Bintang merasa bersalah dan takut menjadi anak durhaka terhadap ibunya. Apa pasal? Sebabnya Bintang merasa dia tidak punya empati, simpati dan perasaan rindu terhadap Ibu yang tinggal di sebrang pulau. Dan justru perasaan seperti itu membuat Bintang merasa jadi anak yang durhaka. Tapi, Bintang tidak bisa memaksa dirinya untuk bisa merindukan dirinya. Ibu telah banyak membuat luka di hati Bintang.
Episode Dua
Jangan Hina Aku, Ibu
Panggil aku Bintang. Terlahir dari seorang Ibu yang berparas cantik dan menjadi incaran banyak pemuda di kota asalku. Ibu memang terlihat sangat indo, karena kakekku memang berdarah Jerman-Cina, sedangkan nenekku Jawa tulen. Dengan rambut lebat, kulit putih bersih dan mata bulatnya yang indah, tak heran banyak pemuda yang berlomba-lomba ingin menjadikan Ibuku sebagai istrinya.
Takdir menentukan bahwa ternyata jodohnya adalah ayahku. Seorang laki-laki biasa yang kerjanya serabutan. Terkadang menarik beca, tak jarang jadi kuli bangunan, terakhir menjadi supir angkot.
Kukira, pernikahan dengan ayah itulah awal ‘sikap tak lazim’ Ibu . Harapan Ibu terhadap keduniawian, berbanding terbalik dengan kenyataan hidup yang dijalaninya. Apalagi kemudian dia dianugrahi anak susul menyusul setiap tahunnya. Mulai dari aku, Sulung, sampai anak ke 5 hanya berjarak setahun lebih saja antar anak. Jadi kami bersaudara dengan 2 perempuan dan 3 orang laki-laki. Kebayang khan betapa susahnya hidup Ibu..
Tak hanya itu, Ibu juga harus menanggung beban hidup ibunya (nenekku) dan dua adiknya. Nenek dan kakek sudah bercerai, jadi bisa dikatakan ibu korban keluarga broken home.
Ibu pernah bercerita, bahwa sebelum menikah dengan ayah Ibu pernah bertunangan dengan seorang pria yang sudah cukup mapan di salah satu intansi pemerintahan. Entah kenapa pertunangan itu kemudian batal. Yang aku tangkap, yang membatalkan pertunangan itu adalah Ibu sendiri. Sepertinya karena secara fisik laki-laki itu tidak sesuai dengan kriteria Ibu. Seringkali ibu mengatakan menyesal telah membatalkan pertunangan tersebut, karena laki-laki itu kemudian memiliki jabatan prestisius di instansinya. Apalagi kalau laki-laki itu muncul di TV, Ibu kerap melontarkan hal tersebut. Tentu saja saat ayah tak ada.
Lalu, bagaimana dengan sosok ayah?
Ayah berasal dari daerah yang terkenal dengan gadis-gadis cantik dan pemudah gagahnya. Apalagi ayahnya ayahku adalah keturunan Portugis. Diantara anak ayah-ibu, hanya aku yang sangat terlihat berwajah oriental, sedangkan keempat adikku ya percampuran antara Jerman-Cina, Jawa , Portugis-Menado, dan Batak. Beragam sekali,bukan?
Aku tidak tahu, apa karena terbiasa mendapat pemujaan dari orang-orang di sekelilingnya yang memuja kecantikan fisiknya, Ibu menjadi terobsesi dengan hal tersebut. Dan dimatanya, aku terlihat mengecewakan.
Tidak pernah aku mendengar Ibu memanggilku dengan sebutan, “Sayang..”, Apalagi “Cantik”
Justru panggilan berupa hinaan akan bagian dari fisikku yang kurang (di mata Ibu) itu yang paling sering kudengar. Mau tahu Ibu memanggilku apa? “Bintang Pesek!” itulah nama panggilanku. Dan nama panggilan itu pun yang juga kerap diikuti oleh adik-adikku ketika memanggilku. Hanya saja saat kecil, kuanggap itu sebagai panggilan dalam suasana bercanda.
Di dalam keluargaku, tidak pernah diajarkan untuk menghormati saudara satu sama lain, semisal memanggil yang lebih tua dengan sebutan Kakak, atau abang, atau Mbak. Jadi memanggil nama satu sama lainnya dianggap biasa. Begitu juga dengan nama panggilan yang berupa ejekan. Malah dianggap sebagai bagian dari gurauan. Padahal, itu melukai hatiku yang paling dalam. Bayangkan, sampai dewasa dirimu masih dipanggil dengan sebutan yang bernada hinaan.
