Pagi ini saya bangun dengan
pikiran agak suntuk. Berbagai pikiran
berkecamuk. Sudah lebih dari 3 bulan ini saya malas nulis. Tapi bukan berarti
saya enggak melakukan apa-apa. Berkebun tetap saya lakukan, tetapi kadangkala dengan hati
yang kusut. Beberapa tanaman yang baru
saya beli seperti bunga mawar dan bunga marigold, sepertinya tumbuh dengan
merana. Mungkin mereka merasakan ya suasana pikiran saya yang kusut seperti
benang sulam yang saya simpan uwel-uwelan dalam kotak prakarya saya.
Bikin kue ini itu buat cemilan
anak-anak pun, tidak terlalu sering lagi saya lakukan. Paling cuma bikin pancake, karena
bahannya dan pembuatannya mudah, serta
anak-anak suka. Pokoknya pikiran saya seperti terblokir untuk melakukan hal-hal
yang dulunya saya senangi. Lucunya, semua semakin terjadi (malas saya) malah
setelah ikut pelatihan blogging dan setelah suami pulang umroh ramadhan lalu.
Kebanyakan waktu saya malah diisi dengan
baca-baca majalah, buku, atau pun berkelindan di dunia maya semisal di forum. Medsos
saya seperti FB saja pun tidak saya sentuh, kecuali sesekali mengintipnya
lantas kemudian kabur.
Nah, pagi ini saya ingin mendobrak
suasana hati saya yang lagi jelek itu. Berhubung
untuk sarapan anak-anak sudah beres, saya putuskan untuk jalan-jalan pagi ke luar halaman.
Biasanya saya jalan-jalan pagi kalau hari libur bersama anak-anak dan suami.
Sekedar menikmati suasana pagi yang masih berkabut dan say ‘hello’ dengan tetangga yang jarang ketemu. Namun kali ini saya sendirian, karena
anak-anak harus sekolah dan suami sibuk dengan kerjaannya.
Saya memilih keluar dari pintu
depan. Sengaja bawa kamera karena saya ingin mengabadikan momen pagi ini untuk
saya tuliskan.
Ahai.., saya ingat, bunga ini bibitnya saya peroleh dari seorang bapak
di daerah Kali Suren. Saat itu saya dengan suami sedang jalan-jalan cuci mata.
Biasalah, mata saya suka melotot kalau lihat ada tanaman yang cantik. Seperti bunga
ungu ini yang saya lihat tumbuh merimbun di sisi tembok sebuah rumah. Kebetulan bapak pemilik rumah sedang
bersih-bersih. Dengan pede aja saya sapa bapak tersebut dengan salam, dan tanya
ini itu tentang bunga ungu tersebut. Ternyata bapak ini pun tidak tahu namanya.
Tapi tegur sapa saya tidak sia-sia. Saya bawa pulang beberapa rumpunnya dan
bibit bunganya yang berupa biji.
Rumpun bunga yang masih kecil itu
kemudian saya tanam. Sayang, saat berbunga pertama kali, pohonnya patah. Patahannya
saya coba tanam kembali. Iseng aja sih, berharap patahannya bisa tumbuh. Lha,
ternyata bisa. Buktinya patahannya malah tumbuh subur dibanding batangnya
semula dan kini berbunga lagi walau kecil (mungkin karena nanamnya di dalam pot
ya, dan enggak begitu saya urus).
Lalu, pandangan saya alihkan ke
halaman sisi kiri. Di barisan kiri yang berbatasan dengan halaman tetangga,
saya menanam bunga raya alias kembang
sepatu (hibiscus). Warna bunganya merah menyala, dan sudah banyak putih-putik
baru bermunculan. Pengennya sih mereka mekar serempak, barengan dengan tanaman
bunga kaca piring (gardenia) dan bunga ungu ruella. Bayangan saya , perpaduan
mereh dari hibiscus, putih dari gardenia, dan ungu ruella pastinya akan membuat
halaman kiri ini semarak. Nyatanya…, impian tak seindah kenyataan.
Bunga raya, begitu saya mengenal
bunga ini semasa kanak-kanak, ternyata tak
gampang berbunga di halaman saya. Kalaupun berbunga, seringkali cuma satu
dua. Entahlah, halaman saya ini kalau tanaman daun-daun, suburnya minta ampun.
