Persahabatan itu seperti bunga yang cantik dan harum. Dipandangi dari kejauhan, tetap terlihat indahnya, di dekatipun, tercium harumnya. Itulah persahabatan. (rebellina) |
Persahabatan itu seperti bunga yang cantik dan harum. Dipandangi dari kejauhan, tetap terlihat indahnya. Di dekati pun, tercium harumnya. RebellinaBagi saya, penting punya banyak teman. Tetapi tak semua teman bisa menjadi sahabat (Red:dekat). Beda antara teman dengan sahabat, karena kalau sahabat, sudah pasti teman, sedangkan teman, menurut saya sih, hanya teman. Posisi sahabat lebih dekat di hati ketimbang teman. Begitupun, sahabat bisa saja berubah posisinya di hati saya jadi hanya sekedar teman, dan sebaliknya, teman naik level menjadi sahabat. Tentu saja seiring interaksi yang terjadi. Emang apa lagi sih bedanya teman dengan sahabat?
Menurut saya lagi nih (ini emang objektif ya, karena murni pendapat saya) kalau teman bisa jadi hanya sosok-sosok yang kita biasa bertegur sapa, Just say “ Hello”. Temen ngobrol ngalur ngidul membahas kekinian, film terbaru, tempat hang out yang ok, atau sekedar memberi jempol sebagai tanda like di media social karena kesamaan minat, dan lainnya. Tahu sendiri khan betapa mudahnya mendapat tambahan beratus-ratus teman di media social kita. Cukup klik Add Friends, atau Accept Friends Request di FB , dan saling follow di media social lainnya seperti Twitter dan Instagram.
Lalu, gimana dengan sahabat?
Sahabat, adalah teman yang benar-benar dekat dengan kita, sosok yang kita bebas menjadi diri kita sendiri. Tidak perlu untuk jaim dan selalu terlihat ‘sempurna’, bahkan sahabat bisa merasakan apa yang kita rasakan tanpa perlu kita terlalu sering berkomunikasi. Siap menampung curahan hati kita dan kita yakin curahan hati kita enggak akan nampang di media social, alias bocor. ( Ada khan yang begitu, yang koar-koar di media sosialnya kalau dia bête dijadikan tempat curhat, padahal mungkin saja yang curhat merasa dia itu sahabatnya).
Sahabat juga biasanya komunikasinya dua arah. Suatu saat kita berperan sebagai pendengar yang baik untuk segala beban pikiran dan hati yang dicurahkannya. Lain waktu, kita sendiri yang berkeluh kesah padanya. Tak harus selalu ada solusi yang ditawarkan dalam hubungan persahabatan, tetapi menjadi pendengar terpercaya yang baik tanpa menghakimi dan menggurui, itu sudah sangat…meringankan.
Tentu saja kepercayaan menjadi kunci utama dalam hubungan ini. Itu arti sahabat di mata saya, yang menjadikan bedanya teman dengan sahabat.
Saya punya seorang sahabat yang saya kagumi dan terinspirasi oleh sosoknya yang cerdas, anak orang kaya namun sangat down to earth , dan terutama baik hati. Berteman sejak SMA walau hanya sekelas dengannya cuma setahun, yakni di kelas satu, karena saat kelas dua dan kelas tiga kita beda jurusan. Begitu juga ketika masuk perguruan tinggi, sahabat saya ini studinya ke UGM, sedangkan saya tetap di kota asal. Tetapi ternyata, persahabatan kami langgeng, insha Allah sampai kini. Walau saya sangat jarang bertemu dengannya, komunikasi lewat telepon tak terlalu sering, dan kami berdua pun bukan pengguna media social yang aktif, tetapi terasa ada kedekatan hati yang terjalin.
Dengan sahabat tersebut, saya merasa bisa berbagi kisah apapun, dan dia hampir tahu segalanya tentang saya. Tetapi dia tidak pernah menghakimi dan menggurui saya. Begitu pun saat saya kesulitan dan butuh bantuan, dia dengan segera membantu tanpa banyak tanya ini itu. Dan sampai kini, insha Allah sampai akhir usia, saya berharap dia tetap sahabat baik saya, dan saya pun begitu dimatanya.
Another story lagi mengenai salah satu sahabat saya yang lain.
Pertemanan saya dengan sahabat saya yang satu ini, unik. Selain beda agama, ternyata setelah ditelusuri kami punya keterikatan hubungan kekerabatan melalui pernikahan sepupunya dengan Om Saya (adik papa). Tahunya justru setelah kami akrab dalam pertemanan. Dia sangat taat dalam agamanya tapi itu bukan halangan bagi persahabatan kami. Saya sering main ke rumahnya, walau ayahnya sintua. Tak masalah. Tidak ada tuding-tudingan mengenai dosa dan neraka. Bagimu agamamu, bagiku agamaku, itu toleransi sebenarnya yang kami terapkan dalam persahabatan kami.
