Alamanda, sumber foto: di sini |
Jengkel! Itulah yang kurasakan
pertama kali saat ibu mertua datang ke rumah dengan ‘setumpuk tanaman’.
Sebagian dalam pot, dan sebagian lagi dalam polibag. Terus terang, aku
tidak begitu tertarik dengan urusan tanam menanam kala itu. Wong kesibukan mengurus anak dan rumah tangga saja
sepertinya tidak ada habis-habisnya, boro-boro harus ngurusin tanaman. Tapi tentu saja tidak pantas aku menunjukkan
perasaanku kepada Nin, panggilankukepada Ibu Mertua. Jadilah dengan setengah hati aku menerima amanah harus mengurus tanaman yang sudah Beliau bawa jauh-jauh dari Serang.
“Biar
rumah kalian terlihat lebih indah dan asri. Rumah yang banyak tanamannya pasti indah dipandang
mata,” tutur Beliau.
Aku
manggut-manggut dengan pikiran lain yang berkecamuk di benakku. Duh…, bertambah
deh kerjaan dengan ngurusin tanaman.
Tapi tak kupungkiri kata-kata Nin benar. Setiap kali berkunjung ke rumah
Nin, selalu mata ini tertambat pada jejeran tanaman yang tumbuh subur dalam
pot-pot bunga yang di tata asri. Selain
terlihat indah, rasa teduh dan perasaan
tentram pun turut hadir di tengah suasana. “ Tapi Nin dan Aki khan sudah tidak
punya anak lagi buat diurusi,” bathinku ,mencari-cari alasan pembenaran
kejengkelanku terhadap titipan tanaman tersebut. Tetap saja akhirnya aku harus
menerima bahwa sekarang di rumah yang kami tempati , selain urusan keluarga ,
bertambah lagi beban yang harus kuurus. Setumpuk
tanaman hias dari Nin!
suplir,salah satu koleksi tanamanku |
Tak punya
pengalaman sama sekali dalam mengurus tanaman membuatku kerepotan juga dengan
hal ini. Walau mamaku juga hobi menanam tanaman hias dan rumah kami juga cukup teduh dengan adanya
pohon Nangka yang rajin berbuah di halaman depan rumah, tetap saja tak
menumbuhkan minatku dalam hal tanam menanam ini. Apalagi sekarang, pikirku.
Ngurus rumah tangga dan anak-anak saja
aku keteteran. Namun semua dalil pembenaran atas kejengkelanku mental begitu aku membayangkan bagaimana
sikap Nin saat datang ke rumah kami nanti dan menemukan kenyataan bahwa semua tanaman
yang dibawanya dengan penuh cinta itu
mati.
Maka
mulailah aku menyisihkan perhatianku terhadap tanaman-tanaman tersebut.
Mula-mula tanaman hias yang dalam pot aku
letakkan di teras depan. Maksud hati agar teras rumah menjadi terlihat sedikit
manis. Ternyata letak rumah yang menghadap barat tidak cocok untuk tanaman hias
tersebut. Intensitas cahaya matahari yang tinggi menyakiti tanaman tersebut. Walau kusirami
(saat ingat saja, hehehe), daun-daunnya tumbuh merana, dengan ujung-ujungnya
kering seperti terbakar. Walaah…., ini
bisa jadi bencana kalau tanaman tersebut sampai mati. Maka aku pun berinisiatif
memindahkannya ke sisi kiri rumah. Sama saja.
Tanaman yang sudah merana itu semakin sekarat. Bahkan sebagian ada yang
mati. Posisi sisi kiri rumah memang
tidak langsung menghadap matahari. Tapi tetap saja intensitas cahaya matahari cukup
kuat menerpa daerah ini.
Dengan asumsi seperti itu, aku
pun kembali memindahkan pot-pot tanaman itu ke sisi kanan rumah. Walau cuma
memiliki lebar sekitar 90 cm, daerah sisi kanan rumah ini cukup terlindungi
dari paparan langsung sinar matahari.
Apalagi dengan adanya tembok setinggi 2,5 m yang membatasi rumah kami
dengan rumah tetangga, membuat intensitas matahari menjadi terhalang tembok dan
atap rumah. Di area ini, semua tanaman itu aku keluarkan dari potnya dan
langsung kutanam di tanah. Di sini
tanaman-tanaman tersebut mulai terlihat membaik. Bahkan beberapa minggu
kemudian, tersebut mulai terlihat tunas-tunas baru, pertanda bahwa tanaman itu
tidak lagi sekarat, malah mulai
bertumbuh. Dan aku pun senang.
Sebagian
tanaman yang masih dalam polibag, aku tanam di halaman belakang yang masih
cukup luas dan teduh dengan adanya sebatang pohon Alpukat yang tumbuh subur.
Pohon Alpukat itu sudah ada saat kami baru pindah. Hanya saja tumbuh merana
dengan daun yang meranggas. Setelah beberapa bulan kami tempati, pohon Alpukat itu mulai membesar dengan tunas-tunas
daun baru yang bermunculan di sana sini. Mungkin karena setiap hari aku sirami
dengan air cucian beras dan ikan. Kini dia sudah tumbuh besar dan cukup
meneduhkan halaman belakang rumah kami.