Tapi kalau tanaman bunga , rada sulit berbunga banyak. Daunnya aja yang kelewat lebat dan subur. Termasuk juga kaca piring, yang
daunnya selalu jadi kena serangan ulat sampai harus saya gunduli. Jadi harapan saya pengen punya halaman penuh
bunga warna warni yang mekarnya serempak (seperti taman-taman yang ada di
pinterest, hahaha)
Satu-satunya bunga yang mekar tak
berhenti justru si ungu ruella. Namun
karena tumbuhnya berantakan, malah jadi tak enak dilihat. Saya kerap
merapikannya walau terkadang harus mencabut tanamannya. Sebelumnya pakai
ngobrol dulu bilang ke ruella kalau saya mau merapikan tumbuhnya, bukan mau
merusaknya.
Baca : Bercakap-cakap Dengan
Tanaman
Langkah saya berlanjut, menuju
ke jalan raya. Di sebrang pintu pagar
rumah, pandangan mata tertambat pada kumpulan bunga liar. Terus terang,
saya tidak tahu namanya. Tetapi yang saya ingat jelas, bunga ini suka jadi
mainan saya dan teman-teman kala kanak-kanak. Biji bunganya yang kecil dan
berwarna hitam, sering kali kami jadikan tahi lalat-tahi lalatan di wajah.
Lumayan seru. Sayangnya, tanaman ini entah kenapa kok kurang indah kalau di
tanam di dalam pot, atau halaman. Tumbuhnya yang tidak beraturan itu bikin
halaman kurang elok dipandang. Bunga ini saya namakan sendiri dengan bunga tahi
lalat-tahi lalatan, hehehehe. (foto)
Kaki saya berbelok ke arah kiri,
menelusuri jalan di tengah cuaca yang masih berselimut kabut tipis dan cahaya
hangat matahari yang mula muncul. Jalanan masih relatif sepi, hanya sesekali
dilewati motor yang membawa anak-anak
yang ingin ke sekolah. Dulunya jalan di kampung
ini, belum sebagus sekarang . Lampu jalan juga baru terpasang dua tahun
terakhir ini. Perubahan yang nyata terlihat dari kampung ini adalah,
lahan-lahan pertanian yang beralih fungsi jadi perumahan. Semakin panas, dan
mengurangi atmosfer sejuk yang terasa saat mula pertama kami tinggal di kampung
ini.
Di sisi kanan jalan, putri malu
yang biasanya tumbuh rendah, justru tumbuh menjulang setara dengan pohon kelor di sampingnya. Bunga putri malu ternyata cantik juga sebagai
objek foto. Sama halnya dengan hijau daun kelor
yang sungguh menggoda . Daun
kelor katanya bisa diolah jadi sayuran.
Tapi saya belum pernah nyoba masak sayur daun kelor. Kalau orang Sulawesi,
katanya biasa mengolah daun kelor jadi sayuran. Kalau di sini, daun kelor
dibiarkan tumbuh tanpa dimanfaatkan. Paling-paling Cuma dipetik untuk makanan
kambing. Padahal kasiatnya banyak. Saya pengen nyoba nanam pohon kelor ini di
dalam pot atau polybag. Tapi, kapan ya… (mikirn waktu yang terasa semakin
pendek…) (foto)
Perjalanan pendek saya
selanjutnya menemukan satu bunga yang
tumbuh liar di dekat selokan kering, di tengah-tengah rumput liar. Kalau di
luar negeri, bunga ini mirip dengan lily of the valley. Sayang, saat saya foto,
bung a ini masih kuncupnya saja, belum mekar. Beberapa kali saya telah mencoba
mengorek bunga ini dari habitatnya, untuk dipindahkan ke dalam pot atau polybag
di rumah. Namun, sepertinya akarnya masuk jauh ke dalam tanah dan belum rejeki
saya untuk melihatnya tumbuh di halaman
saya. Setidaknya, saya bersyukur pagi
ini mata saya masih bisa melihat keindahan kuncup calon bunganya.
Masih di sisi jalan kiri, saya
melihat tandan bunga sejenis pohon palem. Sepertinya, pihak pengembang
perumahan yang dulu pernah membeli tanah-tanah
di sini, pernah menanam pohon pale m ini sebagai (calon) penghias jalan di
komplek perumahan kelak. Beberapa batang pohon palem ini dicat warna merah.
Tidak tahu disengaja oleh pihak pengembang sebagai penanda batas tanah milik,
atau sekedar ulah iseng anak-anak abg.