Saat kami masing-masing sudah bekeluarga, hubungan baik tetap terjalin walau kami jarang berinteraksi. Soalnya dia juga bukan pengguna media social, sementara saya pun bukan pengguna aktif telepon pintar. Tapi sejauh ini, kami tetap bersahabat baik, saling mengerti dan saling mendukung walau domisili berjauhan.
Ketika teman saya yang lain menceritakan hal buruk tentang saya karena ketiadaan informasi yang jelas mengenai saya, dia dengan tegas meluruskan , karena memang dia termasuk sahabat sangat dekat dengan saya dan tahu banyak hal tentang saya. Kriteria ini bagi saya yang juga menjadikan beda antara teman dan sahabat. Sahabat akan meluruskan informasi negatif tentang kita, sedangkan teman? Bisa jadi dia tidak peduli karena merasa itu bukan ranah urusannya.
Kalau di bawah ini, kisah mengenai teman saya.
Awalnya teman saya ini saya anggap sahabat, karena kami sering saling curhat mengenai masalah pribadi. Namun suatu kejadian kemudian mengubah pendapat saya tentangnya, sehingga kemudian saya hanya menganggapnya sebagai teman saja, bukan lagi sahabat. Hubungan pertemanan tetap baik, karena saya memilih tidak memutus silaturahmi dengannya,. Tetapi untuk hal-hal penting dalam hidup saya, dia tidak perlu lagi tahu. Emangnya kejadian apa yang membuat saya berubah pikiran mengenai persahabatan saya dengan teman yang satu ini?
Kepercayaan!
Bagaimana bisa saya menjadikannya sahabat bila kepercayaan yang menjadi landasan persahabatan begitu mudah dihancurkan, dan kemudian dia menolak mengakui kesalahannya dan bersikap hal itu adalah biasa?
Kisahnya lama sekali. Sudah lewat 20 tahun silam, tetapi saya masih ingat jelas karena ini pembelajaran penting dalam hidup saya. Waktu itu saya masih unyu-unyu, masih semangat dalam mengejar cita-cita. Di suatu mata kuliah, oleh Bu Dosen, kita dikasih tugas untuk membuat pidato yang akan dipresentasikan di depan kelas. Wah, harus nyusun konsep dan latihan bicara di depan orang banyak nih agar tak gugup saat waktu presentasi tiba.
Bersama teman yang saya anggap sahabat itu, saya pun berlatih berpidato dengan naskah yang sudah saya rancang dan tulis sedemikian rupa. Di awal naskah pidato, saya masukkan quote yang menurut saya waktu itu orisinil dan keren banget, karena itu murni quote buatan saya. Pokoknya dalam pemikiran saya quote ini bisa jadi nilai tambah untuk tugas tersebut.
Sahabat yang kemudian hanya menjadi teman, mendengar saya berpidato di depannya hanya diam saja tak memberikan komentar apapun terkait quote ini. Sedikit kritik ada, tetapi tidak ada sama sekali yang menyangkut masalah quote ini.
Lalu, saat masa presentasi di depan kelas, ternyata presentasi tugas ‘pidato’ sesuai abjad. Nama sahabat (yang kini teman) lebih dulu dipanggil karena abjad namanya lebih awal dari saya . Majulah dia ke depan kelas.
Alangkah kagetnya saya ketika dia berpidato dengan menggunakan quote yang saya susun dan bacakan di depannya saat latihan . Sampai tak percaya rasanya dia melakukan hal itu terhadap saya. Saya hanya terbengong menatapnya di depan kelas. Untung hal tersebut tak menurunkan konsentrasi saya ketika giliran saya tiba. Hanya saja, quote itu tak lagi saya gunakan karena sudah dicuri oleh mantan sahabat saya tersebut.
Saat kelas selesai, saya langsung protes dan tanya ke teman tersebut mengapa dia tega melakukan hal tersebut pada saya? Mengambil ide saya bulat-bulat dan mempresentasikannya seolah itu ide aslinya. Apa jawabnya?
(Pembicaraan di bawah ini tidak bisa 100% sama dengan yang terjadi pada 20 tahun yang lalu, tapi setidaknya inilah gambaran peristiwa yang terjadi saat itu).
“Aku juga punya ide yang sama denganmu waktu kamu latihan itu, Ren!” jawabnya yang totally ngeles abis!
“Kenapa kamu tidak utarakan padaku waktu kita latihan bersama tadi,XXX?” cecar saya. “Kalau kamu bilang kamu punya ide yang mirip dengan ideku soal quote itu, aku pasti cari ide yang lain!” kata saya lagi.