Sebenarnya, nama panggilan berupa ejekan tidak hanya menimpaku, adikku-adikku juga. Masing-masing punya nama panggilan yang berupa ejekan, semisal, boneng (gigi yang maju ke depan), atau bendol (jidat agak jenong). Hanya saja, Ibuku kalau dalam keadaan marah, tidak pernah memaki mereka dengan ungkapan penghinaan fisik tersebut. Tetapi padaku?
Kata ‘pesek’ tidak akan cukup untuk meluapakan emosinya padaku. Tambahan muka jelek, muka lepes, anak sial, sudah jadi santapan batinku dari mulutnya saat dia lagi marah. Terutama bila dia bermasalah dengan ayah. Ya, sampai Ayah menutup mata, hubungan ayah dan Ibu seperti badai tornado . Jadi, bayangkan saja setiap kali dia bermasalah dengan ayah, aku arus menerima kata-kata sampah dari mulutnya.
Ibu memang menjadikanku seperti tong sampah untuk setiap permasalahan yang dia hadapi. Terutama sekali, Ibu gemar sekali mengata-ngataiku dengan hinaan fisik, seperti muka jelek, hidung pesek, anak sial dan aku bakalan akan menjadi beban hidupnya karena fisikku yang jelek ini membuatku tidak laku kawin nantinya. Saking herannya aku dengan sikap Ibu yang keji dengan kata-katanya, aku pernah bertanya pada nenekku, apakah aku anak tiri Ibu? nenek menjawab, aku adalah anak kandung Ibu!
Ibu memang menjadikanku seperti tong sampah untuk setiap permasalahan yang dia hadapi. Terutama sekali, Ibu gemar sekali mengata-ngataiku dengan hinaan fisik, seperti muka jelek, hidung pesek, anak sial dan aku bakalan akan menjadi beban hidupnya karena fisikku yang jelek ini membuatku tidak laku kawin nantinya. Saking herannya aku dengan sikap Ibu yang keji dengan kata-katanya, aku pernah bertanya pada nenekku, apakah aku anak tiri Ibu? nenek menjawab, aku adalah anak kandung Ibu!
Apakah saat-saat ibu normal, dalam artian tidak sedang marah Ibu akan terlihat menyayangi kami anak-anaknya? Aku tidak tahu dengan adik-adikku, tapi sepanjang aku hidup dengan Ibu dalam satu rumah, Ibu tidak pernah sekalipun memeluk dan menciumku dengan perasaan sayang . Cium tangan memang dilakukan, saat sungkeman di hari Lebaran. Tapi itu pun sekedar tradisi. (saat aku dan adik bungsuku saling curhat, ternyata dia pun mengungkapkan perasaan yang sama, bahwa tak pernah sekalipun merasa dipeluk dan dicium oleh Ibu dengan perasaan sayang)
Bagaimana dengan Ayah?
Ayahku bukan sosok suami ideal. Jujur saja. Pemarahnya luar biasa, terutama kalau lagi bertengkar dengan Ibu. Walau pun tidak pernah melayangkan tangannya ke Ibu, tapi barang-barang di rumah yang menjadi sasarannya. Tidak terhitung meja kaca, lemari, dan kursi yang menjadi korban. Hancur berantakan. Itu belum lagi perasaan malu, karena setiap kali bertengkar, pastilah tetangga sekampung jadi menonton keributan yang terjadi di rumah kami. Dengan hal-hal itu yang terjadi hamper setiap hari, kami berlima tumbuh. Masing-masing membawa karakternya sendiri.
(Saat usia semakin menua, ayah semakin bertambah bijaksana. Semakin berubah ke arah yang lebih baik. Seperti berusaha menebus segala salah yang pernah ada. Tapi Ibu sebaliknya. Semakin usia bertambah, semakin bertambah-tambah egoismenya. Itulah yang membuat kami semua mengenang alm Ayah bukan karena masa lalunya. Justru karena kedekatan yang dia coba jalin pada kami di usia senjanya, dan juga pada cucu-cucunya).
Syukurnya, walau karakter Ibu begitu, aku tumbuh dikelilingi oleh orang-orang yang masih sangat peduli dan memberikan cintanya padaku. Kakekku, nenekku, tanteku, pakdeku dan omku. Semuanya dari pihak Ibu dan rumahnya memang dekat dengan rumah kami. Aku memang kurang dekat dengan keluarga dari pihak ayah (walau rumahnya juga hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami), karena memang sejak bayi aku diasuh oleh nenek. Keluarga dari pihak ayah juga beda agama dengan kami. Tapi bukan karena agama yang beda yang membuat aku tidak dekat dengan keluarga ayah, melainkan karena Ibu juga menanamkan kebencian pada keluarga ayah sejak kami kecil.