Sekedar informasi, ketika kami
sekeluarga pindah ke kampung ini sekitar 9 tahun yang silam, tanah-tanah
pertanian di sebrang jalan rumah, dan di belakang rumah, telah dimiliki sepenuhnya oleh pihak
pengembang perumahan tertentu. . Namun sampai sekarang, komplek perumahan ini
belum terealisasi.
Menurut penduduk setempat, harga
tanah yang mereka jual dulu sangat murah sekali. Saat ini, mereka banyak
menyesali keputusan mereka menjual tanah subur pertanian. Walau masih diijinkan
untuk mengelola tanah tersebut sebagai lahan pertanian singkong, tetap saja
tanah itu sudah bukan milik mereka lagi. Hanya tinggal menunggu waktu
lahan-lahan kosong yang dimanfaatkan sebagai ladang tanaman singkong, akan
berbuah menjadi barisan perumahan yang seragam. Saya merasa termasuk bagian
dari orang yang beruntung memiliki tanah cukup luas di tepi jalan yang tidak
termasuk bagian dari lahan rencana komplek perumahan.
Sepertinya langkah kaki saya harus
berputar balik menuju rumah. Di dekat rumpun pandan berduri, saya memutar
langkah. Ngomong-ngomong soal pandan berduri, entah siapa yang menanamnya.
Mungkin tak sengaja tumbuh sendiri, karena sependek yang saya tahu, tanaman
pandan berduri ini juga tidak ada yang memanfaatkannya. Beberapa kali oleh
pemilik tanah, tanaman ini dibabat habis dan dibiarkan menjadi kompos dengan
sendirinya. Namun, dia tetap tumbuh subur, bahkan area tumbuhnya semakin meluas
dari semula.
Sinar matahari perlahan namun
pasti mulai mengusir kabut pagi . Saya melangkahkan kaki kembali menuju rumah.
Melihat sisi kanan dari jalan pulang, terhampar lahan-lahan kosong yang
ditumbuhi ilalang dan rerumputan. Lahan kosong ini yang saya katakan telah dimiliki oleh pihak pengembang
perumahan. Biasanya, oleh pihak pengembang, lahan ini masih boleh dimanfaatkan
oleh penduduk sekitar untuk ladang
tanaman singkong. Tentu saja selagi area komplek perumahan belum dibangun.
Saya bayangkan, paling lambat 5
tahun ke depan, ladang-ladang singkong ini akan berganti menjadi komplek
perumahan. Soalnya, pihak pengembang mulai mengukur ulang batas-batas tanah yang mereka miliki. informasi
yang terakhir yang saya ketahui dari ketua RT, pihak pengembang selain sudah mulai memetakan kembali lahan miliknya,
juga telah mempersiapkan beberapa bulldozer
untuk memulai pengerjaan komplek
perumahan tersebut. Sedih.., tinggal menunggu waktu lahan kosong ini berganti
menjadi hamparan perumahan yang seragam…
Langkah saya semakin mendekati
rumah, namun saya hentikan sejenak untuk menikmati pemandangan tanaman sawo
kecik yang lebat berbuah di halaman tetangga berjarak dua rumah dari saya.
Tetangga ini salah satu dari tetangga yang masih bisa dihitung dengan jari
jumlahnya, yang memiliki halaman lumayan
luas. Selebihnya, walau masih berstatus kampung, di sekitar tempat tinggal saya
telah padat oleh rumah-rumah penduduk,
Akhirnya langkah kaki telah
mendekati pintu pagar depan rumah. Disambut oleh wajah sumringah Si Bungsu dan
jejeran tanaman hias dan tanaman bunga yang masih berantakan, belum sempat
terurus sepenuhnya oleh saya. (foto-foto)
Walau belum terurus sepenuhnya,
setidaknya, adanya tanaman di halaman rumah, membuat kami sekeluarga merasa
betah karena hawa sejuk yang ditimbulkannya. Apalagi beberapa tanaman buah sudah mulai
rajin berbuah, seperti jambu air, manga, dan alpukat. Kalau rambutan, tidak
pernah absen berbuah setiap tahunnya. Dan insha Allah, kami berkomitmen untuk terus mempertahankan
keberadaan tanaman ini, bukan hanya untuk tambatan mata yang menyejukkan,
tetapi sebagai penyeimbang ekosistem di sekitar rumah yang semakin rusak oleh tangan-tangan manusia.
Saya bayangkan, bila saja komplek perumahan telah berdiri, maka daerah
resapan air yang selama ini ada, akan menghilang. Sementara, saa t ini
saja bila musim kemarau tiba, masyarakat
kesulitan memperoleh air bersih karena sumur-sumur mereka mengering. Apa jadinya bila seluruh
daerah resapan air dan lahan-lahan luas pertanian semula, berganti menjadi
komplek perumahan? Banjir di musim hujan, dan kekeringan di musim kemarau!
