sama sih
    sekarang aku masih pengantin baru, masuk ke lingkungan baru dimana tetangga di kompleks kurang kenal satu sama lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. harus mulai rajin bersosialisasi dengan tetangga Mbak. Itu akan sangat membantu mengurangi rasa sepi

      Hapus
  3. Sering banget ngerasain ini. Terutama kalau pas jarang berdoa. Peluk buat Tiar ah... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepakat banget. Jauh dari Tuhan akan membuat ruang kosong semakin besar Nah Tiar, semoga baca tulisan ini, ada pelukan hangat dari Mbak Grace loh :)

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti