![]() |
Anak-anak bermain dalam Tetangga Sebelah Rumah. Gambar milik dan dibuat oleh Aisyah Rania |
"Parhuta-huta...Tolong
kami!!"
Teriakan seorang perempuan di
jam 3 malam itu sontak membangunkan saya, papa saya, dan tetangga sekitar.
Teriakan yang dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan sebagai, "Orang
kampung, tolong!" ternyata berasal dari tetangga sebelah rumah persis di
samping kiri rumah. Kalau saya buka jendela kamar, langsung bisa lihat teras
depan rumahnya, walau antara rumah kami dengan tetangga dibatasi tembok pendek.
Buru-burulah papa saya membuka
pintu depan dan menemui tetangga kami tersebut. "Ada apa, Ito?" tanya
papa saya. Ito itu panggilan sopan untuk perempuan dalam bahasa Batak. Papa
saya walau bukan Batak asli, tapi mahir berbahasa Batak karena pergaulan.
"Amangnya (Bapaknya)
anak-anak, Lae" jawab tetangga kami. Lae itu panggilan sopan untuk
laki-laki.
Bergegaslah kami ke rumahnya
bersama tetangga perempuan tersebut. Di rumahnya yang sederhana, terbuat dari
papan kayu, cuma terdiri dari ruang tamu, satu kamar, dan dapur, terbaring
suaminya, yang disebutnya amang (bapak) anak-anak tadi.
Si Bapak ini sehari-harinya
berprofesi sebagai tukang becak. Mereka baru beberapa bulan ngontrak di rumah
ini, dan punya dua anak kecil, perempuan dan laki-laki. Saya suka melihat dua
bocah yang paling masih berusia 4 dan 2 tahun ini setiap sore, sudah rapi dan
bersih, serta pipinya disaput bedak. Kadang-kadang, bedaknya cemang cemong di pipi mereka, tapi justru itu yang suma membuat saya tersenyum melihat keduanya.
Terus terang, saya enggak begitu tahu tentang tetangga ini, kecuali dua anak kecilnya ini (karena mereka setiap sore melintas
di depan rumah) karena saya sibuk kuliah. Lagipula mereka
baru beberapa bulan ngontrak rumah di samping rumah saya. Kalau tetangga yang
punya kontrakan itu sih, kami kenal dan cukup bergaul.
Kembali ke si Amangnya
anak-anak. Dia berbaring di atas lantai semen tak bergerak.Para tetangga
sekitar sudah ramai berkmpul di depan pintu, ingin tahu apa yang terjadi.
sementara sang ibu, kita sebut aja si Ito, masih menangis-nangis meratap di
samping si Amang yang terbaring.
Papa pun berinisiatif
bertanya, apakah Si Amang sedang sakit. Si Ito masih meratap menjawab kalau si
Amangnya anak-anak sudah tidak ada, alias meninggal. Wah, kita jadi maklum
mengapa Si Ito teriak-teriak. Rupanya suaminya meninggal.
Saya, dan salah satu teman
yang juga tetangga depan rumah (namanya Moy) salah satu yang ikut kepo di depan pintu saat itu. Moy menggamit bahu
saya sambil ngomong begini, "Ren, kau lihat di leher si Amang, ada apa
itu?"
Saya pun mengikuti pandangan
mata Moy ke leher Si Amang, terlihat seperti sesuatu berwarna kuning melingkar
di lehernya. Entah mengapa, mata saya refleks melihat ke langit-langit rumah,
dan saya lihat ada tali berwarna kuning tergantung, dan ujungnya seperti di
potong paksa, meninggalkan serabut yang tak beraturan. Deg! Hati saya langung
ambil kesimpulan.
Saya ngomong ke papa saya,
"Pa, kayakanya Amangnya anak-anak bunuh diri. Lihat leher di talinya dan
di atas. Sama!"
Papa saya kaget, dan melihat
ke atas. lalu, dia pun bertanya ke si Ito. "Maaf Ito, apakah Amang bunuh
diri?"
Si ito menangis menjawab,
"Iya Lae!"
Sontak semua jadi geger.
Ternyata, sebelumnya tidak satu pun ada
yang memperhatikan kalau si Amang ini bunuh diri
Begitu tahu ini bunuh diri, gegerlah sekitar, dan Papa pun enggak berani mendekat dan terlibat lebih jauh. Beberapa waktu kemudian polisi datang seiring serta keluarga dari pihak Si Amang yang meratap-ratap dalam bahasa Batak serta menyumpah-nyumpahi si Ito.
Sungguh, saya miris sekali saat itu melihat Si Ito. Sudahlah tertimpa kemalangan, disudutkan pula oleh kerabat suaminya, dan kita cuma bisa jadi penonton karena memang kita tidak tahu betul kejadiannya bagaimana, dan bagaimana pula kehidupan rumah tangga mereka.
Singkat cerita, jenazah Si Amang di bawa oleh kerabatnya, dan setelah kejadian itu, rumah itu ditinggalkan kosong.
Selama beberapa waktu setelah kejadian tersebut, hampir keseluruhan tetangga tidak ada yang berani keluar malam. Soalnya, setelah azan maghrib, pasti suara anjing melolong terdengar. Tahu sendiri khan lolongan anjing saat sepertinya dia melihat 'sesuatu'?
Saya sendiri tidak berani tidur di kamar, karena kamar saya bersebelahan dengan rumah tersebut (walau berjarak sekitar 5m), dan berhadapan dengan jalan depan. Soalnya, sebagian tetangga mengaku sering mendengar suara orang mengayuh becak di tengah malam, diiringi suara lolongan anjing. Si Amang memang lebih banyak narik becaknya saat malam hari.
Aura kematian si Amang memang bikin merinding. Tapi yang membekas sangat dalam ingatan saya adalah, dua bocah kecil lugu, yang setiap sore sudah rapi dan bersih bermain di depan rumah. Terkadang mereka bersama ibunya duduk di dalam becak yang dikayuh bapaknya sambil jalan-jalan sore. Sebuah potret keluarga kecil sederhana yang bahagia. Tapi siapa sangka, Sang Bapak mengakhiri hidupnya di depan anak-anaknya yang sedang tertidur, seperti kesaksian istrinya, bahwa malam itu meereka bertengkar (katanya soal ekonomi). Lalu sang istri memilih tidur di ruang tamu bersama anak-anaknya. Saat lelap tertidur, si bapak menggantung dirinya di ruangan yang sama, dan membuat istrinya terbangun. Mendapati suaminya tergantung, dia berusaha memutuskan tali dengan pisau, namun ternyata nyawa Si Bapak tidak tertolong, sampai kemudian dia berteriak-teriak minta tolong.
Itu kisah bertahun-tahun lalu,
saat saya masih dikota asal. Peristiwa yang masih saya ingat jelas, terutama
gambaran dua bocah kecil dengan bedak yang tersaput di wajahnya. Semoga kedua
bocah kecil itu tumbuh besar dan dalam keadaan baik-baik serta bahagia, dan
dalam lindungan Tuhan, dimanapun mereka berada..
Semoga keluarganya sabar ya. Mba Apa kabar?
BalasHapusAlhamdulillah, kabarnya akhir-akhir ini berangsur meringankan hati, hehehe. Mbak Kaania, dah lama ya enggak bertukar kisah. aku memang lagi undur diri sejenak beberapa waktu lalu
Hapus