Selamat Jalan Papa…


Firasat itu sudah ada, tetapi tidak pernah kumenduga bahwa papa akan berpulang kepadaNya dengan cara yang sedemikian cepat, tanpa pesan. Justru meninggalkan kesan yang mendalam buat kami keluarganya, terutama bagiku, anak sulungnya. Papaku, berpulang keharibaanNya, Jumat, 25 Oktober lalu, sekitar pukul 9 pagi, setelah terjatuh saat membangunkan adik bungsuku. Hanya 2 menit kemudian, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini…


Terlahir dengan nama Albert yang kemudian diganti dengan nama Abdullah,Papaku mewariskan fam Mawuntu dibelakang namaku. Walau bernama keluarga dari suku Menado, tetapi beliau bukanlah keturunan Menado asli. Ibunya atau nenekku bermarga Siregar, berasal dari Sipirok, Tapanuli Selatan, sedangkan papanya atau opaku pun campuran Portugis dan Menado.  Aku sempat mengenal opa dan nenekku tersebut, walau tidak terlalu dekat. Opaku itu suka sekali memboncengku naik sepeda tuanya. Sosoknya yang tinggi besar dengan hidung runcing khas keturunan Eropa membuat opa kelihatan sangat berwibawa dan gagah. Apalagi beliau pensiunan TNI. Wibawanya itu menurun ke papaku, sehingga walau papa adalah anak ke dua dari 13 bersaudara, tetapi dia menjadi panutan dan dianggap menjadi pengganti opa dalam keluarga besar papa. Opaku meninggal dunia saat aku kelas 2 SMP. Sedangkan nenekku (oma) meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu.

Kata keluargaku, aku adalah anak kesayangan papaku. Entahlah, soal itu aku tidak pernah tahu. Yang kurasakan memang beliau hampir tidak pernah marah padaku, beda terhadap adik-adikku. Sikap papa sangat keras terhadap kami anak-anaknya. Didikan keras ala militer yang dia terima dari opa diwariskannya pada kami. Dan adikku laki-laki yang kerap menerima perlakuan keras darinya, bila melanggar aturan yang telah dibuatnya. . Yang jelas terlihat memang adalah kebanggaan papa terhadapku.

Aku selalu ingat, papa akan selalu semangat bila saat pembagian rapor sekolah tiba, dan orangtua atau wali diwajibkan datang mengambil raport. Untukku, dia akan selalu semangat menyediakan waktunya saat pembagian rapot itu tiba. Nilai-nilai di rapor sekolahku selalu membuatnya semangat menabung demi pendidikanku, walau itu tidak pernah terucap dari bibirnya. Makanya, saat aku meminta ijin untuk ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi, beliau dengan antusias mendukungku. Beliau juga rela menjual angkot satu-satunya miliknya sebagai sumber mencari nafkah demi kelancaran studiku, dan menjadi supir dari mobil angkot milik orang lain. Karenanya, saat kuliah dulu, aku bertekad mencari beasiswa agar tidak menyusahkan papaku, dan mencari nilai tinggi agar bisa lulus dengan cumlaude, sebagai persyaratan bisa mengajak salah satu dari orangtua untuk duduk mendampingi wisudawan di bagian depan. Alhamdulillah, niat itu kesampaian dan papa terlihat sangat bangga saat mendampingiku di wisuda, karena dari keluarga besarnya, akulah yang pertama kali menjadi sarjana, karena aku merupakan cucu tertua dari kedua belah pihak keluarga baik  mamaku maupun papaku.

Hal lain yang tak akan lekang dari ingatanku adalah sikap papa yang selalu mengingatkanku akan surga di bawah telapak kaki ibu. Jujur saja, hubunganku dengan mama tidak selalu mesra, dan justru papalah yang selalu menasehatiku untuk bersikap sabar terhadap mama dan mengingatkanku akan hadist rasul bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Dan memang, terhadap nenekku (oma), papaku juga bersikap sangat sayang dan hormat, walau sejak menikah dengan mama, papa telah berpindah keyakinan. Namun itu tidak mengurangi sikap sayang dan hormatnya pada oma.

Untuk penampilan, papaku layak menjadi panutan. Tampil bersih, wangi dan pakaian yang terstrika rapi dan licin adalah ciri khas papa. Walau pernah jadi sopir angkot, papa selalu terlihat parlente dan gaya. Celananya selalu terstrika licin sesuai garis lipatan. Tak jarang dia akan menyetrika ulang pakaian yang sudah kustrika sebelumnya karena kurang puas dengan hasil kerjaku. Tapi itu dilakukannya tanpa mencelaku. Tak hanya di dirinya, kebersihan rumah pun menjadi perhatian utamanya. Aku sampai bisa mengatakan, kalau papa sudah mengepel rumah, maka makanan apapun yang jatuh di atas lantai, masih sangat layak untuk dipungut dan dimakan kembali.