Salah satu penyakit Ibu lainnya adalah, suka menyuntikkan racun kebenciannya terhadap orang lain kepada kami. Atau bila Ibu lagi bermasalah dengen seseorang, Ibu pasti akan berusaha menarik dukungan dari kami anak-anaknya, dan menjelek-jelekkan orang yang dibencinya di hadapan kami. Bila Ibu bertengkar denganku, maka Ibu akan habis-habisan menjelk-jelekkanku di hadapan ayah. dan sebaliknya, bila Ibu bertengkar dengan ayah, Ibu akan mati-matian menjelek-jelekkan Ayah di hadapan kami semua. Tak heran, kami bersaudara pun tidak dekat satu sama lainnya. Karena Ibu mendidik kami dengan cara begitu...
Bersambung...
Episode selanjutnya : Ibu, jangan jadikan aku pembohong!
Episode selanjutnya : Ibu, jangan jadikan aku pembohong!
Pengen baca lanjutannya, Mbak. Sebagian perasaan pelaku mewakili perasaan saya ^^
BalasHapusnanti aku tag ya kalau sudah selesai kelanjutannya...
Hapushmm, semoga ibu tetap mendapat kebaikan dari apa yang telah dia lakukan meskipun sedikit. mengandung anak saja sudah cukup berat, apalagi membesarkan, mba. ditunggu lanjutannya. :)
BalasHapusTentu Mbak Ila. tidak ada sebiji jarah pun perbuatan yang luput dari balasan Allah, termasuk beratnya prose mengandung dan melahirkan anak. Ada semua di bagian selanjutnya
Hapussemoga saya bisa jd ibu yg baik..amiiin :(
BalasHapusyakin kalau Mak Kania adalah ibu yang baik...
HapusSedih kisahnya, mabaa ... Saya ya berharap orangtua menberikan yang terbaik untuk anaknyaa ....
BalasHapusiya Mbak. pastinya kita sebagai orangtua berharap bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. semoga kisah ini bisa menginspirasi orangtua yang lain...
HapusCan't wait to read the rest of the story, mba :D
BalasHapussudah ada lanjutannya. kalau berkenan, silakan baca :)
HapusWaiting for the next episode.
BalasHapusTag saya ya mbak... please :) *ga mau ketinggalan. Terimakasih
aku tag ya, karena sudah selesai. lama dilanjutkan, tepar karena cuaca. eh curcol :)
HapusTag aq terus ya mba.... :)
HapusApa sebenarnya yang membuat sang ibu sering bertengkar dg sang ayah? Faktor ekonomi kah?
si ibu pasti mengalami masalah yg cukup pelik dalam kehidupannya sampai2 berlaku seperti itu thdp keluarganya. penasaran. tag saya di post selanjutnya ya mbak
BalasHapussemoga lanjutannya bisa sedikit menjawab mengapa ibu begitu
Hapus*nunggu sambungannya*
BalasHapus*nunggu sambungannya*
BalasHapussudah ada lanjutannya...
Hapusgak sabar pengen baca lanjutannya Mbak..
BalasHapussudah ada Mbak. kelamaan lanjutannya :)
Hapussedihnya, hiks :(
Hapusdihina oleh orang terdekat itu adalah hal yang paling menyedihkan sekaligus menyakitkan yah Mba :(
semoga kita semua menjadi ibu yang selalu berlaku adil pada semua anak-anak kita, amin..
kalo udah ada lanjutannya saya di tag yah Mba..
gak sabar nunggu lanjutanya :)
BalasHapussudah mbak. monggo dibaca bila berkenan
HapusHmmm...menyimak aja dulu sambungannya..baru ikutan koment...hehehe...jangan lupa di tag ke saya ya ibu rebellina
BalasHapusok deh..
HapusMbak tag saya juga ya :)
BalasHapuswah..,nama FBnya apa ya Mbak?
HapusPenasaran banget apa yg diperbuat si ibu sampai anak-anaknya menjauh. Lanjut, Mbak :)
BalasHapusPenasaran banget apa yg diperbuat si ibu sampai anak-anaknya menjauh. Lanjut, Mbak :)
BalasHapusiya Mbak. kok ada anak yang menjauh dari orangtuanya ya
Hapusmerasakan yang sama. tulisannya indah banget mbak :)
BalasHapusterima kasih. mungkin karena nulisnya dari hati..
HapusKenapa mau dihapus? Sayang sekali mba
BalasHapusyang episode 1 sudah dihapus. sekarang yang episode 2nya :)
HapusSedih sy mbak...