Dia terdiam. Tapi juga tidak mau mengakui kesalahannya. Ok, tak apa. Saya tak mau memperdalam masalah. Cukuplah itu pengalaman hanya sekali terjadi pada saya. Selanjutnya dalam berinteraksi dengannya, hanya hal-hal umumlah yang saya bagi dengannya. Di luar itu, saya lebih memilih menyimpannya sendiri.
Itu salah satu contoh nyata dalam kehidupan kala sosok yang kita anggap sahabat, ternyata mampu mengkhianati kita tanpa rasa bersalah. Layak bukan, kalau levelnya kemudian hanya menjadi teman?
Lain lagi dengan kisah bersama teman yang lain. Alhamdulillahnya saya diberi kesempatan Allah untuk berinteraksi dengan teman ini cukup lama. Sejak SMP sampai SMA saya sekelas dengan teman ini, kecuali waktu kelas 1 SMA. Jadi, dia teman lama saya, namun tidak pernah jadi sahabat saya.
Sepanjang berinteraksi dengannya, teman saya ini seperti punya obsesi terpendam ingin melebihi saya dalam berbagai hal. Sumpah, tanpa itu dia lakukan, dia jauh melebihi saya dalam banyak hal. Dia pintar dan cerdas, cantik dan berbakat, serta gigih dalam mencapai sesuatu. Kurang apa coba? Tetapi kenapa setiap kali kumpul-kumpul dengan teman yang lain, kata-katanya selalu bertendensi menjatuhkan saya. Ada saja celah kekurangan saya yang menjadi olok-oloknya. Mulai dari penampilan saya yang menurutnya norak, muka tua, sampai hal-hal pribadi yang terkait keluarga saya pun selalu diangkat-angkatnya di hadapan teman-teman.
RELATED: Balada Muka Tua
Saya sih nyantai aja berhadapan dengannya, walau awal-awal terganggu. Kenapa nyantai? Itu setelah saya menganalisa mengapa dia begitu. Tak lain tak bukan penyebabnya adalah iri hati.
Dia belum bisa move on dari peristiwa saat kami sama-sama duduk di kelas 1 SMP. Sosoknya yang cerdas sangat menonjol. Setiap pertanyaan dari guru, dia nomor satu mengangkat tangan untuk menjawab. Tak heran ketika akan pembagian rapor, namanya sudah digadang-gadang akan menjadi rangking 2 di kelas kita. Eh nyatanya waktu diumumkan, kok malah nama saya yang dipanggil. Saya aja kaget setengah hidup, dianya apalagi. Ditambah kemudian tak satupun rangking yang diperolehnya.
Sejak itulah dia seperti memiliki kemarahan terpendam pada saya yang dilampiaskannya dalam berbagai kesempatan. Walau semester berikutnya dia masuk jajaran rangking kelas, tak mengubah perasaanya pada saya. Padahal, saya salah apa ya? Yang menentukan rangking khan bukan saya?
Herannya, teman saya ini saat dalam kesusahan hati, larinya ke saya. Datang ke rumah, curhat ini itu. Ketika saya pindah ke Bogor pun, dia kerap cariin saya (kata teman-teman yang lain), sehingga akhirnya ketemu lagi di FB. Wah, dia semakin sukses, punya karir cemerlang di salah satu instansi pemerintah, tapi…, ternyata dia tetap belum bisa move on dari saya.
Lagi-lagi dalam pembicaraan jarak jauh dengannya (saat itu dia kumpul bersama teman-teman alumni yang sama di kota asal, dan dia menelpon saya), dengan suara keras dia mulai bicara hal-hal yang terkait keluarga saya. Karena faham karakternya, saya tegas saja mengalihkan pembicaraan tersebut untuk kembali ke topic. Beres.
Dalam satu kesempatan yang semakin membuat saya yakin dia belum bisa move on adalah ketika dia berkomentar, “Enak kamu, Ren, bisa nulis dan menang (maksudnya menang dalam beberapa lomba blog).” Padahal kemenangan saya dalam lomba menulis di blog masih segelintir saja.
Tuh khan… Rasanya, dia kurang bersyukur terhadap pencapaiannya sendiri. Padahal dalam beberapa hal, jujur saja di hati saya pernah terselip kerinduan ingin seperti dia. Punya karir cemerlang, gitu. Punya rumah di mana-mana, dan harta yang melimpah. Tapi saya mengembalikan diri pada pilihan yang saya ambil dengan kesadaran penuh, menjadi ibu rumah tangga seutuhnya sembari ngeblog. Bisa ikut lomba dan menang, syukur. Tidak menang, juga tidak apa. Saat jenuh melanda, blog dibiarkan nganggur berbulan-bulan juga diupayakan tidak dianggap sebagai beban. Sesantai dan sesenangnya saja. Ah kok jadi ngelantur.