Aku dan papa cuma terpaut usia 20 tahun. Papa dan mama menikah dalam usia muda. Selain itu karena papa termasuk orang yang rajin menjaga tubuhnya, maka penampakan sosok dirinya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Ditambah lagi dengan penampilannya yang selalu rapi dan parlente. Tak heran karena hal ini aku terkena imbasnya. Seringkali saat berpergian bersama papa, orang yang tidak mengenal aku dan keluargaku secara dekat, menyangka aku berpergian dengan pacar, atau suami. Yang keji dan merupakan fitnah pun ada, yakni mengira aku adalah gadis simpanan papa hanya karena untuk urusan usaha yang mengharuskanku bepergian jauh, papa yang kerap menemaniku.  Aku belum menikah saat itu. Penampilan papa yang terlihat muda, atau aku yang berwajah tua? J

Aku yang banyak dikatakan sebagai anak kesayangan papa, pernah  mengecewakan hatinya saat memutuskan menikah dengan laki-laki pilihanku yang tidak disetujuinya. Namun itu cuma beberapa tahun saja.  Beliau kemudian memaafkan aku dan suamiku. Justru saat ketika dia ada urusan ke Jakarta atau Bandung, beliau selalu menyempatkan diri menginap di rumah dan bermain dengan anak-anak, terutama dengan Kakak, putri sulungku. Tak pernah dia mengungkit kekecewaannya dulu terhadapku. Mungkin karena dia melihat sendiri bagaimana suamiku memperlakukanku dan anak-anak. Itu membuat hatinya menjadi tentram. Setidaknya, begitulah yang disampaikan mamaku, bahwa kepada diriku, papa sudah tidak mempunyai kekhawatiran dan beban. Dia percaya, aku tidak salah memilih pasangan hidup.
www.rebellinasanty.blogspot.com
Papa dan putri sulungku, tahun 2007

Tahun lalu, papa masih menelponku dengan ceria saat hari ulang tahunku. Dengan suara tawanya yang khas dia mengatakan bahwa usiaku sudah menjelang 40 tahun. Sudah tua, katanya bercanda saat kukatakan aku hampir lupa bahwa usiaku menjelang 40 tahun sudah. Memang, semenjak hidupnya banyak dikelilingi cucu, papa jauh berubah. Lebih hangat, lebih penyayang, dan pintar bergurau. Sesuatu yang tak pernah kudapati dari papa saat aku kecil. Tak heran, hampir semua cucunya dekat padanya, termasuk anakku, walau jarak yang jauh membuat interaksi personal antara keluargaku dan anak-anakku tidak intensif.
papa
Papa, Zulfikar (baby) n Valen 2011
papa
Papa  dan Si Bungsu, saat mudik ke Medan 2011

keluarga
Foto sebagian keluarga saat mudik Juli 2011

Tubuh itu terbaring kaku, ditutupi oleh sehelai kain batik panjang. Saat kusingkap selendang yang menutup wajahnya, terlihat raut wajah yang tenang, layaknya orang yang sedang tidur. Rambutnya terlihat baru terpangkas rapi, namun tetap memperlihatkan warna keperakan di sana-sini. Kucium kedua pipinya dan keningnya yang sudah dingin. Airmata yang sudah bergulir sejak keberangkatanku menuju bandara Sukarno Hatta, menderas lagi. Aku berusaha menahan diri agar tidak meratap. Kusampaikan berbait-bait doa tergagap-gagap. Ya Allah…, lapangkanlah jalan untuknya, untuk papaku, yang jiwanya sekarang dalam genggamanMu.

Papa terkena serangan stroke tahun lalu. Namun semangatnya yang kuat untuk sembuh membuat beliau hanya mengalami gangguan bicara dan kehilangan sedikit memori. Tubuhnya masih terlihat gagah dan sehat. Raut wajahnya normal, tidak ada bekas tanda papa kena stroke. Jalannya masih tegap, sehingga tidak akan ada yang menyangka papa sudah terkena stroke 2 kali.  Stroke ketiga kalinya yang menyerangnya di Jumat pagi itu adalah pengantar sebab beliau memenuhi takdirnya kembali kepadaNya.