Di area
halaman belakang ini, semua tanaman hias yang dalam polibag itu tumbuh.Sebagian
ada yang subur, dan sebagian terkesan stagnan walau tetap hidup. Tapi tidak
dengan satu jenis tanaman yang saat itu satu-satunya tanaman hias yang aku tahu
namanya. Itu pun tahunya dari Nin. Alamanda! "Nin beli Alamanda ini mahal lho.." katanya waktu menyerahkan Alamanda yang masih setinggi sekitar 30 cm di dalam polybag.
Mendengar kata mahal, aku jadi tidak enak hati. Berarti aku
tidak boleh setengah hati merawatnya. Awalnya aku biarkan saja bunga itu tetap di
tempatnya, di polybag. Namun dalam beberapa minggu, tanaman tersebut tidak
menunjukkan perkembangan apapun. Mati tidak, tunas baru juga tidak muncul. Aku
berinisiatif dengan memindahkannya ke tanah di sisi kiri halaman belakang.
Di tempatnya yang baru di sisi kiri halaman belakang , Alamanda
tersebut malah terlihat semakin tidak
sehat. Waduh…, jangan mati deh…, pikirku.
Apa kata Nin nanti kalau Alamanda ini mati? Bathinku khawatir.
kk di halaman sisi kanan rumah |
Keuntungan lainnya semenjak si Alamanda semakin subur dan
rimbun, membuat sisi kanan rumah semakin teduh. Ditunjang tekstur tanah
yang sedikit berpasir (sisa-sisa
pembangunan dapur rumah), apapun tanamannya, bila kami letakkan di area
tersebut, pasti tumbuh subur. Padahal tanaman tersebut jarang kusiram , apalagi
di beri pupuk. Karenanya, area kanan
rumah tersbut kunamakan dengan karantina tanaman, sebab aku selalu menempatkan
tanaman yang sakit di situ sampai pulih. Sedangkan tanaman yang tumbuh subur dan
berkembang biak, sebagian aku pindahkan ke dalam pot .
Tanpa
kusadari selama proses kerepotanku mengurus si Alamanda, membuat aku menyenangi
kegiatan yang satu ini. Ada kepuasan tersendiri saat tanaman itu bisa tumbuh
baik, apalagi sampai mempunyai anakan.
Tapi tak jarang juga aku menjadi kecewa bila ada tanaman yang mati. Tapi dari
situ aku belajar sedikit demi sedikit tentang tanaman , mulai dari nama
tanamannya, media yang tepat untuk pertumbuhannya, cara memperbanyak
tanamannya, serta intensitas cahaya matahari dan kelembaban yang dibutuhkan,
serta semua hal yang terkait dengan tanaman. Aku pun membuat pupuk cair sendiri
dari sisa-sisa buah jambu biji yang
memang banyak tumbuh di daerahku ini, karena aku memang bertekad tidak memakai
pupuk kimia untuk semua tanaman yang ada di area halaman rumah kami.
Semenjak
itu, kecintaanku pada dunia tanam menanam ini menjadi bertambah-tambah. Apalagi
aku sangat didukung oleh suamiku. Lahan
yang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan, tidak kami biarkan kosong. Aku pun mengajarkan pada anak-anak untuk
terbiasa membuang sampah di dua zona. Zona sampah organik, dan sampah
anorganik. Selain itu, mereka juga kudidik untuk ikut memelihara lingkungan
dengan salah satu caranya adalah mencintai tanaman. Bahkan kini Ayah (suamiku) ikut semangat dengan rajin
membuat lubang bio pori. Selain sebagai resapan air saat hujan, juga bisa
dimanfaatkan sebagai tempat sampah
daun-daun yang berguguran. Dalam 2-4
minggu, lubang bio pori tersebut bisa dipanen. Hasilnya: kompos!
salah satu koleksi tanaman buah Rebellina |
pohon salam koleksi rebellina |
Sekarang,
selain tanaman hias, halaman rumah kami sudah hampir penuh dengan berbagai
jenis tanaman. Untuk sisi kanan yang kunamakan dengan area karantina tanaman,
dipenuhi oleh berbagai jenis tanaman hias, karena untuk tanaman berbatang
keras, luas tanahnya tidak memungkinan. Selain Alamanda, ada Sri Rejeki, Zodia
si Pengusir Nyamuk, Pegagan (yang sengaja kubiarkan tumbuh menutupi tanah),
sejenis palem, Puring, Sansiviera, dan beberapa jenis lagi yang aku tidak hafal
namanya. Di halaman belakang beberapa
jenis pohon pisang seperti pisang Siam,
Pisang Raja, Pisang Ambon, dan Pisang Lampung. Semua jenis pohon pisang
tersebut telah kami nikmati hasil buahnya, dan tentu saja juga dibagi ke
tetangga. Selain itu, ada Alpukat, Sukun, Salam, Jahe , Kunyit, Lempuyang,
Lengkuas, Sirsak, Srikaya, Pandan, Jambu biji merah, dan Pepaya. Rame bukan?