Intinya, teman saya ini mungkin menganggap saya sahabat, sehingga merasa bebas mengungkapkan segala isi hatinya terkait saya di tengah-tengah public. Sayangnya, kalau itu kriteria sahabat menurutnya, saya tidak sependapat. Sahabat, sudah pasti tidak akan pernah melakukan apapun untuk mempermalukan kita di depan umum.
Kalau saya ke dia? Dia tetap teman saya. Selamanya…teman!
Ini sekelumit cerita-cerita saya mengenai sahabat dan teman. Bagaimana ceritamu dengan teman dan sahabatmu? Berbagi pengalaman, yuk….
RELATED : Tujuh Ciri-ciri Teman Yang Tidak Layak Kamu Jadikan Sahabat
Ceritanya menyenangkan dan memberi pemahaman yg lembut tentang persahabatan. Alangkah indah persahabatan. Salam sahabat...
BalasHapuspersahabatan yang baik tetap harus dijaga dan dirawat agar langgeng. Salam persahabatan juga...
HapusAku juga punya banyak sahabat Mbak...Boleh dibilang dari SD,SMP,SMA dan kuliah sahabat-sahabat saya solid. Sampai sekarang pun satu dua masih ada yg kontak.
BalasHapusalhamdulillah ya Mak, soalnya memiliki sahabat baik itu berkah..
HapusSenangnya, jika memiliki seseorang yang memahami kita seperti sahabat ini.
BalasHapusSaya setuju jika sahabat itu tempatnya lebih dekat daripada seorang teman.
iya Mbak Ety. saya juga berpikir begitu, sahabat levelnya di hati beda dnegan teman
HapusSenangnya punya sahabat. Kok saya ngrasa gak punya sahabat deket ya hehe...
BalasHapusMungkin mbak sudah punya sahabat dekat, tap maih kurang jeli menyadarinya
HapusSaya punya sahabat dari sejak SMA hingga sekarang Alhamdulillah masih terjalin dg baik. Prinsip yg kami terapkan dlm persahabatan adalah pantang untuk saling meminjam uang dlm kondisi apapun. Jika ingin membantu sifatnya ya memberi bukan meminjamkan. Karena uang juga menjadi salah satu runtuhnya persahabatan. Nice share mba
BalasHapusbetul, mbak. Persahabatan itu butuh prinsip yang harus dijaga oleh kedua belah pihak. kalau itu dilanggar, bisa jadi hanya pertemanan saja. Bukan lagi sahabat :)
HapusKalau bagi saya sahabat itu segalanya, karena kadang perhatiannya lebih dari keluarga
BalasHapusbetul. sahabat yang peduli lebih care (kadangkala) dari keluarga sendiri..
Hapusaduh, nyesek ya mba, serasa ditusuk dari belakang. Salut mba ga memutuuskan pertemanan :)
BalasHapussatu musuh sudah terlalu banyak Mbak. Cukup jadi teman saja..
HapusAssalamu'alaikum bu Rebellina Santy. Salam kenal dariku: Rifdah Iffah Rasyadah.
BalasHapusTerima kasih atas tulisannya, bu. Saya semakin yakin, hubungan persahabatan itu tidak boleh dari satu pihak. Persahabatan itu ibarat sepasang kekasih, harus ada kata jadian. Karena pada akhirnya kita yang akan terluka bila dikhianati/tak dianggap dengan teman yang telah naik tingkat: sahabat.
waalaikum salam Rifdah. Persahabatan yang baik butuh komunikasi dua arah dari kedua belah pihak. Kalau itu tidak terjadi (hanya sepihak), menurut saya sih bukan sahabat, hanya teman biasa..
HapusBagiku....dirimu sahabat, bunda syafa....muach...
BalasHapusBagiku....dirimu sahabat, bunda syafa....muach...
BalasHapusinsha Allah selamanya sahabat ya Nan. BFF kata Syafa, Best Friend Forever...
HapusSahabat itu jujur, teman itu ya sekadarnya aja, good sharing mbaknya
BalasHapusSalam,
Roza.
yup, betul.
Hapusteman butuh obrolan rutin biar ndak kaku, sahabat biar lama ga ngobrol juga asik aja
BalasHapussalam
riby
sepakat
HapusTeman akan membiarkan kita jatuh, sahabat tidak. Teman akan membiarkan kita sendiri, sahabat tidak.
BalasHapusSalam,
Rava.
sahabat akan tahu ada sesuatu yang terjadi dengan kita walau jarang berkomunikasi. semacam ada ikatan bathin. kalau teman, tidak begitu
Hapus