Baca: saat Air Sumur Kami kering
Itu yang menjadi pemikiran utama
saya saat saya serius menekuni hobi bertanam-tanam. Pada suami, saya tegaskan
untuk tidak memotong tanaman berbatang keras, seperti tanaman buah-buahan yang
ada di halaman depan dan belakang hanya demi estetika. Soalnya suami sempat
berencana membuang tanaman mangga, lengkeng, dan jambu air yang ada di halaman
depan demi tatanan taman yang cantik (kelak). Tapi saya bertahan, taman boleh
ada, tapi menyesuaikan dengan tanaman berbatang keras yang ada. Karena melalui
tanaman ini sumber air kami akan tetap terjaga, walau di sekitar kami nanti
dipenuhi oleh komplek perumahan. Kecuali untuk pohon rambutan, kami relakan
untuk ditebang bila ada proyek perluasan jalan dari
pemerintah, karena pohon rambutan tersebut memang tumbuh di tepi jalan (walau
masih masuk tanah milik kami).
Sekarang ini, dampak pemasan
global saja sudah sangat terasa di wilayah kami ini. Setiap tetangga dan kerabat yang
datang berkunjung, mengakui kalau duduk
di teras depan, sangat terasa bedanya dengan suasana di tempat lain. Lebih
sejuk dan adem. Kalau saya sih, lebih betah duduk-duduk di halaman belakang ,
main bersama anak-anak, soalnya lebih bebas, enggak harus pakai hijab, dan bisa
main ayunan di bawah pohon alpukat.
Ah.., sepertinya tulisan ini harus
saya akhiri, walau rasanya masih banyak yang ingin saya bagi. Tetapi, saya cukupkan sampai di sini. Kelak bila beberapa waktu kemudian saya baca
ulang tulisan ini, saya yakin yang saya
tuliskan ini sebagian besar hanya akan jadi sejarah, terutama pemandangan dan
tanaman-tanamannya. Tetapi saya tetap berharap, anak-anak saya bila belajar
dari tulisan ini kelak dan meneruskan minat saya menjaga lingkungan sekitar
melalui tanaman.
RebellinaSanty
Bogor 25 Agustus 2016
Welcome back, Mbak Reni.... Aku juga sering tiba2 males nulis, Mbak. Moga2 Mbak sekeluarga sehat...
BalasHapusAlhamdulillah sehat. Cuma masalah nulisnya belum sepenuhnya normal semangatnya :)
Hapusbunga-bunganya canti banget, merawatnya pasti butuh perhatian lebih ya. DUlu waktu ngontrak sempat punya 1 pot bunga mawar, udah berbunga, layu trus mati, ga pintermerawatnya. btw, tampilan blognya baru, bagus :) fresh
BalasHapusmasih acak kadut mbak, belum sempat benahi :)
HapusItu fotonya bikin yang liat moodnya membaik deh, thanks for sharing mbak.
BalasHapusSalam,
Syanu.
makasih, moga mood saya juga membaik setiap hari biar bisa nulis terus.
Hapusselamat datang kembali lagi mbak ... semoga semakin rajin nulis blognya :)
BalasHapusmakasih ya do'anya. lagi diusahakan agar semangatnya kembali
HapusOh ini tuh bunga glory merah, bunga glory banyak banget jenisnya, ji (panggiln untuk ibu2).
BalasHapusBln llu aq keranjingn nyari bunga2. Ketemu dhe lapak bibit/biji bunga di petanirumahan.com murah2 biji/bibitny...
Ad bunga glory morning, glory blue star dll.
Tau klo Ibu ini keturunan tionghoa juga. (Aq baca postingn awal smpe sini, ntr lnjut baca lq dhe hehe)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapuswah, terima kasih infonya. Hehehe, iya, aku ada keturunan tionghoa. Salam kenal ya
HapusTrus yg bunga berbiji hitam itu namanya bunga jengger ayam, biasa di perumahan tionghoa ada (setauku sih).
BalasHapusBunga jengger ayam lumayan cantik, di google ada, yg tumbuhnya besar bgt.
HapusTrus yg bunga berbiji hitam itu namanya bunga jengger ayam, biasa di perumahan tionghoa ada (setauku sih).
BalasHapusthankyou atas penjelasannya ya
Hapus