Prihatin!
Itulah yang saya rasakan saat melihat
kebiasaan anak-anak di sekitar rumah yang sepantaran usianya dengan Aisyah dan
Adek. Setiap ada penjual makanan keliling yang melintasi jalan, sebagian
besar anak-anak tersebut akan berkumpul
untuk membeli jajanan tersebut. Kadangkala terdengar ada yang menangis memaksa minta uang pada ibunya agar bisa ikutan
temannya membeli jajajan tersebut.
Kebetulan rumah saya berada di pinggir jalan, dan di sela-sela kegiatan menulis, saya suka
memandang keluar jendela, sembari mengawasi Adek dan Aisyah yang sedang bermain
di luar. Karena kebiasaan saya tersebut, saya jadi tahu pola tingkah anak-anak
tetangga yang gemar jajan, ditambah informasi yang saya peroleh langsung dari
orangtua anak-anak tersebut saat bersilaturahmi dengan mereka.
Kebiasaan jajan anak-anak di sekitar rumah tidak hanya
tertuju pada makanan yang dijual penjaja
makanan keliling. Mereka juga jajan di warung-warung penjual jajanan yang
banyak bertebaran di daerah tempat saya tinggal ini. Bahkan dalam jarak 10 m,
bisa ada beberapa warung penjual makanan di sini. Belum
lagi saat di sekolah. Dan hal itu
dipertegas oleh pengakuan ibu-ibu tersebut mengenai kebiasaan jajan anak-anak
mereka yang membuat saya kaget.
Bayangkan, untuk satu orang anak, anggaran jajannya bisa
mencapai kisaran Rp.5000 sampai dengan Rp.15.000 setiap hari.Padahal latar
belakang ekonomi tetangga saya yang hidup dari pertanian,
tidaklah berlebihan.
Apa yang membuat
anak-anak tersebut suka jajan? Bagaimana bila dalam satu rumah ada 2-3 orang
anak yang memaksa minta jajan? Apakah para ibu mereka tidak khawatir dengan apa
yang terkandung di dalam jajanan yang dinikmati anak-anak mereka? Bukankah
sudah banyak informasi bahwa banyak zat-zat yang membahayakan tubuh di dalam
jajanan anak yang tidak jelas bahan dan cara pembuatannya? Kenapa tidak membuat
cemilan sendiri yang lebih sehat, terjaga kualitas dan nilai gizinya, lebih
mengenyangkan dan pastinyanya jauh lebih hemat daripada membiarkan anak-anak
jajan sembarangan?
 |
| contoh bahan berbahaya yang terdapat dalam jajanan/makanan. sumber di sini |
Semua pertanyaan itu
melintas dalam pikiran dan mengusik rasa
penasaran saya. Soalnya seluruh anak-anak saya, sejak kecil tidak ada yang terbiasa jajan
sembarangan. Tentu saja sebagai
konsekwensinya, saya harus menyediakan makanan selingan berupa cemilan. Repot
sedikit tidak apa, asal anak sehat dan terbiasa memilah dan memilih jajanan
sehat yang ingin dikonsumsinya. Namun karena mereka sudah kenyang di rumah
dengan tiga kali makanan utama dan 2 kali makanan selingan alias cemilan,
biasanya mereka tidak lagi berminat
untuk jajan di luar.
Apa itu yang membedakannya?