Halaman
depan yang memiliki area yang paling luas untuk ditanami, dipenuhi oleh tanaman
berbatang keras ( walau adajuga tanaman hias),seperti Rambutan, Durian, Jeruk
(ada beberapa varietas), Mangga, dan
Jambu Air.
tanaman daunjeruk untuk bumbu koleksi Rebellina |
Memang belum semua tanaman itu memberikan
hasil (buah),tetapi perasaan teduh dan
adem sudah sangat terasa disekitar rumah. Apalagi di halaman belakang, tempat
favorit kami sekeluarga untuk menikmati senja ditemani cemilan dan kopi panas.
Ayunan yang kami buat sendiri dari tali dan sebilah papan dan diikatkan pada
dahan pohon Alpukat, membuat anak-anak
betah bermain di sana. Aku sendiri kadang suka iseng main di ayunan tersebut,
sembari berbagi cerita masa kecilku dengan anak-anak. Suasana seperti ini sangat berbeda 180 derajat
dibanding saat pertama kali kami menempati rumah ini 4 tahun yang silam. Saat itu, pohon yang ada cuma sebatang
Alpukat yang meranggas dan tanah kering
yang panas.
Kini, aku sedang menekuni tentang
tanaman obat. Selain mencari dan mengumpulkan data, aku juga mencoba belajar
lebih jauh tentang meracik obat herbal. Ke depannya, aku dan suami
bercita-cita memiliki lahan luas dimana
kami bisa mewujudkan mimpi kami memiliki usaha yang berbasis alam dan membawa
manfaat, tidak hanya pada banyak orang, tetapi juga pada alam itu sendiri.
Waktu saya bilang pengen punya tanaman, justru ibu saya bilang, gimana bisa ngurus tanaman, ngurus anak saja keteteran :D
BalasHapushahaha, kebalik ya Mbak dengan saya. trus, sekarang gimana? jadi punya tanamannya?..
Hapuswaaa...mau jambunya mba.... sy juga nanti kalo udah punya rumah mau tak tanemin buah2an.. :)
BalasHapusdido'akan agar punya rumah segera dan bisa tanam menanam. kalau sekarang nanam di polibag aja dulu Bu. ntar tinggal pindahin..
Hapuswah bisa jadi modal usaha tu mbak...jualan tanaman aja hehe
BalasHapussebentar lagi mau buka ol shop khusus bibit dan alat pertanian. doakan ya..n, beli ya. heheheh
Hapuskata ibu ku kalo punya pohon buah buahan jadi banyak teman..karena kalo lg berbuah lebat tetangga yang jauh pun nyamperin..(minta buahnya apalagi kalo buah mangga he..he)
BalasHapusbener banget bu. juga jadi ajang alat silaturahmi. pengalaman dengan rambutan yang buahnya lebat dan dibagi-bagi ke saudara dan teman sebagai buah tangan silaturahmi. makasih sudah mampir ya bu, dan salam kenal
HapusWaaah bisa dibudidayakan lebih banyaak ya,mbak :) siapa tahu bisa jadi tambahan penghasilan nantinya.Terus smngaaat menulisnyaa ;)
BalasHapusbetul mbak. awalnya satu, lama kelamaan malah jadi kebanyakan. ke depannya bercita-cita menekuni usaha ini. semangat? tetap!!!! heheheh
Hapuscantik ya Mba hasilnya,dulu rumah di Cibubur juga banyak tanamannya, senang sekali kalau pas berkebun sekeluarga, enaknya punya kebun sendiri kalaubutuh apa-apa tinggal cari di pekarangan gak usah jauh2 nyari ke warung or pasar :)
BalasHapusbetul Mbak..Selain itu berkebun juga merupakan sarana relaksasi selain hasil yang bisa dinikmati tentunya.
HapusMbak,senang banget baca tulisannya apalagi mengenai bercocok tanam.walau tanah rumah kecil kami kurang memadai untuk berkebun seperti keluarga mbak,tapi kami upayakan bercocok tanam juga dengan tanaman kecil.
BalasHapusterima kasih sudah mau berkunjung. walau halamankecil, bisa diakali dengan membuat vertikal garden, Mbak. atau tanam di polibag, dan susuna bertingkat :)
HapusSubhanallah keren banget mba. Mlongooo deh baca koleksi buah2an dan umbi2an keperluan memasak hehe.
BalasHapusPasti rumahnya punya pekarangan luas bgt ya mba. Oiya mba. Aku sdg menanam alamanda untuk menutup jendela kamar krn rumah menghadap barat. Bbrp hari terakhir jd agak kering. Bs bertahan gak ya mba sampai lebaaatt gitu?
bertanama alamanda memang gampang-gampang susah. stkan saya sejauh ini gagal total, walau alamanda saya suburnya minta ampun. anakannya hanya 2 yang berhasil di pindah dan masih mencoba survive. kuncinya ternyata rajin di siram kalau dia terlalu kena papar matahari. siram tiap hari mba, walau cuma sekali sehari, dan beri pupuk organik, misalnya EM4, air cucian beras atau ikan. mudah-mudahn segar pohonnya
Hapus