credit |
Jaman masih jomblo, saya suka ngumpul bareng rekan-rekan
sesama jomblo. Yang dibahas enggak jauh dari urusan jodoh. Bahasnya enggak
pakai galau, banyakan ketawa ketiwinya, berhubung kita-kita semua memang pada
mandiri, jadi terkesan deh agak gengsi kalau bahas jodoh pakai bahasa mellow,
padahal di dalam hati… , hmmm.
Nah saat lagi ngerumpi urusan inilah, salah seorang rekan nimbrung dan bilang kalau
pernikahan itu seperti perangkap tikus. Yang di dalam ingin ke luar, yang di
luar malah ingin masuk. Rekan ini sudah menikah loh. Wah, kita jadi melongo
mendengar celutukannya.
“Maksud Kakak?” tanya kita-kita, para jombloers saat itu,
masih belum jelas dengan maksud perkataannya. Kalau udah nikah, pengen keluar
dari pernikahankah alias cerai, gitu?
Diah mah senyum-senyum menanggapi keluguan kita. “Nikah itu
dari luarnya aja terlihat enak, menyenangkan. Tapi begitu menjalaninya, baru
terasa deh berrratnya…”
Ngomong berat itu pakai tekanan loh, sehingga huruf r nya
terkesan banyak dan lama…..Ih lebay! Saya nya,
yang menuliskan ini, bukan si kakak loh.
Dilalahnya, rasa penasaran kita tidak terjawab tuntas,
Beliaunya malah ngacir setelah tuntas melakukan transaksi.Jadilah celutukan Si
Kakak cuma menjadi sekedar wacana saja, sampai kemudian saya memutuskan
menikah, dan trala..
Belasan tahun menikah, berusaha beradaptasi dengan segala
dinamikanya, ucapan Si Kakak tentang perangkap tikus tidak lekang dari ingatan.
Saya merasakan, ucapan itu ada benarnya.
Menikah, menyatukan 2 pribadi yang berbeda itu butuh
penyesuaian seumur hidup. Itu masih antar pribadi suami-istri. Belum lagi
masalah menyatukan keluarga besar, anak-anak, finansial, dan buanyak lagi.
Kesepakatan-kesepakatan baru harus senantiasa dibuat. Kesabaran yang harus terus dihidupkan agar tak
kehilangan pengharapan pada pasangan, bila pasangan tak sesuai harapan. Atau
juga romentisme yang harus selalu dipupuk agar semangat menjalani pernikahan tetap
tarjaga , walau tak mungkin lagi sama seperti pengantin baru.
Dan sering kali pula perasaan jenuh dan lelah mendera jiwa.
Apalagi bila kenyataan hidup jauh dari ekspektasi semula. Ditambah
lagi misalnya dengan campur tangan pihak-pihak lain. Semakin runyamlah terlihat
pernikahan yang dijalani.Ibarat irama, udah enggak enak lagi di dengar dan
didendangkan bersama.
Saat itu terjadi, perasaan merindukan saat diri masih menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki kendali penuh atas diri sendiri pun hadir. Nah, di sinilah ungkapan pernikahan seperti perangkap tikus itu terasa banget benarnya. Lalu, apakah kemudian dengan naifnya pernikahan itu kemudian disudahi?
Saat itu terjadi, perasaan merindukan saat diri masih menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki kendali penuh atas diri sendiri pun hadir. Nah, di sinilah ungkapan pernikahan seperti perangkap tikus itu terasa banget benarnya. Lalu, apakah kemudian dengan naifnya pernikahan itu kemudian disudahi?
Bukan perangkap namanya kalau tikus akan mudah keluar
setelah masuk ke dalam perangkap dan memakan umpan. Andai segampang itu.., pasti jalan itu yang
banyak dipilih. Berpisah, meninggalkan kenangan yang menyakitkan, lingkungan yang
tidak mendukung, lalu melanjutkan
kehidupan yang baru.
Namun perlu diingat, yang namanya perangkap, kalaupun
berhasil keluar dari perangkap, tubuhnya pasti mengalami luka. Walau mungkin
segores, tetap luka, bukan? Begitu juga dengan pernikahan. Tidak mudah untuk
berpisah, segampang menganalogikannya dengan perangkap tikus. Banyak
pertimbangan, salah satunya anak-anak. Menjadikan pernikahan dengan segala dinamikanya sebagai ladang amal ibadah, termasuk salah satu cara untuk bertahan dalan ikatan suci tersebut.Tapi tentu saja tidak semua memilikip endapat yang sama,bukan?
So, menurutmu bagaimana? Benarkah pernikahan itu seperti
perangkap tikus? Lalu, apa solusinya bila itu yang dirasakan?Bagi pendapatmu di
komentar ya :)
Menjadikan pernikahan dengan segala dinamikanya sebagai ladang amal ibadah
BalasHapussaya setuju dgn yg ini mak, dengan segala pahit manisnya :)
betul. perangkap hanya bagi yang tidak iklash ya
HapusIstilah masuk perangkap tikus itu lebih tepat bila pasangan yang menyatukan ikrar dlm ikatan pernikahannya tidak ikhlas menjalani kehidupan pasca pernikahan... Sehingga ketika menemukan pernak-pernik kecil dlm pernikahan merasa ada suatu ganjalan... Mudah-mudahan kita yg sudah terikatan pernikahan bisa ikhlas menjalaninya sebagai ladang ibadah...sehingga gak ada tuh istilahnya masuk perangkap tikus...
BalasHapusbarangkali yang menganggap begitu, ekpektasinya terhadap pasangan dan pernikahan kelewat besar, dan tidak berusaha menerima diri dan kondisi perniakahan mereka ya Mak
Hapussaya gak pernah terpikir kalau itu suatu perangkap, sih. Walopun memang kadang suka ada rasa kesal. Tapi, mencoba menikmati saja :)
BalasHapuskalau saya, jujur, sesekali terpikir begitu. tapi kembalikan diri dengan tujuan sebagai ibadah. akhirnya, sadar :)
HapusMaka sebaiknya nikah jangan karena umur atau merasa harus, nikah tuh karena siap sharing life experience dengan 1 orang yang compatible dgn kita. Baiknya kedua belah pihak terbiasa mandiri sejak kecil, bukan yang tipe netek ibunya (tinggal serumah walau udh dewasa). Tipe org macam ni biasanya ga siap dgn dunia rumah tangga krn terbiasa nebeng di kehidupan rumhtgga ortunya tnp terbiasa memegang tgjwb thdp diri sendiri.
BalasHapusKeluarga Indonesia rempong sih. Apa2 ikut campur. Belum lagi kepatriarkisan yang menjijikan dimana wanita yg selalu disalahkan kalau ada konflik rumah tangga.
:) makasih udah komen ya. Enggak semuanya juga keluarga Indonesia begitu, walau tak dipungkiri ada juga yang begitu ;)
Hapus