BalasHapusSedih sy mbak...
BalasHapusyang mengalami juga mbak...
HapusMb Rebellina...boleh lah nanti saya di tag ya..., penasaran dg kelanjutan ceritanya :)
BalasHapusboleh mbak Ika..
Hapuskalau sudah ada postingan kedua saya di tag ya mba...duh penasaran sekali..
BalasHapussaya cari FBnya buat di tah, belum ketemu. udah ada lanjutannya
HapusMenunggu kelanjutan kisahnya. Semoga bisa menjadi ibbroh untuk saya.
BalasHapusibroh untuk kita semua, terutama saya yang menuliskannya
HapusSeruuu... seperti baca Chicken Soup for the Soul :)
BalasHapusBerkunjung jg ya ke blog sy http://bit.ly/ayomaubertanya dan jangan lupa 'tuk ninggalin jejak/komen di sana agar suatu waktu sy dapat kembali membaca tulisannya ;)
sudah berkunjung ya Mas. maaf baru berkunjung..,banyak kendala :)
HapusWaaah, jangan lama2 sambungannya ya, Mbak. Penasaran...
BalasHapusiya nih mbak. kelamaan sambungannya
HapusDuh jadi penasaran.
BalasHapusMdh2n gak kelewat sambungannya.
Hmmm menjadi Ibu, melihat ibuku, melihat ibu mertuaku, membaca kisah ibu yg ini...
Ternyata banyak cerita tentang ibu yang tak seragam...
Smoga bs mengambil pelajaran
iya mbak. saya sendiri pun mengambil hikmahnya
HapusPenasaran dgn cerita berikutnya Mak. Sepertinya bisa jadi pelajaran berharga bagi semua yg membaca ^_^
BalasHapusinsha Allah bisa jadi ibrah buat kita sebagai ibu, dansebagai anak juga
Hapuspenasaran sambungannya mbak
BalasHapussudah ada jejak lanjutannya
HapusHal seperti yg terjadi pada si ibu itu apa memang karena latar belakang kehidupannya dari kecil ya, Mbak? Kadang juga heran, ada ibu kok enggak sayang sama anaknya, terkesan pilih kasih, dsb... Kadang saya juga merasa ibu saya pilih kasih sama anak2nya. Tapi semoga hanya perasaan saya saja *eh malah curcol*
BalasHapusSemoga saya bisa menjadi ibu yang baik buat anak2 saya. Doakan ya, Mbak...
Btw tetep nunggu cerita selanjutnya :)
dulu mikirnya begitu, kok ada ibu yang engga sayang sama anaknya atu pilih-pilih kasih. sekarang kalau baca media, dan ada berita ttg ibu-ibu spt itu, jadi bilangnya, oh.., ternyata memang ada.
HapusYa ampun...cerita ini persis yang aku alami, mbak. Aku juga sering dikatai pesek, bahkan sampai sebutan buruk yang hanya ditujukan untuk PSK selain nama-nama kebun binatang. Jadi begitu membekas di hati sampai berjanji nggak akan begitu ke anakku.
BalasHapuspengalaman adalah sesuatuyang sangat berharga ya Mbak..
Hapusapa sikap si ibu sebb kejadian masa lalu yg pernah ia alami ya mbk ?.
BalasHapusKasihan sm anak2nya. Tp mgkin anak2nya lbh beruntung krn masih dikelilingi dg org2 yg penuh kasih syg. Pelajaran bgd nih mbk bwt aku. Hrus hati2 dlm bersikap kpd si kecil. krn apa yg ia alami skrg bs jd bekal bwt masa depan si kecil esok. Semngat mnjdi ibu yg baik. tengkiu ya mbk share ceritanya :)
ya, si tokoh aku lebih beruntung karena masih dikelilingi oleh cinta walau bukan dari ibunya. itu yang membantu dia menjalani kehidupan dengan benar kelak
Hapuspenasaran kelanjutannya, ih aku mah kasihan ya sama anak2 nya
BalasHapusiya Mbak. kasihan anak-anaknya, duluuu. sekarang justru kasihan sang ibu....
Hapussalam kenal mbak..ceritanya sangat menyentuh jangan sampai deh kita sama anak2 kayak gitu ya mbak kasian
BalasHapusitulah sebabnya kisah ini dituliskan. supaya jadi pelajaran untuk kita semua
HapusBaru tau kalau sudah ada bagian keduanya. Menunggu lagi bagian ketiganya saya, Mbak...
BalasHapusinsha Allah saya tag ya..
HapusBikin penasaran nih mba.
BalasHapusTerbayang sedihnya perasaan Bintang ya mba
BalasHapus