Masih terekam jelas saat profilku tampil di salah satu rubrik Leisure Republika dengan tema berkebun tgl 22 Oktober lalu. Aku sudah berencana mengabarkannya ke pada papa, karena aku tahu dia akan senang sekali menerima berita seperti itu. Seperti saat pertama kali naskah cerpenku dimuat di majalah Anita Cemerlang, Jakarta. Papa lah yang dengan bangganya memberitahukan kepada kerabatnya bahwa cerpenku dimuat di majalah . Namun entah mengapa, aku selalu menunda-nunda untuk menelponnya. Wangi harum melati saat tengah malam aku tengah menulis di ruang kerja bareng suami pun, tidak  membuatku mengerti tentang tanda-tanda yang disampaikan alam.  Begitu juga perasaan gelisah yang menderaku  2 malam sebelum dia berpulang.

Namun pastinya, semua ini memang sudah takdirnya. Tidak ada yang bisa menunda kematian, apalagi menolaknya. Keinginan terakhirnya adalah ingin melihat adik perempuanku yang bungsu melanjutkan kuliah dan menjadi sarjana, seperti diriku.  Insha Allah adikku bertekad memenuhi keinginan terakhir papa. Terlalu banyak kenangan yang sulit kutuliskan lagi di sini.

Pemakaman itu baru usai. Nisan yang terpancang di atas makam baru itu bertuliskan Albert Mawuntu (Abdullah), wafat 25 Oktober 2013.. Do’a-do’a pun usai dilantunkan. Berat rasanya kaki melangkah meninggalkan gundukan yang baru dibuat  beberapa menit lalu. Tapi, urusan papa dengan dunia sudah usai, tinggal urusan beliau pada khalikNya. Kini , yang tersisa adalah kami, anak-anaknya, bagaimana menunjukkan bakti diri kepada orangtua. Karena ketika satu nyawa telah terputus dari dunianya, amalan yang sampai di kuburnya  hanyalah 3. Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh.

Sebelum kembali ke Bogor, aku dan mama ziarah ke makamnya. Bunga-bunga dan daun pandan masih bertebaran di atas gundukan tanah makamnya. Kusampaikan pamitku padanya dalam do’a, dan janji, bahwa, sebisa mungkin akan selalu kukirimkan do’a untuknya dalam shalatku. Semoga itu bisa membantu melapangkan kuburnya. Dan hanya itulah wujud bakti dan kasih sayang  dariku sebagai anaknya untuknya yang bisa kulakukan  kini.

Selamat jalan Papaku sayang… Insha Allah kita semua akan kembali padaNya. Hanya persoalan waktu siapa yang lebih dulu…

Bogor, 5 November 2013


Rebellina Santy

Author, Blogger, Crafter, and Gardener. Informasi pemuatan artikel, Sponsored Post, Placement, Job Review, dan Undangan Event, email ke : rebellinasanty@gmail.com. Twitter/IG: @rebellinasanty

14 komentar:

  1. Turut berduka cita buat papanya mba Santy :)

    BalasHapus
  2. innalillahi wa'inna ilayhi roji'un... turut berduka ya mbak :) smg semua amal ibadah beliau diterima Allah SWT, dan diampuni segala dosa-dosa beliau, aamiin :)
    salam kenal btw :)

    BalasHapus
  3. selamat jalan papa...semoga diterima semua amalnya...amin

    BalasHapus
  4. innalilahi wa inna ilaihi roojiuun...turut berduka ya mbak...semoga beliau mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah...Aamiin...

    sabar, ikhlas, n tetap semangat ya mbak!

    hiks, jadi ingat bapakku...;-(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Nunung Nurlaela. Iya, saya kalau ingat papa dan baca ini masih nangis juga :(

      Hapus
  5. Ikut berduka cita ya mbak. semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT dan diampuni dosa- dosanya, amiin..

    BalasHapus
  6. Ikut berduka cita mak. Semoga papamu diberi tempat terbaik di sisi Tuhannya dan keluarga yg ditinggalkan diberi kesabaran dan ketabahan. *peluk

    BalasHapus
  7. Inna lillahi wa inna ilaihi radji'un
    Semoga alm diterima disisi-Nya dan masuk surga
    Tetap tabah dan yakinlah bahwa semua manusia pasti akan menyusul papamu
    Salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul Mbak. Kita smeua pasti akan kembali padaNya. Terima kasih ya. Salam kenal kembali

      Hapus

Halo...
Thanks ya uda mau mampir dan kasih komentar di blog Rebellina Santy. Komentar kamu berharga banget buat saya.

Salam
Reni Susanti